
EDISI.CO, KEPRI- Keluhan masyarakat atas layanan subtansi agraria menjadi kasus laporan yang menonjol diterima oleh Ombudsman Perwakilan Kepulauan Riau (Kepri) dalam kurun waktu 4 tahun belakangan.
Kepala Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Kepri, Lagat Parroha Patar Siadari, mengatakan sejak 2019 tercatat sebanyak 15% akses laporan dari 235 keseluruhan laporan yang diregistrasi. Sektor substansi agraria ini nomor dua terbanyak setelah kasus subtansi administrasi kependudukan.
Fenomena ini terus berlanjut pada tahun 2020 masyarakat melaporkan subtansi agraria sebanyak 25% dari 311 akses laporan yang diregistrasi. Pada tahun 2021 juga terbanyak subtansi ini yang diadukan sebesar 14% dari 445 akses laporan, bahkan pada triwulan I dan II tahun 2022 subtansi ini masih mendominasi laporan sebanyak 22% dari 279 akses laporan.
Baca juga: Sistem Kerja Berbasis Digital jadi Bahasan Utama dalam Rakornas Kepagawaian 2022
“Jadi sejak tahun 2019 lalu sampai saat ini persentasi subtansi agraria yang dilaporkan masyarakat Kepulauan Riau ke Ombudsman sebanyak 18,7% dari 1.270 akses laporan yang diterima,” kata Lagat dalam keterangannya.
Sedangkan terkait pokok permasalahan yang dilaporkan masyarakat pada subtansi beragam setiap tahunnya namun permasalahan yang paling menonjol adalah penyelesaian kasus pertanahan misalnya sengketa, konflik, perkara, mediasi, gelar kasus pertanahan.
Tahun 2020 tercatat ada 15 laporan menyangkut persoalan ini, tahun 2021 bertambah menjadi 22 laporan dan tahun ini sudah tercatat sebanyak 10 laporan. Kemudian persoalan lainnya yang menonjol adalah terkait pendaftaran tanah pertama kali menyangkut penerbitan hak atas tanah SHM, HGB, HGU, Hak Pakai, Hak Pengelolaan, Wakaf, Pendaftaran HM Sarusun.
Baca juga: KPU Pastikan Boleh Kampanye di Kampus
Pada tahun 2020 sebanyak 11 laporan diterima menyangkut persoalan ini, tahun 2021 ada 10 laporan dan pada pertengahan tahun ini sudah diterima laporan masyarakat sebanyak 16 laporan. Persoalan lain yang juga dilaporkan pada subtansi agraria tiap tahun berkisar 4-5 laporan adalah Pengadaan Tanah Pemerintah (ganti rugi dan non ganti rugi), Pencatatan dan Informasi Pertanahan (pencatatan sita, blokir, pengangkatan sita, pengecekan sertifikat, Surat Keterangan Pendaftaran Tanah, Informasi peta).
Dan layanan Perubahan Hak atas Tanah misalnya terkait Peralihan Hak (jual beli, waris, hibah, lelang,merger), Ganti Nama Sertifikat, Perpanjangan jangka waktu, Pembaharuan hak, Pemecahan, Penggabungan, Pemisahan,Pertifikat pengganti). Juga pokok persoalan layanan Program Pertanahan Non Reguler (Prona, PTSL, SKT, Izin Membuka Tanah, Izin Lokasi, Tanah Garapan).
Baca juga: RUU KUHP Tidak Akan Ada Pasal Yang Mengancam Kebebasan Pers, Kata DPR
Instansi yang dilaporkan pengadu atas keluhan layanan yang dialami mulai dari kantor desa, kelurahan, kecamatan, Kantor Pertanahan (BPN), Kantor Wilayah ATR/BPN dan Badan Pengusahaan Batam (BP Batam).
Khusus instansi yang disebut terakhir adalah pemegang Hak Pengelolaan Lahan (HPL) di Kota Batam dengan konsep penyewaan lahan kepada investor/korporasi dan masyarakat melalui perjanjian pengalokasian lahan untuk masa 30 tahun, kemudian dapat diperpanjang untuk 20 tahun kemudian dan masa perpanjangan kedua untuk 30 tahun lagi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-Undang dibidang agraria.
Pokok persoalan pertanahan yang di layanani oleh BP Batam menjadi dominan dari keseluruhan laporan yang diterima dengan kasus yang beragam terkait dengan administrasi lahan diantaranya tidak disetujuinya perpanjangan alokasi lahan, lambatnya pengurusan surat-surat tanah meski sudah membayar uang wajib tahunan (WTO) dan tumpang tindih alokasi lahan.
Sedangkan pemicu yang menimbulan persoalan pertanahan di tingkat desa, kelurahan dan kecamatan terkait dengan layanan pengadministrasian pertanahan yang semrawut, tumpang tindih dan konflik kepentingan.
Baca juga: Gubernur Kepri Minta Kebijakan Bebas VoA Diaktifkan lagi
Sementara berdasarkan Undang-undang 25 tahun 2009 tentang pelayanan publik dan Peraturan Ombudsman No. 48 tahun 20120 maka jenis dugaan maladministrasi yang dilaporkan oleh pelapor adalah penyimpangan prosedur, tidak memberikan pelayanan, penundaan berlarut serta permintaan uang, imbalan dan jasa.
Dugaan penyimpangan pelayanan ini dimungkinkan terjadi akibat ketidakpatuhan penyelenggara/terlapor dalam menerapkan standar pelayanan publik.
Ombudsman Perwakilan Kepulauan Riau sebenarnya telah melakukan pengawasan untuk pencegah terjadinya penyimpangan dengan melakukan berbagai upaya mulai sosialisasi dan edukasi masyarakat, Focus Grup Discussion (FGD) melakukan induksi, kampanye pelayanan publik bebas maladministrasi , Kajian Kebijakan Publik, membanguan Jaringan Kerja dan Kerja Sama, Pendampingan Sistem Pengelolaan Pengaduan Pelayanan Publik Nasional (SP4N-LAPOR) dan Pengawasan Penyelenggaraan Pelayanan Publik Secara Langsung (Sidak & Monitoring).
Baca juga: Sistem Kerja Berbasis Digital jadi Bahasan Utama dalam Rakornas Kepagawaian 2022
“Program utama pencegahan yang dilakukan adalah Survey Kepatuhan Penerapan Standar Pelayanan Publik setiap tahun kepada instansi Kementerian di daerah, Lembaga dan Pemerintah Daerah. Subtansi yang dinilai masih terbatas pada layanan Pendidikan, Perijinan, Kesehatan dan Administrasi Kependudukan,” kata Lagat lagi.