Edisi/digital.dompetdhuafa.org
● Donasi banjir Sumatra dari influencer sukses menggalang dana besar.
● Fenomena ini menandakan publik lebih percaya influencer ketimbang pemerintah.
● Maraknya donasi menunjukkan gap antara tugas dan pelaksanaan aparat negara menangani bencana.
EDISI.CO, CATATAN EDISIAN- Julukan masyarakat Indonesia sebagai warga yang paling darmawan sedunia bukanlah isapan jempol semata.
Ketika banjir bandang dan longsor besar melanda Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat sejak akhir November lalu, gerakan aksi solidaritas masyarakat sangat besar. Dalam waktu singkat, terkumpul miliaran rupiah untuk disumbangkan kepada jutaan korban bencana.
Namun yang menarik bukan hanya besarnya gelombang solidaritas, melainkan siapa penggagas dan penyalur donasi tersebut. Kreator konten atau biasa disebut influencer Ferry Irwandi misalnya, bisa menghimpun lebih dari Rp10 miliar dalam 24 jam untuk korban bencana.
Rachel Vennya dan komedian Praz Teguh pun melakukan hal serupa dengan nominal ratusan juta hingga miliaran rupiah.
Fenomena ini menandai perubahan penting dalam pola filantropi masyarakat. Publik kini lebih memercayai figur individual di media sosial dibandingkan institusi negara yang secara formal bertanggung jawab menangani bencana.
Pergeseran ini tak hanya mencerminkan dinamika era digital, tetapi juga menunjukkan jurang krisis kepercayaan masyarakat kepada negara yang terus melebar.
‘Influencer’ menjawab keraguan publik
Kemajuan teknologi informasi mengubah cara masyarakat berdonasi. Dulu, donasi terbatas melalui transfer bank, blok kuitansi, atau tatap muka. Kini, sumbangan bisa kita lakukan lewat sekali klik, kapan dan di mana pun melalui platform crowdsourcing seperti Kitabisa, live streaming, atau melalui akun Instagram selebritas.
Era ini membuka ruang influencer menjadi “aktor kemanusiaan baru”, tokoh nonformal yang berperan penting dalam respons bencana. Lalu mengapa mereka begitu efektif?.
Pertama, influencer memiliki kedekatan emosional dengan pengikutnya. Alhasil, ketika mereka mengajak berdonasi, ajakan itu datang dari figur yang terasa “dekat”, bukan institusi yang kaku.
Kedua, mereka mampu menghadirkan narasi kemanusiaan secara visual dan real-time. Banyak dari mereka langsung turun ke lokasi, menampilkan kondisi korban, dan memperlihatkan proses distribusi bantuan secara langsung melalui video singkat atau live streaming.
Ketiga, media sosial dan platform donasi memberikan ruang bagi publik untuk melakukan “audit sosial”. Setiap rupiah yang masuk, setiap paket bantuan yang dibagikan, hingga setiap kesalahan dapat dipantau oleh ribuan pasang mata.
Mekanisme ini menciptakan bentuk transparansi baru yang lebih cepat dan mudah dipahami publik. Ini berbeda dari laporan resmi pemerintah yang sering dituangkan dalam format PDF panjang dan terbit beberapa minggu setelah kejadian.
Dalam situasi krisis, publik memilih jalur yang memberikan rasa kepastian paling cepat. Bagi masyarakat, influencer menawarkan respons yang lebih manusiawi, langsung, dan dapat dipantau tanpa jeda.
Kebijakan dan perilaku negara tak pernah berubah
Negara tidak kekurangan sumber daya, kewenangan, ataupun struktur kelembagaan. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memiliki anggaran Rp2 triliun sepanjang 2025 untuk digunakan menanggulangi bencana yang terjadi.
Bahkan pemerintah siap menambah Rp500-600 miliar jika BNPB kehabisan uang. Jika masih tidak cukup juga, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga sudah mengizinkan dana darurat on call (bisa dipakai kapan saja) senilai Rp4 triliun.
Namun setiap terjadi bencana, keluhan masyarakat soal bantuan yang telat seakan tidak pernah absen. Tokoh-tokoh politik yang terjun ke lokasi juga lebih mengedepankan pencitraan.
