EDISI.CO, CATATAN EDISIAN– Pencemaran laut di Indonesia telah menjadi ancaman serius terhadap ekosistem dan mata pencaharian nelayan, salah satu contohnya adalah kasus Teluk Buyat di Sulawesi Utara yang tercemar oleh merkuri dan arsen.
Untuk mengatasi tantangan luasnya perairan Indonesia, teknologi pengindraan jauh melalui satelit optik menjadi solusi. Dengan memberikan data aktual mengenai kondisi laut dalam wilayah yang luas, teknologi ini memungkinkan deteksi pencemaran secara aktual, seperti mendeteksi kualitas air dan sampah laut, yang esensial untuk langkah-langkah konservasi.
Bekerja layaknya kamera
Satelit optik memiliki cara kerja yang mirip dengan kamera saku atau pun kamera ponsel yang sering kita gunakan sehari-hari.
Sebuah kamera umumnya memiliki tiga buah kanal sensor yaitu kanal merah, hijau dan biru. Masing-masing kanal tersebut akan merekam informasi pantulan cahaya yang bersumber dari matahari atau sumber cahaya lainnya yang masuk ke dalam kanal sensor sesuai dengan panjang gelombangnya.
Satelit optik juga memiliki kanal-kanal yang merekam informasi pantulan cahaya seperti halnya kamera. Hanya saja, jumlahnya lebih banyak dan tidak terbatas pada cahaya yang tampak atau visible light. Jumlah dan area sensor kanal ditentukan oleh tujuan dari dibuatnya satelit dan objek yang ingin diamati. Hal ini dikarenakan masing-masing objek memiliki karakteristik masing-masing, tergantung gelombang yang diserap atau dipantulkan. Karakter ini disebut juga dengan spectral signature atau variasi pancaran suatu bahan terhadap panjang gelombang.
Gambar di atas menunjukkan bahwa pola minyak berbeda dengan air laut.
Pencemar laut memang memiliki karakteristik khas yang dapat membuatnya terpisah dari keadaan air laut yang bersih. Hal ini terjadi karena objek pencemar tidak menyerap beberapa gelombang cahaya tertentu.
Baca juga: PN Batam Harus Kabulkan Permohonan Praperadilan 30 Tersangka terkait Rempang
Objek apung seperti microplastic dan microalgae, misalnya, dapat terlihat seperti pola bergaris putih atau warna hijau yang berbeda dengan warna air laut yang biasanya biru dalam citra satelit.
Apa saja yang bisa dideteksi?
1. Tumpahan minyak
Tumpahan minyak merupakan salah satu pencemaran yang sering terjadi di laut Indonesia. Pencemaran ini memberikan dampak besar tidak hanya bagi ekosistem laut tetapi juga mata pencaharian nelayan. Minyak yang tumpah di laut, baik yang berasal dari kapal, bangunan pinggir pantai maupun sumur pengeboran lepas pantai akan menutupi permukaan laut, sehingga mengganggu keseimbangan kehidupan di bawahnya.
Dengan mendeteksi tumpahan minyak lebih cepat, kita bisa segera mengambil tindakan untuk membersihkan dan mencegah kerusakan lebih lanjut pada ekosistem laut. Selain itu, data dari satelit juga bisa digunakan untuk menentukan sumber tumpahan dan membantu dalam proses hukum terkait insiden tersebut.
Sensor pada satelit optik mampu mendeteksi perubahan warna, suhu, dan tekstur di permukaan laut. Saat terjadi tumpahan minyak, minyak akan membentuk lapisan tipis di atas air yang mengubah sifat permukaan laut tersebut. Satelit dapat “melihat” perubahan ini dan memberi tahu kita di mana tumpahan minyak terjadi.
2. Sampah laut
Sampah yang dibuang ke laut akan pergi kemana pun mengikuti arus sehingga sulit untuk mendeteksi keberadaannya atau memprediksi pergerakannya. Padahal, sampah laut, khususnya plastik, dapat menambah pelepasan karbon dari laut ke atmosfer sehingga memperparah perubahan iklim.
Namun, penelitian terkini menunjukkan bahwa satelit memiliki potensi yang besar untuk membantu melihat sampah laut dari angkasa.
