EDISI.CO, CATATAN EDISIAN– Fenomena dinasti politik (political family atau legacy politician) kini sedang santer menjadi perbincangan publik menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
Asian Journal of Comparative Politics memunculkan beberapa pengertian tentang konsep dinasti politik. Secara garis besar dinasti politik diartikan sebagai keluarga yang memiliki beberapa anggota yang menduduki jabatan terpilih dan memiliki pengaruh signifikan terhadap politik lokal, regional, atau nasional.
Beberapa ahli sepakat bahwa batas jumlah anggota bagi satu keluarga untuk dapat disebut dinasti adalah minimal empat orang keluarga dalam lingkar pemerintahan.
Meskipun dinasti politik sering diasosiasikan dengan monarki atau sistem kekuasaan diwariskan berdasarkan garis keturunan, hal ini juga terjadi di negara demokrasi, seperti di Indonesia, bahkan juga di Amerika Serikat (AS) yang merupakan negara demokrasi mapan.
Beberapa studi menyebutkan bahwa justru dinasti politik ini adalah konsekuensi dari praktik demokrasi itu sendiri. Sebab, dalam prinsip demokrasi ada prinsip persamaan hak, sehingga semua warga negara, entah itu anak presiden maupun anak dari rakyat kelas menengah ke bawah, memiliki kesempatan yang sama.
Namun, perlu ditekankan bahwa dinasti politik akan memberikan konsekuensi berupa rusaknya pilar demokrasi dan, dalam praktiknya, mengganggu keefektifan jalannya pemerintahan. Negara yang terbawa dalam dinasti politik yang berlarut biasanya sulit mewujudkan good governance.
Jejak dinasti politik di negara demokrasi
Sejumlah negara demokrasi kerap terjebak dalam dinasti politik. Di AS, misalnya, ada dinasti Kennedy, Bush, dan Clinton. Pada masa pemerintahan dinasti di tiga masa itu, terjadi beberapa skandal yang dapat ditutupi dengan adanya kuasa politik, nepotisme, dan berbagai siasat yang bisa dijalankan dengan sentralisasi kekuasaan.
Di Kanada, ada dinasti Trudeau yang di kondisi serupa, dapat memanfaatkan kekuasaan untuk menutupi masalah keluarga atau kepentingan pribadi.
Di India, ada dinasti Jawaharlal Nehru, Perdana Menteri pertama India pascakemerdekaan pada 1947 yang menjabat hingga kematiannya pada 1964. Nehru adalah tokoh sentral dalam gerakan kemerdekaan India dan menjadi arsitek utama dari kebijakan luar negeri dan domestik India selama periode awal pascakemerdekaan.
Dinasti politik Nehru-Gandhi, yang berasal dari garis keluarga Jawaharlal Nehru, telah memainkan peran dominan dalam politik India selama beberapa dekade. Anak perempuannya, Indira Gandhi, menjadi Perdana Menteri India selama beberapa periode dalam rentang tahun 1966-1977. Kemudian, cucunya, Rajiv Gandhi, juga menjabat sebagai Perdana Menteri India periode 1984-1989.
Hingga kini, keluarga Nehru-Gandhi terus memainkan peran penting dalam politik India, dengan beberapa anggota keluarga lainnya yang juga aktif dalam kehidupan politik negara tersebut.
Di Indonesia sendiri, sebelum gembar-gembor pembentukan dinasti Presiden Joko Widodo, dinasti politik sudah menjadi praktik lama. Yang paling terlihat jelas adalah pada masa rezim Suharto, presiden Indonesia kedua.
Selama masa Orde Baru, Soeharto kerap membawa anaknya-anaknya masuk ke dalam lingkaran politik. Siti Hardiyanti Rukmana, misalnya, menjabat sebagai anggota MPR RI dari Fraksi Partai Golkar periode 1992-1998 dan menjadi Menteri Sosial tahun 1998.
Secara umum, dinasti politik didasarkan pada hubungan darah secara langsung dalam keluarga (consanguinity) dan hubungan perkawinan (marriage) dengan klan lainnya. Loyalitas, kepatuhan, dan solidaritas keluarga merupakan poin-poin penting berlangsungnya dinasti politik. Dengan hal itu, kekuasaan dan sejumlah kepentingan yang telah dan sementara dijalankan masih dapat terjaga atau terkendali.
Dampak buruk dinasti politik
Intinya adalah, dinasti politik rentan korupsi. Ini merupakan konsekuensi paling jelas dan paling buruk. Sebab, dinasti politik akan melahirkan konsentrasi kekuasaan, kurangnya akuntabilitas, nepotisme, dan patronase.
Ketika kekuasaan terkonsentrasi dalam tangan satu keluarga atau kelompok untuk jangka waktu yang lama, terdapat potensi yang lebih besar bagi individu atau kelompok tersebut untuk menyalahgunakan kekuasaan demi kepentingan pribadi.
Dinasti politik cenderung membangun struktur yang melindungi anggota keluarganya dari pengawasan eksternal, mengurangi akuntabilitas, dan memfasilitasi praktik korupsi. Hal ini akan meningkatkan praktik nepotisme dan patronase dalam lingkaran politik tersebut.
