EDISI.CO, BATAM– Nelayan di beberapa kawasan di pesisir Batam bertutur. Cerita mereka tentang kondisi laut rusak, membuat hasil tangkapan mereka turun signifikan. Bahkan tidak jarang mereka tidak membawa hasil setelah berjam-jam di laut. Dalam istilah masyarakat Melayu pesisir Batam, ketiadaan hasil tangkapan ini biasa juga disebut “Musak”.
Awang Gapar (60) dan Abas (65) adalah dua nelayan yang penulis temui di Kampung Bagan, Kelurahan Tanjung Piayu, Kecamatan Sungai Beduk, Batam pada November 2022 lalu. Pagi itu, keduanya tidak melaut mencari Ikan, Udang dan Rajungan karena kondisi ketinggian air belum pas untuk mereka turun melaut.
Baca juga: Kepala BP Batam Apresiasi Peran Para Purnabakti
Kami berkenalan, berbincang santai tentang Kampung Bagan dan keseharian masyarakatnya. Selanjutnya, Gapar dan Abas bergantian menceritakan keseharian mereka menghidupi keluarga dari profesi sebagai nelayan. Pekerjaan yang telah puluhan tahun dijalani. Nampaknya akan terus menjadi profesi keduanya sampai nanti tenaga mereka tak lagi kuat mendayung.
Gapar mengawali dengan gambaran kondisi hasil tangkapan yang jauh menurun dan semakin mengkhawatirkan. Kondisi laut yang rusak karena pencemaran mengakibatkan penurunan hasil tangkapan nelayan secara signifikan.
“Perubahan laut di sini sangat berpengaruh untuk kami. Airnya (laut) jadi keruh dan busuk. Apalagi kalau hujan, airnya jadi berwarna putih. Tahun-tahun 1990-an itu sudah ada model-model limbah seperti ini,” tutur Gapar.
Baca juga: Ponton Pelabuhan Belakangpadang Selesai Diperbaiki
Dulu, ia dan nelayan lain dengan mudahnya mendapatkan hasil laut. Dalam sekejap, hasil tangkapan sudah melimpah dan lebih dari cukup. Kini, untuk dapat satu Kilogram (Kg) Udang saja, harus berjuang ekstra keras dan tidak banyak yang bisa mencapainya. Para nelayan seringnya hanya dapat sedikit, bahkan tidak cukup untuk dijual.
Sehari sebelumnya, Abas (656) menceritakan kalau tak satupun Rajungan terperangkap di Bubu (jenis alat tangkap) yang ia tebar di perairan di sekitar Kampung Bagan. Padahal, ketika turun melaut, ia harus menyiapkan modal paling tidak Rp30 ribu untuk operasional.
Kondisi itu, memaksa Abas melakukan ikhtiar lain dengan menjadi kuli pikul di kapal bermuatan Pisang yang bersandar di Pelabuhan Rakyat di Kampung Bagan. Meskipun usianya tidak lagi muda.
“Bubu ada hampir 50 biji, tak dapat seekorpun Ketam (Rajungan). Modal saja sudah Rp30 ribu untuk bensin dan umpan. Tapi penghasilan tidak ada. Tapi inilah pekerjaan kami, tetap jadi nelayan,” kata Abas.
Baca juga: Malaysia Siap Investasi Sektor Agribisnis Senilai Rp350 Miliar di Batam
Kondisi tidak menyenangkan tersebut semakin bertambah oleh kenaikan bahan bakar minyak (BBM). Memaksa para nelayan mengeluarkan lebih banyak modal untuk hasil yang tidak seberapa. Syukur kalau hasil tangkapan bisa lebih dari modal yang dikeluarkan.
Terkait dengan kehadiran pemerintah, baik di tingkat kabupaten/kota; provinsi maupun di tingkat pusat untuk nelayan kecil seperti mereka, Gapar dan Abas tidak banyak berkomentar. Keduanya juga tidak menaruh harap pada program bantuan alat tangkap yang memang belum menyentuh mereka.
Obrolan kami sempat terhenti oleh kedatangan Rasidi (39), tetangga Gapar dan Abas yang juga Nelayan kecil di periran Kampung Bagan. Rasidi datang dengan membawa sajian Kopi dan Teh. Rasidi mempersilakan kami minum.
Bagaimana Rasidi bertutur tentang kesehariannya mengais hasil laut, akan penulis paparkan dalam tulisan selanjutnya.