Bahkan, bantuan hibah dari pihak lain seperti jaringan internet Starlink yang seharusnya gratis justru dipunglikan.
Yang hilang adalah kepercayaan. Kehilangan ini akan sulit dipulihkan melalui regulasi semata, tetapi melalui perubahan cara berkomunikasi dan cara bekerja.
Keberhasilan influencer dalam menggalang donasi bukan sekadar fenomena viralitas media sosial semata, tetapi cerminan dari pergeseran otoritas moral dalam masyarakat digital.
Baca juga: Dana Kemanusiaan untuk Korban Banjir Sumatera
Publik cenderung percaya pada figur yang menunjukkan empati, transparansi, dan aksi nyata di lapangan—atribut yang selama ini belum sepenuhnya dimiliki instansi formal pemerintah ataupun pejabat publik.
Jika pemerintah ingin memulihkan dan memperkuat kepercayaan publik, mereka perlu meniru apa yang bekerja di dunia digital yang mengkedepankan asas keterbukaan, kecepatan, dan kedekatan.
Agar pemerintah mendapatkan kembali kepercayaan publik
Influencer tidak bisa menggantikan pengurus negara dalam penanggulangan bencana. Karena itu yang kita butuhkan adalah kolaborasi. Tujuannya untuk memastikan bahwa bantuan mencapai mereka yang paling membutuhkan dengan cepat, tepat, dan penuh integritas.
Alih-alih menganggap influencer sebagai pesaing, pemerintah dapat melibatkan mereka untuk menggaungkan pesan dan menjadi jembatan komunikasi kepada generasi muda yang cenderung skeptis terhadap institusi formal.
Karena itu, untuk memenuhi standar kepercayaan publik, pemerintah perlu menciptakan dashboard donasi real-time yang transparan, mudah diakses, dan diperbarui secara konsisten. Dashboard ini harus menunjukkan jumlah dana yang diterima, kebutuhan di lapangan, lokasi penyaluran, hingga dokumentasi kegiatan.
Datanya pun harus mudah dipahami publik, bukan sekadar laporan teknis. Selain itu setiap penyaluran dana bencana perlu diaudit oleh pihak independen dan hasilnya dipublikasikan secara terbuka.
Yang tidak kalah penting, pemerintah harus memperbaiki gaya komunikasi publik. Pemerintah perlu meninggalkan gaya komunikasi yang birokratis dan mengadopsi pendekatan yang lebih human-centered, cepat, dan responsif.
Masyarakat tetap perlu hati-hati berdonasi
Tidak ada yang salah jika donasi melalui influencer menjadi cara umum untuk penggalangan dana. Namun, kepercayaan yang dibangun melalui kedekatan emosional sebenarnya rapuh.
Jika ada ketidaksesuaian data, keterlambatan laporan, atau dugaan penyelewengan, reputasi yang telah dibangun selama bertahun-tahun dapat runtuh dalam hitungan menit.
Apalagi, beberapa kasus terdahulu telah menunjukkan bahwa tidak semua influencer memiliki kapasitas yang kuat dalam mengelola dana publik. Sebut saja Singgih Sahara yang menyelewengkan dana donasi ratusan juta untuk keperluan pribadi ketimbang berobat ibunya.
Potensi masalah lain muncul dari sifat filantropi digital yang cenderung reaktif dan jangka pendek. Donasi semacam ini juga kerap tak dilengkapi mekanisme untuk penyaluran ke penerima manfaat yang lebih luas dari sisi jumlah dan lokasi.
Selain itu, keberhasilan Ferry Irwandi dan kawan-kawan juga menampakkan adanya ruang kosong dalam tata kelola kebencanaan yang gagal diisi oleh negara.
Setelah influencer ramai berdonasi: apakah pejabat publik dan politisi boleh menggagas hal serupa? Tentu saja boleh seperti amanat Undang-undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial beserta turunannya.
Tapi apakah cara ini bisa menarik minat publik seperti yang dilakukan para influencer beken? Jawabannya kembali lagi kepada masyarakat.
Penulis: Septian Bayu Kristanto, Research associate professor, Center of Tax and Accounting Studies, Universitas Kristen Krida Wacana
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.