EDISI.CO, CATATANEDISIAN– Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 merupakan momen penting bagi pengarustamaan isu krisis iklim, transisi energi, energi terbarukan dan mineral kritis.
Sayangnya, empat isu tersebut belum menjadi perhatian dan komitmen politisi. Riset Monash Climate Change Communication (MCCCRH) Indonesia mencatat bahwa belum semua politisi menjadikan isu krisis iklim sebagai bahan kampanye di media sosial mereka.
Para kandidat kepala daerah semestinya memberi perhatian serius terhadap isu krisis iklim, transisi energi, energi terbarukan dan mineral kritis. Sebab, saat terpilih nanti, mereka harus menavigasi pemerintah daerah yang berperan semakin kuat dalam tata kelola energi dan perubahan iklim, seperti menyusun peta jalan energi daerah, merumuskan dan melaksanakan Rencana Aksi Mitigasi Iklim Provinsi. Pemerintah daerah juga melaksanakan tugas lainnya, seperti pengelolaan energi terbarukan maupun pembinaan dan pengawasan konservasi energi.
Segmen pemilih terbesar di Indonesia, yaitu usia 17-35 tahun, juga memiliki ketertarikan yang sangat kuat terhadap isu krisis iklim.
Karena itu, Research Centre for Politics and Government (PolGov) UGM dan Yayasan Indonesia Cerah melakukan survei persepsi 147 pemuka opini kunci atau key opinion leader (KOL/influencer) lokal di level provinsi dan 4 kabupaten/kota (Palu, Sigi, Morowali dan Morowali Utara) terhadap isu transisi energi, energi terbarukan, krisis iklim, dan mineral kritis dalam Pilkada Sulawesi Tengah.
Peran influencer krusial dalam Pilkada karena memiliki jaringan sosial yang luas sehingga dapat mengendalikan suatu isu di masyarakat. Mereka juga menjadi aktor pemberi informasi kepada orang lain yang dapat memengaruhi pengambilan keputusan, perilaku, dan sikap orang lain.
Baca juga: Angin Berlalu, Musim Berubah, Presiden Berganti: Tolak PSN Rempang Eco City Tetap Harga Mati
Kami memilih Sulawesi Tengah karena (1) terjadi paradoks kemiskinan yang meningkat di tengah bertumbuhnya perekonomian, (2) merasakan dampak krisis iklim dan bencana alam yang semakin kuat, dan (3) memiliki Peraturan Daerah No. 10 tahun 2019 tentang Rencana Umum Energi Daerah (RUED) tahun 2019-2050 sebagai batu pijakan aksi iklim mereka.
Temuan utama dari survei ini menunjukkan bahwa, responden menganggap, krisis iklim, transisi energi, energi terbarukan dan mineral kritis sebagai isu penting untuk dibicarakan dalam Pilkada. Krisis iklim menjadi yang paling berpeluang sedangkan isu mineral kritis menjadi isu yang paling menantang untuk didorong dalam Pilkada.
Isu iklim krusial dalam Pilkada
Sebanyak 98% responden dalam survei kami mengaku sudah terekspos dengan isu krisis iklim dan diikuti oleh isu transisi energi, energi terbarukan, dan mineral kritis. Media sosial menjadi sarana utama mereka mengakses informasi.
Hasil survei menunjukkan bahwa aktivitas keseharian masyarakat, lembaga pemerintah, partai politik, organisasi masyarakat sipil, dan sektor bisnis di Provinsi Sulawesi Tengah juga telah bersentuhan dengan empat isu ini. Banyak responden memandang bahwa Sulawesi Tengah telah siap untuk melaksanakan agenda transisi energi, penggunaan energi terbarukan, dan pengelolaan sumber daya mineral kritis. Namun, kesiapan ini sangat bergantung pada tata kelola yang memperhatikan dampak sosial dan lingkungan.
Sayangnya, praktik tata kelola yang ada di Sulawesi Tengah justru berkebalikan. Penggunaan energi fosil, menurut mayoritas responden, telah menghasilkan emisi karbon yang tinggi (96,53% responden) dan ekstraksi mineral kritis mempercepat krisis iklim (97,24% responden) di Sulawesi Tengah.
Lebih jauh, para influencer menempatkan krisis iklim sebagai isu yang paling penting untuk dibicarakan dalam Pilkada Provinsi Sulawesi Tengah 2024 (95,83% responden), dibandingkan dengan tiga isu lainnya.
Meski krisis iklim menjadi isu paling mendesak, para influencer cenderung tertarik pada kandidat pemimpin daerah yang membawa isu mineral kritis. Responden cenderung menyukai kandidat yang mengusung isu mineral kritis (79,31% responden) dan disusul oleh isu energi terbarukan (77,78% responden), krisis iklim (73,10% responden) dan isu transisi energi (72,22% responden).
