EDISI.CO, NASIONAL– Sumber kredibel Amnesty di LBH Pekanbaru dan Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang mengungkapkan bahwa masyarakat Pulau Rempang diintimidasi dan menjadi korban tindak kekerasan oleh belasan orang berpakaian preman pada Rabu (18/09).
Berdasarkan keterangan yang dihimpun Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang dari warga, intimidasi dan kekerasan yang dialami warga Pulau Rempang terjadi di administrasi Kampung Sungai Buluh, tepatnya di jalan arah masuk ke kawasan Goba sekitar pukul 10.45 WIB.
Kejadian bermula saat para warga tengah berjaga di masjid di jalan masuk ke Goba. Di sana mereka didatangi oleh belasan orang berpakaian preman.
Kelompok orang berpakaian preman itu kemudian memaksa masuk ke wilayah yang dijaga warga dan mengklaim bahwa kawasan tersebut adalah wilayah kerja mereka. Namun warga tetap bertahan dan berjaga, sehingga akhirnya mengalami intimidasi dan kekerasan.
Dokumentasi video dari warga setempat yang dihimpun Tim Advokasi menyorot ketegangan yang terjadi saat perwakilan dari kelompok orang berpakaian preman melancarkan aksi intimidatif dengan membentak ibu-ibu yang bertahan di lokasi.
Tim Advokasi juga mengungkapkan sebanyak tiga orang warga mengalami luka-luka dan belasan lainnya menjadi korban pemukulan. Salah satu korban mengalami luka di bagian pelipis akibat dipukul dengan helm dan seorang lagi wajahnya lebam setelah dipukul dengan kayu. Sedangkan korban lainnya, seorang perempuan, tangannya terkilir akibat ditarik secara paksa.
Menurut pantauan Tim Advokasi, tindakan sekelompok orang berpakaian preman yang melakukan intimidasi dan kekerasan terhadap masyarakat Pulau Rempang ini masih terus terjadi. Sebelumnya warga juga mengalami teror dan alat peraga yang digunakan mereka untuk menolak PSN Rempang Eco City dirusak.
Banyak proyek infrastruktur skala besar di bawah PSN telah berdampak serius pada kehidupan masyarakat adat, yang hak atas tanah, budaya, dan kearifan lokal sering diabaikan.
Sedangkan masyarakat adat yang bersuara kritis terhadap pemerintah dalam memperjuangkan hak mereka dalam konflik agraria kerap menghadapi serangan.
Sebelum insiden di Rempang tersebut, Amnesty International Indonesia mencatat, dari Januari 2019 hingga Maret 2024, setidaknya ada delapan kasus serangan terhadap masyarakat adat dengan sedikitnya 90 korban, termasuk kriminalisasi, intimidasi, dan kekerasan fisik.
Deputi Direktur Amnesty International Indonesia, Wirya Adiwena, mengatakan intimidasi dan kekerasan kembali mengusik kehidupan warga Rempang, padahal masih kuat ingatan mereka akan kekerasan yang dilakukan aparat keamanan setahun lalu pada 7 September 2023, ketika warga memprotes pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco City.”
Baca juga: Tim Advokasi: Hentikan Intimidasi terhadap Masyarakat Rempang
“Tindakan kekerasan dan intimidasi ini tidak hanya menunjukkan pemerintah gagal melindungi warganya, namun menunjukkan represi yang terus berlanjut terhadap masyarakat adat yang berjuang mempertahankan hak atas tanah mereka dari ancaman pembangunan PSN.”
“Kami mendesak pihak berwenang untuk segera menyelidiki dan mengambil tindakan hukum yang tegas terhadap para pelaku kekerasan dan intimidasi ini,” tambahnya.
Wirya melanjutkan tindakan represif seperti ini tidak bisa dibiarkan terus berlangsung. Negara seharusnya hadir untuk melindungi ekspresi dan ruang hidup warganya. Bukan membiarkan mereka tertindas.
“Kami juga menuntut penghentian pembangunan PSN Rempang Eco City yang telah terbukti merugikan masyarakat adat setempat. Hak-hak masyarakat adat harus dihormati dan dilindungi dari segala bentuk ancaman dan kekerasan, mereka juga harus dilibatkan secara bermakna dalam pembangunan yang dilakukan di tanah atau wilayah mereka.”
AMNESTY INTERNATIONAL INDONESIA KUTIPAN MEDIA