EDISI.CO, CATATAN EDISIAN– Indonesia memiliki rencana untuk mengakhiri dominasi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batu bara yang melepaskan gas rumah kaca dan memperparah perubahan iklim.
Sayangnya, pelaksanaan rencana ini masih jauh panggang dari api. Di tengah maraknya narasi transisi energi berkeadilan, Indonesia masih membolehkan PLTU baru beroperasi di luar jaringan PT PLN untuk kebutuhan industri (dikenal dengan PLTU captive) sebesar 6 ribu megawatt (MW). PLN juga merencanakan adanya 39 proyek PLTU baru berkapasitas 13 ribu MW dalam jaringan listriknya hingga 2030.
Rencana ini tak bisa dibiarkan. Emisi sektor kelistrikan kita sudah naik 60% dibandingkan satu dekade silam—dengan rekor tertingginya pada 2022. Membiarkan rencana saat ini berjalan tanpa ada terobosan akan menambah emisi gas rumah kaca, sekaligus polusi yang diakibatkan oleh pembakaran batu bara. Keberadaan PLTU—di luar maupun di dalam jaringan PLN—juga menghambat masuknya listrik energi terbarukan Indonesia yang lebih bersih.
Studi kami bersama Center for Global Sustainability University of Maryland mendapati Indonesia masih berpeluang untuk keluar dari jerat pembakaran batu bara dengan melaksanakan skenario ambisius melalui tujuh strategi secara bertahap. Pemerintah dapat memulai langkah ambisius mengakhiri batu bara dengan melaksanakan tujuh rekomendasi kami, sesegera mungkin. Enam strategi tersebut adalah:
1. Bahan bakar pendamping
Riset kami mendapati pemakaian bahan bakar tanaman atau biomassa pendamping batu bara (co-firing) seperti pelet kayu, cangkang sawit, dan sebagainya bisa mengurangi pemakaian emisi PLTU.
Kami menganalisis sekitar 103 unit PLTU dalam jaringan PLN dapat menggunakan biomassa mulai 5% mulai tahun ini hingga 57% dari kapasitas total mereka sebesar 5 ribu MW. Dari total 103 unit, ada juga 42 unit PLTU (dengan kapasitas 374 MW) yang bisa menggunakan biomassa seluruhnya pada 2035. Co-firing ini dapat mengurangi emisi cukup signifikan, yakni sekitar 40% dari total emisi per PLTU dalam jaringan PLN pada 2040.
Peluang serupa juga datang dari PLTU captive. Riset kami menganalisis setidaknya ada pemakaian biomassa di 80 unit PLTU jenis ini dapat mengurangi 32% emisi pada 2030.
Walau begitu, patut dicatat bahwa strategi co-firing ini hanya berlaku sementara, setidaknya hingga 2030. Setelah itu, emisi dari PLTU harus benar-benar dikurangi dengan berbagai cara misalnya penyambungan jaringan, teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon, dan pemakaian energi terbarukan.
2. Pengurangan pemakaian
Studi kami juga mendapati produksi listrik dari 53 unit PLTU dalam jaringan PLN bisa dikurangi secara bertahap. Ini dimulai dari pengurangan ke 40% dari kapasitas pada 2030, ke 35% pada 2040, hingga akhirnya dipensiunkan pada 2050. Sebanyak 53 unit PLTU ini juga perlu kita perbarui agar bisa beroperasi secara fleksibel, seandainya diperlukan untuk memproduksi lebih banyak setrum ke jaringan PLN.
Sementara itu, kami juga mencatat ada 39 unit PLTU yang tak bisa diperbarui. Produksi listrik unit jenis ini juga perlu dikurangi ke 60% saja pada 2030 dan 2035 (tergantung unitnya), kemudian semakin berkurang ke 55% dan 50% dari kapasitas pada 2040 dan 2045.
Strategi ini, berdasarkan perhitungan kami, sangat efektif memangkas 75% emisi PLTU dalam jaringan PLN pada 2030.
