EDISI.CO, CATATAN EDISIAN– Ki Hajar Dewantara, pahlawan nasional dan pejuang kesetaraan dan kesempatan pendidikan bagi warga Indonesia, pernah menyebutkan bahwa pendidikan adalah proses memanusiakan manusia. Falsafah tersebut memosisikan pendidikan sebagai jalan untuk membebaskan diri dari hambatan-hambatan sosial (social constraints). Artinya, pendidikan harus mampu membebaskan manusia setidaknya dari rasa takut terhadap kekerasan, ancaman kemiskinan, dan kerentanan hidup (precarity).
Namun, berdasarkan kajian tahun 2023, maraknya kritik dan persoalan yang muncul akibat kebijakan pemerintah menunjukkan potensi kegagalan sistem pendidikan dalam menerapkan tujuan memerdekakan manusia tersebut. Beberapa waktu lalu, misalnya, publik dikejutkan dengan munculnya kasus perdagangan orang berkedok magang Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM).
Pakar pendidikan asal Amerika Serikat (AS), Jennifer O’Day dan Marshall Smith, melihat kegagalan pendidikan modern sebagai masalah sistemik yang berakar pada hambatan-hambatan (constraints) dalam aspek sosio-kultural, ekonomi, dan politik. Berangkat dari perspektif tersebut, penulis berupaya merefleksikan kegagalan sistemik pendidikan di Indonesia, dan menemukan setidaknya tiga hambatan utama yang menjadi alasan mengapa pendidikan di Indonesia belum berhasil memerdekakan manusia: budaya kekerasan di institusi pendidikan, rendahnya kesejahteraan pendidik, dan prekarisasi—proses membuat peserta didik menjadi tenaga kerja rentan.
1. Kekerasan masih menjadi budaya
Pendidikan di Indonesia belum memerdekakan sivitas akademika dari kekerasan. Kekerasan terus terjadi di berbagai jenjang pendidikan dan melibatkan berbagai pihak, mulai dari peserta didik, pendidik, hingga orang tua siswa.
Kekerasan antar peserta didik di berbagai jenjang pendidikan dapat dilihat dari kasus siswa SD yang tewas setelah dikeroyok teman sekolah hingga kasus kematian akibat kekerasan yang berulang kali terjadi di perguruan tinggi kedinasan seperti Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP).
Di sisi lain, kekerasan yang melibatkan pendidik juga terlihat dari beberapa kasus. Misalnya, kasus guru Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), yang mencelupkan tangan seorang siswa ke air mendidih. Ada juga kasus kekerasan seksual terhadap peserta didik yang dilakukan oleh guru agama di Bengkulu Utara dan guru sekolah dasar di Yogyakarta.
Tidak hanya pendidik dan peserta didik, kasus kekerasan yang berhubungan dengan pendidikan juga melibatkan orang tua siswa. Di Bengkulu, misalnya, seorang guru SMAN 7 Rejang Lebong diketapel matanya oleh orang tua siswa hingga mengalami kebutaan permanen. Contoh kasus kekerasan terhadap guru juga terjadi di SMAN 1 Nubatukantukan, Kota Lewoleba, NTT. Di sekolah ini, seorang guru dipukul orang tua siswa di dalam kelas.
Kekerasan fisik maupun seksual yang terus-menerus terjadi di lingkungan pendidikan memunculkan kesan bahwa hal ini sudah menjadi kebiasaan atau bahkan budaya dalam pendidikan di Indonesia. Padahal, pemerintah telah berulang kali menerbitkan regulasi yang mengatur pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan satuan pendidikan. Mulai dari Peraturan Menteri (Permen) Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 82 Tahun 2015, hingga yang terbaru, Permen Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 46 Tahun 2023.
Kekerasan yang terus terjadi di berbagai daerah dan jenjang pendidikan ini menunjukkan bahwa pendidikan di Indonesia belum dapat memerdekakan manusia dari kekerasan. Bahkan, regulasi pemerintah tidak efektif dalam mencegah terjadinya kekerasan di lingkungan pendidikan.
2. Kesejahteraan pendidik yang rendah
Kesejahteraan pendidik merupakan masalah klasik yang terus berulang di Indonesia tanpa ada solusi konkret. Para pendidik telah banyak mengungkapkan persoalan kesejahteraannya melalui berbagai tulisan di The Conversation Indonesia. Dari tulisan-tulisan tersebut, terdapat dua tulisan yang relevan untuk memahami kembali masalah kesejahteraan pendidik.
Pertama, terkait dua akar masalah kesejahteraan dalam hubungan kerja guru dan dosen. Tulisan ini mengungkapkan bahwa guru dan dosen di Indonesia menghadapi masalah kesejahteraan yang berakar pada status pegawai tidak tetap dan upah yang tidak layak. Apalagi, guru dan dosen yang tidak memiliki status hubungan kerja ‘tetap’ cenderung menerima penghasilan yang lebih rendah, bahkan tidak jarang di bawah ketentuan upah minimum.
