EDISI.CO, CATATAN EDISIAN– Nir Barzilai, Direktur Institute of Aging Research di Albert Einstein College of Medicine di Amerika Serikat (AS), bertemu dengan Helen (100 tahun), salah satu subjek penelitiannya untuk mengungkap rahasia umur panjang. Ketika Helen membuka pintu apartemennya, Nir terkejut melihat kepulan asap rokok.
Dengan heran, Nir bertanya, “Apakah tidak ada dokter yang memberitahumu untuk tidak merokok?” Setengah bercanda, Helen menjawab, “Sudah ada empat orang dokter yang melarangku merokok, tetapi mereka sudah lebih dulu meninggalkan dunia ini.”
Helen adalah salah satu dari lebih dari 700 centenarian (orang yang berusia lebih dari 100 tahun) yang menjadi responden penelitian Nir Barzilai. Menariknya, mayoritas para centenarian ini tampaknya tidak menjalankan gaya hidup yang sehat. Lebih dari setengah dari mereka memiliki kelebihan berat badan, merokok, dan memiliki aktivitas fisik yang terbatas.
Meskipun demikian, mereka tetap berumur 20-30 tahun lebih panjang (lifespan) dan juga sehat (healthspan) dibandingkan populasi umumnya yang rata-rata berumur 73 tahun. Para centenarian sepertinya dianguerahi gen tertentu yang membuat mereka memiliki kekebalan alami terhadap gaya hidup yang tidak sehat.
Nir menyampaikan percakapan dengan Helen tersebut dalam presentasi ilmiahnya di Buck Institute for Research on Aging di California, AS. Presentasinya kemudian memicu diskusi dan pertanyaan, apakah peran genetik sebesar itu dalam menentukan umur seseorang? Apakah sudah tidak ada ruang untuk memperpanjang umur melalui modifikasi gaya hidup?
Genetik menentukan umur
Konsep genetik sebagai penentu panjangnya umur (longevity) pertama kali dibuktikan secara ilmiah ditahun 1990-an ketika beberapa ilmuwan dari University of California, AS berhasil meningkatkan umur cacing (c. elegans) menjadi dua kali lipat melalui manipulasi genetik.
Puluhan tahun setelah temuan penting tersebut, kini ilmuwan telah mampu meningkatkan harapan hidup berbagai hewan yang lebih kompleks seperti lalat dan tikus melalui rekayasa genetik.
Salah satu gen yang paling tervalidasi memiliki pengaruh sangat signifikan terhadap harapan hidup seseorang adalah gen apolipoprotein E (APOE). Terdapat tiga varian gen APOE yang dikenal, yaitu APOE2, APOE3, dan APOE4.
Data epidemiologi menunjukkan bahwa individu dengan varian APOE4 cenderung memiliki umur yang lebih pendek dan sepuluh kali lebih berisiko mengalami penyakit Alzheimer (penyakit pikun).
Sebaliknya, individu yang membawa varian APOE2 cenderung memiliki umur lebih panjang dan hampir 4 kali lipat lebih kebal terhadap penyakit Alzheimer.
Sementara itu, sebagian besar dari populasi membawa gen APOE3 yang bersifat netral.
Tugas utama gen APOE adalah mengatur transportasi kolesterol. Menariknya, seseorang dengan gen APOE4 memiliki kadar kolesterol jahat (LDL) yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang memiliki gen APOE2 dan APOE3.
Seperti yang kita ketahui, peningkatan kadar kolestrol jahat dapat meningkatkan risiko berbagai penyakit yang menjadi penyebab utama kematian seperti stroke dan penyakit jantung. Peran gen APOE dalam mengatur kolesterol inilah yang mungkin menjadi faktor penentu usia seseorang.
Gen bukan faktor satu-satunya
Walaupun APOE telah tervalidasi sebagai gen penentu panjang umur seseorang, faktor eksternal khususnya gaya hidup sepertinya tetap berperan krusial.
Misalnya, ketika dua kelompok masyarakat dengan gen APOE3 dan APOE4 menjalani gaya hidup yang sehat, maka manfaat ataupun efek positifnya akan serupa untuk kedua kelompok tersebut.
Penelitian lain yang melibatkan populasi lebih besar dan melacak sampelnya selama 20 tahun juga menemukan bahwa manfaat gaya hidup sehat konsisten baik pada mereka dengan risiko genetik tinggi maupun rendah.
Baca juga: Wajib Pajak Kota Batam Makin Patuh
Artinya, meskipun memiliki gen APOE4, efek buruk gen ini tetap dapat kita kurangi secara signifikan melalui modifikasi gaya hidup.
Fenomena menarik juga ditemukan di masyarakat Sisilia yang mendiami bagian selatan Italia. Dalam masyarakat tersebut, manfaat gen APOE2 ataupun efek berbahaya dari gen APOE4 tidak begitu terlihat. Namun, keturunan masyarakat Sisilia yang bermigrasi dan tinggal di AS merasakan dampak buruk gen APOE4.
Hal ini menunjukkan bahwa faktor-faktor yang terkait dengan tinggal di Italia Selatan dapat mengurangi efek merugikan dari APOE4. Secara khusus, kebiasaan masyarakat Sisilia menerapkan diet Mediterania yang kaya akan sayur, buah, dan ikan segar sepertinya telah berkontribusi pada perbedaan tersebut.
Dengan munculnya fakta-fakta tersebut, beberapa studi—yang melibatkan ribuan bahkan puluhan ribu sampel penelitian—mengidentifikasi peran genetik hanya di angka 10-30%.
Secara biologi, peranan gen sebenarnya dapat kita aktifkan atau nonaktifkan melalui mekanisme yang disebut sebagai epigenetik.
Contohnya, berolahraga secara teratur dapat mengubah profil epigenetik kita. Pada akhirnya, kebiasaan ini menonaktifkan gen yang berbahaya bagi tubuh dan mengaktifkan gen yang bermanfaat.
Artinya, gen yang telah melekat pada diri kita sejak lahir bukan sesuatu yang mutlak menentukan kondisi kita di masa mendatang.
Gaya hidup tetap penting
Saat ini, belum ada data komprehensif untuk memeriksa peranan gen dan gaya hidup dalam menentukan panjang umur seseorang. Namun, beberapa studi yang telah didiskusikan pada tulisan ini telah menunjukkan bahwa orang-orang yang dianugerahi “gen panjang umur” (misalnya APOE2) memang memiliki umur yang lebih panjang dan sehat apapun gaya hidup yang mereka jalani.
Meski demikian, jumlah mereka sangatlah kecil (sekitar 1-2%) dalam populasi. Anugerah umur panjang dan sehat yang dialami oleh Helen dan 700 centenarian lainnya yang menjadi subjek penelitian Nir Barzilai tampaknya bersifat kasuistik.
Kualitas kesehatan dan panjangnya umur sebagian besar dari kita tetap sangat ditentukan oleh gaya hidup. Bahkan, ketika kita memiliki gen yang meningkatkan risiko berbagai penyakit, efek buruk gen tersebut tetap dapat kita cegah dengan bergaya hidup sehat.
Mengingat sebagian besar dari kita membawa gen netral (APOE3), peranan gaya hidup menjadi semakin penting dalam menentukan tingkat kesehatan dan angka harapan hidup kita.
Rais Reskiawan, Post Doctoral Researcher at Buck Institutue for Research on Aging and Lecture at Faculty of Medicine, Universitas Hasanuddin
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.