EDISI.CO, INTERNASIONAL- Twitter diam-diam bersekongkol dengan Pentagon atau Departemen Pertahanan Amerika Serikat untuk memperkuat propagandanya di Timur Tengah. Hal ini diungkapkan hasil penyelidikan berdasarkan dokumen internal perusahaan.
File-file tersebut, pertama kali diungkapkan oleh The Intercept, menunjukkan bagaimana para pejabat di Twitter membantu memberikan visibilitas yang lebih besar ke jaringan akun yang dijalankan oleh Komando Pusat AS yang bertujuan untuk membentuk opini di Yaman, Irak, Suriah, Kuwait, dan tempat-tempat lain.
Baca juga: Ukraina Minta Rusia Disingkirkan dari Keanggotaan Permanen Dewan Keamanan PBB
Dikutip dari laman Middle East Eye, Kamis (29/12), operasi ini dilakukan melalui “daftar putih” akun atas permintaan pemerintah AS, membantu mereka menghindari filter spam dan meningkatkan jangkauan mereka.
Dalam salah satu percakapan dengan karyawan Twitter, seorang pejabat militer AS secara berseloroh menyatakan “sulit melakukan operasi web jika Anda tidak dapat men-Tweet!”.
Baca juga: Putin Sebut Rusia Ingin Akhiri Perang di Ukraina dengan Cara Ini
Pertukaran dilanjutkan dengan pejabat militer mendaftarkan enam akun dan meminta agar beberapa diverifikasi melalui “blue checks” dan yang lainnya “dimasukkan dalam daftar putih/whitelisted” sehingga mereka dapat “memperkuat pesan tertentu”.
Totalnya, pejabat AS meminta setidaknya 52 akun diberi status khusus.
Menurut sumber The Intercept, Twitter diam-diam memperkenalkan fitur baru pada 2017 yang secara khusus dapat memenuhi kebutuhan militer AS.
Artinya, kendati sebuah akun tidak secara resmi mendapatkan centang biru, akun itu masih mendapat keuntungan dari akun centang biru tanpa terlihat oleh publik.
Twitter tidak menanggapi permintaan komentar yang diajukan Intercept.
Awal tahun ini, pemerintah AS dituding mensponspori kampanye digital di Facebook, Twitter, Instagram, dan media sosial lainnya menargetkan Asia Tengah dan Timur Tengah untuk mempromosikan narasi-narasi pro-barat.
Pada Juli dan Agustus, Twitter dan Facebook menghapus puluhan akun karena melanggar kebijakan mereka tentang “manipulasi platform dan spam” dan karena terlibat dalam “perilaku tidak autentik yang terkoordinasi”.
Fokus utama dari laporan ini adalah Iran, Afghanistan, dan kelompok berbahasa Arab di Timur Tengah yang terdiri dari subkelompok Irak dan Saudi.
Namun kemudian terungkap Twitter berkoordinasi dengan otoritas AS di balik layar untuk melindungi akun mereka saat bekerja melawan negara lain yang melakukan aktivitas online serupa.
Tidak berlaku untuk AS
Pada 2020, Twitter mengumumkan 7.340 akun yang ditautkan ke Turki dihapus sebagai bagian dari tindakan keras terhadap operasi informasi yang terkait dengan negara, bersama dengan pembersihan serupa dari akun yang terkait dengan Rusia dan China.
Setelah pengungkapan tersebut, Twitter secara terbuka mengatakan pemerintah Turki berada di balik penangguhan akun tersebut. Pemerintah Turki saat itu mengkritik Twitter sebagai mesin propaganda dengan kecenderungan politik dan ideologis tertentu.
Dokumen baru menunjukkan aturan yang diterapkan Twitter ke negara lain yang menjalankan operasi informasi tampaknya tidak diterapkan pada pemerintah AS.