EDISI.CO, BATAM– Aliansi Mahasiswa Kota Batam bersama Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) Sumatera bagian Utara (SUMBAGUT) menggelar aksi di depan Kantor Badan Pengusahaan (BP) Batam pada Senin (23/12/24). Aksi ratusan mahasiswa dari berbagai kampus di Kota Batam ini berlangsung mulai sekitar pukul 10.00 WIB hingga pukul 12.00 WIB.
Mereka membawa empat tuntutan untuk BP Batam, yang dinilai bertanggungjawab atas berbagai persoalan yang mendera Masyarakat di Pulau Rempang. Di antaranya menuntut BP Batam hadir di tengah-tengah masyarakat Rempang.
Kemudian, mereka menuntut BP Batam dan Gubernur Kepri wajib melihat dampak dan permasalahan sosial yang terjadi di Pulau Rempang, dan menyurati kementerian terkait guna membahas terkait perizinan PT MEG (Makmur Elok Graha) yang melakukan pelanggaran hak asasi dan kekerasan terhadap masyarakat terdampak PSN (PSN Rempang Eco City).
Baca juga: 6 Pernyataan Komnas HAM atas Penyerangan terhadap Masyarakat Rempang
Selanjutnya, mahasiswa menuntut BP Batam dan Gubernur Kepri bertanggungjawab untuk mengontrol PT MEG agar tertib administrasi agraria; BP Batam dan Gubernur Kepri harus transparan kepada masyarakat di hadapan PT MEG, guna mendeskripsikan wilayah yang tidak boleh dimasuki oleh PT MEG.
Tuntutan ini dibacakan dengan pelantang dari atas mobil komando, dan disaksikan Direktur Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) BP Batam, Harlas Buana, perwakilan BP Batam yang hadir menemui massa aksi.
Mahasiswa menilai BP Batam menjadi sebab atas segala kegaduhan yang ada di Pulau Rempang.
Harlas Buana menanggapi tuntutan massa aksi, dengan menyampaikan bahwa pemerintah melalui BP Batam telah melakukan sejumlah hal untuk menghadirkan investasi di Pulau Rempang. Investasi senilai Rp170 triliun akan masuk dalam lima tahun pertama. Dari investasi tersebut akan terbuka 30 ribu lapangan kerja.
“Terkait hak-hak warga, pertama warga di Rempang akan mendapatkan rumah tipe 45 dan luas lahan 500 meter persegi, dengan sertifikat hak milik. Kami melalukan relokasi sesuai prosedur,” kata Harlas.
Terkait itu, salah satu massa aksi menyampaikan bahwa mayoritas Masyarakat Rempang tidak butuh dengan apa yang disediakan pemerintah. Mereka hanya ingin tetap berada di kampung yang telah menjadi ruang hidup mereka dari generasi ke generasi, bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka.
Masyarakat Rempang menolak tergusur dari kampung tempat dimana mereka tumbuh dan besar, peradaban yang telah terbangun ratusan tahun lamanya.
“Kami Masyarakat Rempang cuma butuh keadilan. Kami mau bertahan di tanah kami, kami tidak mau digeser, dan kami tidak butuh tipe 45 itu (Rumah Tipe 45),” kata salah satu massa aksi.
Pada prosesnya, massa aksi menilai BP Batam tidak serius menanggapi tuntutan yang mereka sampaikan. Koordinator umum (Kordum) aksi, Muryadi Aguspriawan, menyampaikan BP Batam tidak dengan legowo menerima tuntutan mahasiswa.
“Mereka malah masuk seolah-olah apa yang disampaikan mahasiswa hanyalah bual belaka. Kami menuntut BP Batam hadir selesaikan persoalan yang ada di Rempang,” kata Muryadi.
Massa juga membakar ban di penghujung aksi. Hal ini dilakukan sebagai bentuk kekecewaan mereka atas sikap BP Batam yang dinilai tidak bijak menanggapi tuntutan massa.
Mereka kemudian bergeser ke Gedung DPRD Kota Batam dengan berjalan kaki. Melanjutkan aksi membela Masyarakat Rempang di sana.