EDISI.CO, NASIONAL– Kongres XII Aliansi Jurnalis Independen (AJI) 2024 di Palembang, Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) melahirkan perempuan kedua sebagai pimpinan tertinggi dalam sejarah AJI. Nani Afrida dan pasangannya, Bayu Wardhana, meraih 90 dari total 217 suara elektoral dalam pemilu AJI yang diikuti empat pasangan calon.
Nani-Bayu unggul atas pasangan Aloysius Budi Kurniawan dan Iman D Nugroho dengan raihan 42 suara elektoral; pasangan Ika Ningtyas dan Laban Abraham Laisila yang mendapatkan 48 suara elektoral; dan pasangan Edy Can dan Asep Saefullah dengan 37 suara elektoral.
Sebelum Nani Afrida memimpin AJI untuk periode 2024 hingga 2027 mendatang, nama Ati Nurbaiti tercatat lebih dulu mengisi pucuk pimpinan AJI pada periode 2000-2003 lalu. Saat itu Ati berpasangan dengan Solahuddin sebagai sekertaris.
Pasangan Nani-Bayu memiliki visi misi utama mengenai kesejahteraan jurnalis dan kemerdekaan pers yang lebih baik.
Nani yang sebelumnya mengisi posisi sebagai Ketua Bidang Gender, Anak, dan Kelompok Marjinal, AJI pada periode 2021-2023 ini, mengatakan pihaknya akan memperkuat keorganisasian seluruh AJI Kota. Untuk mewujudkan kemandirian yang berkaitan dengan profesionalisme para anggota AJI di seluruh Indonesia.
Baca juga: Buruh dan Pemko Batam Mesra di May Day 2024
Selain itu, isu kemerdekaan dan kebebasan pers juga menjadi perhatian penting bagi pasangan Nani-Bayu.
“Saya mengucapkan terimakasih kepada 40 AJI Kota yang tersebar di Indonesia. Atas partisipasinya mengikuti Kongres, baik yang hadir langsung dan yang melalui daring,” kata Nani.
Panitia Kongres XII AJI 2024, Mahdi Mahmud, mengatakan Kongres XII AJI menyoroti perlakuan intimidatif yang saat ini jamak menerpa jurnalis. Dengan tema “Menjaga Kebebasan Pers untuk Keadilan Iklim dan Demokrasi”.
Menurutnya, intimidasi yang dihadapi jurnalis saat memberitakan persoalan lingkungan, karena isu lingkungan bertaut erat dengan persoalan sosial yang muncul sebagai akibat atas kebijakan yang dibuat negara. Salah satunya penambangan dan investasi yang tidak memikirkan masyarakat tempatan atau masyarakat adat yang lebih dulu berkehidupan.
“Jurnalis kerap mengalami pelecehan, intimidasi, dan ancaman karena pemberitaan mereka dianggap meresahkan. Ancaman tersebut tidak hanya sekadar ancaman verbal, tapi juga melalui berbagai peraturan dan ancaman pembunuhan,” paparnya.
“Serangan terhadap pers semakin masif dalam bentuk regulasi yang represif, kekerasan, dan penyensoran.”
Selain itu, AJI turut memperkuat jaringan organisasi jurnalis untuk kawasan Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, Kamboja dan, Timor Leste) untuk membahas isu krisis iklim, demokrasi dan kebebasan Pers.