Mereka meyakini bahwa kandidat yang memerhatikan isu mineral kritis akan mendorong ekstraksi yang bertanggungjawab, bermanfaat bagi masyarakat, mencegah kerusakan lingkungan. Sorotan para pemimpin juga dapat mengarahkan perhatian mereka kepada masyarakat lokal dan masyarakat adat di sekitar tambang, serta menarik investasi dan membuka lapangan kerja baru.
Ini menunjukkan bahwa meskipun kesadaran akan krisis iklim cukup tinggi, isu ekonomi terkait ekstraksi sumber daya mineral berkelanjutan tetap memiliki daya tawar politik yang signifikan.
Isu paling menantang
Menurut para influencer, ada dua tantangan besar yang menghambat pengarusutamaan isu mineral kritis berkelanjutan dalam Pilkada. Pertama, kebijakan yang masih sentralistik sehingga membatasi ruang gerak daerah dalam mengelola mineral kritis secara berkelanjutan (70,16% responden).
Persepsi mereka ini sesuai dengan kenyataan tata kelola sektor mineral dan batu bara yang kembali terpusat setelah undang-undang baru.
Kedua, terdapat potensi konflik kepentingan yang tinggi jika isu ini diangkat dalam Pilkada (67,37% responden). Pasalnya, kandidat terkait langsung atau maupun tidak langsung dengan aktivitas ekstraksi di daerah tersebut.
Persepsi influencer lokal tersebut selaras dengan kenyataan bahwa pasangan calon yang ada merupakan pengusaha tambang atau pernah mengeluarkan konsesi tambang yang dianggap problematik saat menduduki jabatan bupati atau gubernur.
Isu krisis iklim krusial
Pada saat yang bersamaan, para influencer menganggap isu krisis iklim potensial menjadi topik utama yang dapat diusung para kandidat dalam Pilkada Sulawesi Tengah. Ada dua alasan di balik anggapan ini.
Pertama, isu krisis iklim memiliki basis regulasi, anggaran, kerjasama multi pihak, modal sosial, dan kapasitas organisasi sosial.
Kedua, banyak dukungan pendanaan internasional yang mendukung upaya penanggulangan krisis iklim. Misalnya, dukungan untuk proyek pelestarian hutan seperti REDD+ dan pertanian ramah iklim melalui Agriculture Climate Risk Financing (AgriCRF).
Mendorong isu lingkungan dalam Pilkada
Perlu adanya upaya sistematis dari pihak penyelenggara pemilu untuk menjadikan isu transisi energi, energi terbarukan, krisis iklim, dan mineral kritis sebagai agenda wajib dalam kampanye politik dan debat resmi pasangan calon. Menurut kami, debat juga memberi kesempatan para kandidat untuk menunjukkan komitmen dalam menghadapi tantangan lingkungan dan energi yang dihadapi daerah.
Partai pengusung kandidat semestinya menguatkan pengetahuan kandidat dengan materi-materi transisi energi, energi terbarukan, krisis iklim, dan mineral kritis. Para kandidat juga semestinya memasukkan keempat isu tersebut dalam visi dan misi dan materi kampanye. Hal ini penting bukan hanya agar 4 isu tersebut menjadi subtansi kebijakan utama yang didiskusikan dalam proses Pilkada. Visi dan misi kandidat terpilih nantinya akan diintegrasikan secara terpadu sebagai visi pembangunan daerah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).
Partai pengusung dan para kandidat seyogyanya memaksimalkan penggunaan media sosial, yang menurut temuan survei, sebagai sarana sosialisasi dan komunikasi interaktif dengan calon pemilih yang paling efektif. Mengkomunikasikan secara intens dan interaktif gagasan kandidat terkait 4 isu krusial tersebut melalui media sosial merupakan modal penting untuk menarik perhatian lebih jauh dari para pemilih.
Selain itu, organisasi masyarakat sipil dan organisasi kemasyarakatan yang ada bisa memanfaatkan forum-forum multi-pihak untuk mendorong isu transisi energi, energi terbarukan, krisis iklim, dan mineral kritis sebagai agenda publik dan isu substantif dalam Pilkada.
Dengan demikian,pesan para influencer lokal yang terekam dalam hasil survei kami ini sangat jelas: para kandidat tidak bisa lagi menempatkan isu krisis iklim, transisi energi, energi terbarukan, dan mineral kritis sebagai isu sambilan sebagaimana terjadi pada Pilkada-Pilkada sebelumnya.
Publik tidak hanya sudah terpapar dengan isu-isu krusial tersebut dalam aktivitas keseharian dan lembaga mereka, sehingga mereka menginginkan isu-isu tersebut menjadi isu utama yang diusung dan diperdebatkan oleh para kandidat serta dikomunikasikan secara intens dan interaktif kepada pemilih melalui media yang efektif.
Penulis: Hasrul Hanif, Assistant Professor, Dept. of Politics & Government, Universitas Gadjah Mada ; Alfath Bagus Panuntun El Nur Indonesia, Lecturer at the Department of Politics and Government, Universitas Gadjah Mada ; Ardiman Kelihu, Peneliti, Universitas Gadjah Mada , dan Fitria Yuniarti, Peneliti, Universitas Gadjah Mada
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.