EDISI.CO, BATAM– Komisi VI DPR RI menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Badan Pengusahaan (BP) Batam di Jakarta pada Senin, 2 Desember 2024. Dalam pertemuan tersebut, BP Batam memaparkan data terkait Rempang Eco City. Dalam kesempatan tersebut BP Batam menyampaikan sejumlah data. Mulai dari jumlah warga di lima kampung yang sudah setuju direlokasi untuk tahap pertama; penanganan dan data warga yang menolak penggusuran atau relokasi.
Warga Rempang menyayangkan beberapa data yang dipaparkan di hadapan Komisi VI DPR itu dinilai tidak sesuai dan jauh dari kenyataan yang ada di lapangan. Mereka bereaksi dengan membuat pernyataan bahwa data yang mereka nilai tidak valid ini. Melakukan orasi dan membentangkan spanduk berisi pesan penolakan penggusuran.
Ratusan orang dari berbagai kampung hadir, mereka berkumpul di sisi jalan. Di atasnya terpajang spanduk besar berisi tulisan “Tolak PSN Rempang Eco City”.
Saat itu, Anggota Bidang Pengelolaan Kawasan dan Investasi BP Batam, Sudirman Saad, menyampaikan bahwa warga Pulau Rempang yang menolak relokasi sudah minoritas. Pernyataan ini, kata warga, bertolak belakang dengan keadaan di lapangan, bahwa mayoritas masyarakat di lima kampung tahap pertama ini, masih menolak tergusur dari kampung mereka.
“Kami sangat kecewa dengan pernyataan BP Batam, karena bertolakbelakang. Mayoritas kami di lima kampung masih terus berjuang dan menolak PSN Rempang Eco City,” kata Koordinator Umum Aliansi Masyarakat Rempang Galang Bersatu (AMAR-GB), Ishak pada Rabu (4/12/2024).
Untuk diketahui, pemerintah melalui BP Batam mendata ada 961 Kepala Keluarga (KK) dari lima kampung yang terdampak untuk tahap pertama PSN Rempang Eco City. Mereka akan digusur dan dipindahkan ke lokasi relokasi yang terletak di kawasan Kampung Tanjung Banon. Sudirman menuturkan ada 433 KK dari 961 warga terdampak rencana pengembangan tahap pertama yang telah setuju relokasi.
Lalu dari 433 KK tersebut, 219 KK sudah bergeser ke hunian sementara di kawasan Kota Batam. Kemudian 41 KK dari keluarga yang sudah bergeser tersebut, telah menempati rumah yang disediakan pemerintah di Tanjung Banon.
Pada prosesnya, BP Batam tidak menjelaskan secara detail, apakah 433 KK tersebut hanya warga dari lima kampung yang terdampak rencana pengembangan tahap pertama, atau termasuk keseluruhan warga yang ada di Pulau Rempang dan Galang.
Terkait dengan proses verifikasi data tersebut, Ombudsman RI bahkan telah beberapa kali mendesak BP Batam untuk menyerahkan informasi detail warga yang telah mereka data tersebut. Namun desakan tersebut tidak diindahkan BP Batam.
Jika 433 KK tersebut menyertakan warga di luar lima kampung terdampak tahap pertama, artinya BP Batam keliru dalam menyampaikan laporan mereka ke DPR RI dan masyarakat umum. Kekeliruan ini, lanjut warga, jika tidak segera dibenahi akan mempengaruhi persepsi masyarakat umum.
Warga mendedahkan data yang mereka himpun dari lima kampung yang masuk dalam rencana tahap pertama sebagai pembanding data yang dikeluarkan BP Batam. Total hanya ada 142 warga dari lima kampung yang dalam catatan warga sudah menerima relokasi. Dengan rincian Sembulang Pasir Merah ada 59 KK; Sembulang Tanjung sebanyak 43 KK; Sembulang hulu sebanyak tiga KK; Belongkeng berjumlah tujuh KK; dan Pasir Panjang sebanyak 30 KK. Jumlah warga yang setuju bertambah menjadi 163 jika ditambahkan dengan data 21 KK yang sudah pindah.
Sudirman menyampaikan bahwa pihaknya sudah bertemu dengan Komnas HAM dan Ombudsman RI, dan BP Batam sudah melakukan komunikasi pada warga dengan baik. Dua pernyataan ini juga sangat berbeda dengan keadaan di Pulau Rempang. Bahwa BP Batam tidak mengindahkan permintaan Ombudsman RI terkait dengan data detail warga yang sudah setuju relokasi.