Baca juga: IMA Temukan Ancaman Terstruktur bagi Suku Laut di Kepri
Kedua, persoalan beban kerja pendidik yang tinggi dan tak sebanding dengan rendahnya gaji yang diterima. Dalam tulisan tersebut, masalah gaji pendidik diposisikan sebagai masalah struktural. Tidak adanya aturan sistem pengupahan yang wajib memenuhi kebutuhan hidup layak pekerja di sektor pendidikan, baik yang dikelola pemerintah maupun swasta, mengakibatkan upah pendidik tidak sebanding dengan tingginya beban pekerjaan.
Persoalan kesejahteraan pendidik yang tidak pernah terselesaikan menunjukkan bahwa pendidikan yang ada belum dapat memerdekakan manusia ‘terdidik’ dari ancaman kemiskinan. Bahkan, penyelenggaraan sistem pendidikan itu sendiri belum dapat menjamin setiap pendidik untuk dapat memperoleh penghasilan yang layak.
3. Kerentanan lulusan
Persoalan prekarisasi di Indonesia telah banyak dibahas dalam bidang ketenagakerjaan seperti masalah pekerja kontrak, alih daya (outsourcing), praktek magang (internship), kerja paruh-waktu (part-time), dan kerja lepas (freelance).
Dalam berbagai kajian, prekarisasi dimaknai sebagai proses untuk melemahkan kelas pekerja dan meletakkan mereka dalam posisi rentan. Pekerja dapat kehilangan pekerjaan kapan pun dan rawan menghadapi kondisi kerja yang tidak manusiawi seperti keterpaksaan untuk bekerja lembur, tidak diikutsertakan dalam jaminan sosial tenaga kerja, dan upah murah atau bahkan kerja tanpa dibayar.
Prekarisasi tidak lepas dari sistem pendidikan yang hanya berorientasi pada pengembangan kompetensi peserta didik tanpa pengembangan nalar bahwa tenaga kerja adalah manusia merdeka yang berhak atas kehidupan layak dan bermartabat. Prekarisasi peserta didik sebagai calon tenaga kerja dapat ditinjau secara eksplisit melalui capaian pembelajaran yang paradoks: para siswa dan mahasiswa dididik agar memiliki pengetahuan dan keterampilan yang berguna di dunia kerja sesuai profil lulusan bidang studinya, namun tidak dibekali pengetahuan tentang norma-norma ketenagakerjaan dan keterampilan untuk menghadapi kondisi kerja yang rentan.
Bahkan, berbagai persoalan dalam program magang yang diinisiasi atau diwajibkan satuan pendidikan seperti beban kerja mahasiswa magang yang setara pekerja penuh waktu namun tidak dibayar, dan kasus perdagangan orang dalam program magang ferienjob mahasiswa Indonesia di Jerman justru menunjukkan bahwa prekarisasi telah dimulai sejak peserta didik menempuh pendidikan. Artinya, sistem pendidikan itu sendiri gagal untuk memahami salah satu hak asasi yang sangat penting dalam memerdekakan manusia dan telah diakui secara universal, yakni hak atas pengupahan yang adil dan mampu menjamin kehidupan layak yang bermartabat.
Solusi pendidikan yang memerdekakan
Perumusan kebijakan terkait penanganan dan pencegahan kekerasan di seluruh lingkungan satuan pendidikan membutuhkan instrumen untuk mengukur prevalensi kekerasan dan kekerasan seksual. Pemerintah Indonesia dapat mencontoh instrumen dan metode survei nasional yang dilakukan secara rutin di negara lain, seperti survei prevalensi kekerasan seksual di Australia, survei tentang kekerasan dan pelecehan seksual di perguruan tinggi Irlandia, dan survei perilaku berisiko remaja AS.
Pelaksanaan survei rutin tersebut harus dapat melindungi identitas serta keamanan setiap responden, baik peserta didik, pendidik maupun orangtua siswa. Namun, data hasil survei kekerasan dan kekerasan seksual di setiap satuan pendidikan berupa skor tingkat prevalensi, lokasi, dan jenjang pendidikan harus dibuka secara transparan ke publik agar pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan seluruh elemen masyarakat dapat mengetahui tanda-tanda bahaya kekerasan pada satuan pendidikan.
Pemerintah juga perlu merumuskan regulasi yang mengatur pemberian gaji bagi pendidik yang berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN) dan pendidik yang dipekerjakan melalui perjanjian kerja dengan satuan pendidikan. Regulasi tersebut setidaknya harus dapat menjamin para pendidik, terutama di level atau masa kerja terendah, tidak menerima upah di bawah upah minimum. Bahkan, regulasi tersebut juga perlu mengatur standar kelayakan upah minimum sektor pendidikan yang lebih tinggi dari upah minimum regional.
Dalam hal prekarisasi, ketidakmampuan atau bahkan ketidaksadaran tenaga kerja untuk menghadapi kondisi kerja yang rentan harus segera disadari oleh setiap pemangku kepentingan. Setidaknya harus terdapat kebijakan yang mewajibkan satuan pendidikan untuk membekali peserta didik pengetahuan tentang norma-norma ketenagakerjaan dan kemampuan untuk merundingkan secara kolektif kondisi kerja yang layak bagi kemanusiaan.
Penulis: Rizma Afian Azhiim, Dosen, Universitas Bhayangkara Jakarta Raya
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.