Selain mendeteksi sampah yang mengapung dan terdampar di pantai, perkembangan teknologi telah memungkinkan satelit untuk membantu memprediksi pergerakan sampah. Lauren Biermann, peneliti dari Plymouth Marine Laboratory, Inggris, pada 2020, menggunakan satelit Sentinel-2 dan metode Floating Debris Index (FDI) untuk mendeteksi jejak sampah plastik di beberapa daerah. Sentinel-2 merupakan satelit beresolusi 10 meter yang dioperatori oleh European Space Agency (ESA), badan antar pemerintah yang dikhususkan untuk eksplorasi ruang angkasa dan berkantor pusat di Paris, Prancis.
Dengan menggunakan satelit optik, luasan sampah yang sangat melimpah mudah untuk dideteksi, apalagi jika luasannya melebihi resolusi Sentinel-2. Data satelit akan menunjukkan jejak sampah plastik ini sebagai warna yang berbeda dengan permukaan air. Seperti pada penelitian tahun 2022 yang mendeteksi sampah laut di North Adriatic, Eropa pada musim panas 2020.
Tentunya, kemampuan satelit untuk memprediksi pergerakan sampah laut akan lebih maksimal jika dipadukan dengan informasi lain seperti arah arus, kecepatan arus, dan sifat oseanografi lain.
3. Algal bloom
Algal bloom atau fenomena mekarnya alga terjadi ketika populasi alga di perairan meningkat dengan cepat dan mengubah warna air menjadi hijau, merah, atau coklat. Meskipun beberapa algal bloom bersifat alami dan tidak berbahaya, ada juga yang menghasilkan racun yang dapat membahayakan kehidupan laut dan manusia yang mengonsumsi makanan laut.
Sensor pada satelit pengindraan jauh mampu mendeteksi perubahan warna dan kualitas cahaya yang dipantulkan oleh permukaan air. Saat alga mekar, mereka menghasilkan pigmen klorofil yang mengubah warna air. Satelit dapat “melihat” perubahan warna ini dan mengidentifikasi area yang mengalami algal bloom.
Dengan mendeteksi algal bloom lebih awal, kita dapat memperingatkan masyarakat dan nelayan tentang potensi bahaya. Selain itu, data dari satelit juga dapat digunakan oleh para peneliti untuk memahami penyebab dan pola algal bloom, serta mengembangkan strategi pencegahan dan pengendalian.
4. Padatan tersuspensi
Satelit optik juga memiliki kemampuan untuk mendeteksi benda kecil, terutama padatan tersuspensi di perairan. Area yang memiliki konsentrasi padatan tersuspensi tinggi, akan memiliki penampakan yang keruh. Semakin keruh kondisi perairan, semakin miskin klorofilnya, sehingga dapat menyebabkan terputusnya rantai makanan untuk biota laut.
Hal ini dapat dilihat pada bagian sisi muara di Muara Baru, Bekasi, di mana tampak area berwarna kecoklatan yang cukup kentara. Hal ini menunjukkan area tersebut memiliki kandungan padatan tersuspensi yang tinggi. Mengingat di area tersebut terdapat banyak tambak, sangat memungkinkan jika bagian muara memiliki konsentrasi padatan tersuspensi yang tinggi.
Penggunaan satelit untuk mengobservasi bumi sudah banyak dilakukan, termasuk untuk memantau pencemaran laut. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) telah melakukan kerja sama dan riset terkait penggunaan satelit untuk menangani pencemaran laut, diantaranya: Satelit LAPAN A-3 untuk pemantauan tumpahan minyak di perairan Bintan, pendeteksian total materi tersuspensi dengan satelit Landsat-8 yang mempunyai resolusi spasial multispektral 30 m dan resolusi temporal 16 hari, dan pemanfaatan satelit SPOT4, sistem satelit observasi bumi yang mencitra secara optis dengan resolusi tinggi dan dioperasikan di luar angkasa, untuk mendeteksi algal bloom.
Penulis: Pingkan Mayestika Afgatiani, Research assistant, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN); Anisa Rarasati, , Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dan Argo Suhadha, Junior scientist, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.