Realitas di lapangan, menunjukkan mayoritas masyarakat Pulau Rempang yang menolak digusur, masih terintimidasi dan mendapat teror. Satu di antara gangguan yang dialami warga adalah rusaknya spanduk berisi aspirasi warga menolak penggusuran. Perusakan itu terjadi berkali-kali.
Di antaranya, warga mendapati baliho berisi pesak tolak relokasi terbakar sebagian pada 31Agustus 2024. Tidak itu saja, warga menemukan upaya pembakaran LS Board di tiang listrik di Kampung Sembulang Hulu; pada 4 September 2024, baliho bertuliskan “TOLAK PENGGUSURAN/PENGGESERAN” di Kampung Sembulang Hulu, Kelurahan Sembulang, juga rusak. Sebagian besar tulisan dalam baliho tersebut hilang. Menyisakan beberapa huruf saja.
Kemudian, baliho berisi tulisan “Tolak PSN Rempang Eco City” yang dipasang warga di kawasn Kampung Sembulang Hulu, di Pulau Rempang, diketahui rusak pada 13 September 2024 pagi. Warga juga terlibat bentrok hingga mengalami luka pada 18 Oktober 2024 lalu.
Atas kondisi ini, pertemuan BP Batam dengan Komnas HAM dan Ombudsman RI, dinilai tidak memberikan dampak signifikan pada jaminan kenyamanan dan keamanan masyarakat Pulau Rempang yang masih menolak relokasi atau penggusuran. Padahal Komnas HAM dan Ombudsman RI telah memberikan rekomendasi, yang jika rekomendasi itu diikuti, akan membuat situasi di Pulau Rempang lebih kondusif.
Komnas HAM merekomendasikan terkait dengan penolakan masyarakat Pulau Rempang untuk direlokasi, negara tidak boleh melanggar hak atas tempat tinggal yang layak, baik melalui tindakan maupun kebijakan yang diambil, baik tingkat lokal maupun nasional. Kebijakan Negara tidak boleh diskriminatif dan menimbulkan pembatasan tanpa dasar hukum yang sah, eksklusif dan tidak proporsional. Negara tidak boleh melakukan relokasi paksa (forced evictions) yang merupakan bentuk pelanggaran HAM.
Poin lain dari rekomendasi Komnas HAM, adalah tidak menggunakan cara kekerasan dengan pelibatan aparat berlebih (excessive use of power) dalam proses relokasi dan proses pembangunan Kawasan Pulau Rempang Eco City.
Kemudian Komnas HAM juga merekomendasikan agar kelompok rentan seperti anak-anak, perempuan, disabilitas, masyarakat adat harus dilindungi dari kekerasan dan lainnya di Pulau Rempang.
Ombudsman RI merekomendasikan kepada BP Batam dan Walikota Batam untuk menyusun kebijakan yang memastikan terpenuhinya hak-hak dasar warga terdampak baik yang saat ini masih menolak ataupun bagi warga termasuk yang bersedia untuk menempati hunian sementara, serta menghindarkan tindakan–tindakan yang akan memicu terjadinya konflik di tengah masyarakat.
Pada kenyataannya, intimidasi dan teror masih berkelindan di tengah masyarakat Pulau Rempang yang menolak tergusur dari ruang hidup mereka. Beberapa di antara warga bahkan mengalami luka fisik, selain tekanan psikologis yang mereka alami sejak awal kasus ini mencuat.
Atas kondisi ini, tim dari Komisi VI DPR RI perlu memverifikasi data yang disampaikan BP Batam. Utamanya data terkait warga dari lima kampung yang terdampak untuk rencana pengembangan Rempang Eco City tahap pertama.
Untuk itu, masyarakat pulau rempang yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Rempang-Galang Besatu (AMAR-GB) menyampaikan tanggapan dan sanggahan kami atas pernyataan Kepala BP Batam dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan DPR RI pada senin, 2 Desember 2024:
- Masyarakat pulau rempang masih dan tetap akan menolak pembangunan rempang eco city serta segala bentuk pemindahan atau penggeseran.
- Menegaskan data BP Batam tidak berkesesuaian dengan kondisi dan fakta lapangan yang ada di lima kampung tahap pertama.
- Mendesak BP Batam untuk segera membuka data detail terkait jumlah warga yang telah menyetui relokasi.
- Memohon doa dan dukungan sebagai bentuk solidaritas dari seluruh rakyat indonesia terkait perjuangan kami dalam mempertahankan laut, tanah dan kampung- kampung yang telah diwarisi oleh nenek moyang kami.