Misalnya, seorang pemimpin politik akan menempatkan keluarganya dalam posisi pemerintahan penting atau berpengaruh tanpa peduli apakah keluarga tersebut memiliki pengalaman atau kualifikasi yang layak. Di satu sisi, mereka telah memiliki akses khusus dalam pendanaan sehingga membuat langkah mereka menjadi lebih mudah.
Di jurnal yang berjudul “The Irony of Indonesia’s democracy: The Rise of Dynastic Politics in the Post-Suharto Era” terdapat temuan empiris bahwa jumlah dinasti politik di Indonesia meningkat lebih dari tiga kali lipat antara 2010 dan 2018, atau hanya dalam satu siklus pemilu.
Dalam konteks ini, terjadi parasitic symbionts yang dalam konteks biologi adalah interaksi simbiosis yang erat dan berjangka panjang antara dua organisme, yakni salah satu organisme hidup di dalam tubuh inangnya sehingga menimbulkan kerugian.
Dalam konteks politik, hal ini menjelaskan bagaimana pelaku dinasti melakukan apa yang disebut “institutional drift” yaitu mengatur sedemikian rupa aturan atau regulasi di institusi. Ini berarti mereka mampu memengaruhi dan mengubah cara kerja institusi demokratis untuk mendukung keberlangsungan dinasti politik mereka.
Contoh praktiknya bisa dilihat dari bagaimana institusi peradilan, Mahkamah Konstitusi, memengaruhi dan mengubah aturan perundang-undangan untuk membuka jalan bagi figur tertentu untuk bisa maju di kontestasi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Hal ini bisa terjadi akibat adanya ruang dan kuasa yang bisa digunakan oleh pihak dinasti politik.
Baca juga: Putusan Ringan jadi Obat dengan Dosis Tepat pada Perkara Anak di Batam
Pada masa dinasti politik Suharto, ciri khas dalam pemerintahannya adalah maraknya korupsi dan nepotisme. Keluarga dan kerabat dekat Suharto mendapatkan keistimewaan dalam bisnis dan politik, yang mengakibatkan akumulasi kekayaan yang signifikan bagi keluarga Suharto dan kroninya.
Selain itu, selama masa pemerintahannya, Suharto membatasi kebebasan pers dengan ketat. Banyak media yang kritis terhadap pemerintah ditutup atau ditekan, dan banyak jurnalis menghadapi ancaman bahkan penangkapan.
Suharto juga mempertahankan kekuasaannya melalui pemilihan yang ia kendalikan dan manipulasi politik. Partai-partai oposisi dibatasi, dan pemilihan sering kali dirancang untuk memastikan kemenangan bagi Suharto dan partainya, Golkar.
Selain itu, pemerintahan Suharto dikenal telah melakukan represi militer di beberapa daerah seperti Aceh, Papua, dan Timor Timur, yang mengakibatkan banyak korban jiwa.
Lebih lanjut, politik dinasti membuat orang yang memiliki kompetensi layak semakin jauh dan sebaliknya, mereka yang tidak berkompeten tapi memiliki keluarga dengan mudah dapat menjadi bagian pemerintahan. Pada akhirnya, sulit untuk mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih (clean and good governance).
Kemungkinan itu bisa muncul kembali ketika politik dinasti benar-benar terjadi lagi di Indonesia.
Dinasti politik jelas dapat merusak demokrasi. Politik yang semestinya menjadi kekuatan untuk menyelamatkan masyarakat atau orang banyak, akhirnya menghilang. Patronase dan nepotisme akan menghambat upaya atau cita-cita untuk menghadirkan kesetaraan.
Menghapus dinasti politik
Mengakhiri atau membatasi dinasti politik memerlukan kombinasi dari reformasi kebijakan, kesadaran masyarakat, dan perubahan budaya politik.
Ini bisa dimulai dari menerapkan peraturan yang membatasi anggota keluarga tertentu dari pemegang jabatan politik untuk mencalonkan diri dalam pemilihan tertentu. Misalnya, membatasi saudara, anak, atau pasangan dari pejabat yang sedang menjabat untuk mencalonkan diri di posisi yang sama atau di wilayah yang sama.
Pada saat yang bersamaan, partai politik perlu mengadopsi prosedur seleksi kandidat yang lebih demokratis dan merata, sehingga mengurangi kemungkinan satu keluarga mendominasi struktur partai.
Selain itu, masyarakat harus terus sadar dan paham bahwa dinasti politik dapat berdampak buruk pada masa depan. Anggota dinasti politik jelas akan memiliki akses yang lebih baik ke sumber daya negara, seperti dukungan pemerintah, pekerjaan, atau manfaat lainnya, sementara masyarakat umum tentu akan dikesampingkan.
Kepentingan dan prioritas dinasti politik mungkin tidak selalu sejalan dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat. Sebagai hasilnya, isu-isu penting mungkin diabaikan atau tidak mendapatkan perhatian yang cukup.
Pada akhirnya, dinasti politik lebih fokus pada pemeliharaan kekuasaan daripada pelayanan publik, kualitas pelayanan seperti kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur kemungkinan besar akan menurun.
Dinasti politik juga dapat mengancam pluralisme, prinsip demokratis yang menekankan pentingnya keragaman suara dan pandangan dalam pemerintahan. Jika satu keluarga atau kelompok mendominasi politik, suara-suara lain kemungkinan tersingkirkan.
Penulis: Wawan Kurniawan, Peneliti di Laboratorium Psikologi Politik Universitas Indonesia, Universitas Indonesia
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.