3. Pensiun dini
Indonesia sebenarnya telah mengatur jadwal pensiun dini PLTU dalam rencana transisi energinya. Setidaknya PLTU dalam jaringan PLN dengan total kapasitas 1,7 ribu MW akan pensiun dini pada 2035 dan 2037, diikuti pensiun besar-besaran sebesar 23,2 ribu MW secara bertahap hingga 2050.
Kendati begitu, target ini masih kurang ambisius. Idealnya, pensiun dini PLTU dalam jaringan PLN perlu menyasar sekitar 3,8 ribu MW (23 unit) pada 2035 dan 3,5 ribu MW (11 unit) pada 2040 agar transisi Indonesia sesuai dengan komitmen pemangkasan emisi global. Unit-unit ini—kebanyakan berlokasi di Sumatra Selatan dan pulau Jawa—adalah PLTU yang tidak bisa memakai sistem co-firing ataupun beroperasi secara fleksibel.
4. Pasokan energi terbarukan
Strategi ini kami rumuskan khusus untuk PLTU captive dengan asumsi pemilik kawasan industri sudah menyatakan minatnya melakukan transisi industri dalam aset-aset milik mereka.
Baca juga: Juli 2024, Realisasi Pajak Daerah Batam Capai 54 Persen
Setidaknya, pada 2030, pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dengan kapasitas 11,2 ribu MW akan menggantikan PLTU captive yang sudah beroperasi ataupun sedang dibangun. Pada 2035, pasokan energi bersih khusus untuk industri akan bertambah sebesar 6,5 ribu MW untuk menggantikan 1,5 ribu MW PLTU captive. Kami menghitung skenario ini bisa memangkas emisi sebesar 20% pada 2040.
5. Penyambungan jaringan
Strategi penyambungan jaringan untuk PLTU captive bertumpu pada rencana pembangunan jaringan transmisi sepanjang 2.040 km di Sulawesi. Kami memperkirakan ada 34 unit PLTU dengan kapasitas 4,8 ribu MW di Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara yang akan terhubung ke jaringan PLN. Semua PLTU tersebut, ketika terhubung dengan jaringan, dapat mengurangi dampak emisi pembakaran biomassa sebesar 40% pada 2045.
6. Penangkapan dan penyimpanan karbon
Kami turut menelaah kemungkinan pemakaian teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (carbon capture and storage) atau CCS untuk mengurangi emisi PLTU.
Analisis kami mendapati ada empat unit PLTU—dengan total kapasitas 1,8 ribu MW—di Sumatra Selatan yang dapat menerapkan CCS. Syaratnya, empat PLTU ini harus beroperasi setengah dari kapasitasnya. Setelah itu, CCS mereka gunakan untuk menangkap 90% CO2 hasil pembakaran batu bara. Strategi ini, sesuai skenario kami, dapat berkontribusi 5% dari total pengurangan emisi PLTU pada 2045.
Sementara, untuk PLTU captive, ada satu unit PLTU batu bara-biomassa sebesar 1,1 ribu MW di Kalimantan Utara yang dapat menggunakan teknologi CCS. Pengurangan ini dapat berkontribusi mengurangi emisi 5% dan 7% pada 2045 dan 2050.
Aksi 25 tahun ke depan
Kami membuat analisis dan skenario transisi energi bersih PLTU untuk 25 tahun ke depan. Mengingat periode transisi yang panjang, pemerintah perlu memastikan seluruh kebijakan lintas sektor terkait pengakhiran PLTU harus dibarengi tata kelola yang memadai. Untuk membuat pekerjaan ini lebih efektif, Indonesia dapat membuat satuan tugas khusus untuk mengurus rencana pengakhiran operasi PLTU, baik di dalam maupun di luar jaringan PLN.
Selain menerapkan langkah ini, kami juga menyarankan pemerintah perlu berkomunikasi dengan pemangku kepentingan terkait, seperti pemilik PLTU, pemerintah daerah, dan masyarakat setempat, terkait seluruh risiko pemensiunan PLTU. Pemerintah juga perlu memberikan insentif yang layak, seperti insentif pajak, untuk agar proses ini berlangsung lebih cepat lagi.
Penulis: Akbar Bagaskara, Researcher, Institute for Essential Services Reform
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.