EDISI.CO, NASIONAL– Capaian swasembada beras Indonesia mendapat apresiasi dan penghargaan internasional. Hal serupa juga datang dari Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB), Satria Arif.
“Indonesia dipandang sebagai negara yang mampu berswasembada sekaligus memiliki resiliensi ketangguhan menghadapi covid 19. Penghargaan ini menjadi hadiah hari kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 77,” ujar Arif, Minggu, 14 Agustus 2022 seperti termuat dalam laman kementan.go.id.
Baca juga: Raih Penghargaan Internasional Swasembada Beras, Jokowi: Terimakasih Petani Indonesia
Keberhasilan ini, kata dia, merupakan akumulasi dan kerja keras semua pihak. Termasuk upaya jajaran Kementerian Pertanian (Kementan) dalam mengimplementasikan semua arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk meningkatkan produksi selama pandemi.
Diantaranya pengembangan varietas unggul; intensifikasi dan ekstensifikasi; pemupukan yang lebih baik dan bijak; membangun bendungan; memperbaiki saluran irigasi; memanfaatkan sistem mekanisasi; pemberian kredit usaha rakyat dan pendampingan penguatan kelembaban petani.
Masih dari laman yang sama, Arif menjelaskan kalau semua program tersebut telah meningkatkan produktivitas padi nasional sehingga produktivitas Indonesia berada di nomor 2 tertinggi di Asia Tenggara.
Baca juga: Fisipol UGM Luncurkan Kuliah Gratis untuk Publik lewat LMS Fisipol Online Campus
“Bahkan data survei stok beras yang dilakukan BPS berada di Kisaran 9,7 juta ton hingga 10,2 juta ton pada periode April hingga Juni 2022. Kita berterimakasih kepada para petani yang telah bekerja keras untuk mencapai swasembada ini,” katanya.
Tantangan Sektor Pangan
Arif menjelaskan Indonesia masih dihadapkan pada banyaknya jumlah penduduk dan tingginya konsumsi beras perkapita selama 5 tahun terakhir. Karena itu, kata dia, Indonesia perlu berkeja lebih keras untuk mengoptimalkan semua lahan intensifikasi, ekstensifikasi maupun program diversifikasi pangan berbasis bahan pangan lokal.
Melalui upaya mendorong produktivitas pertanian di lahan marginal seperti lahan rawa, lahan eks tambang, lahan pasang surut dan lahan dengan salinitas tinggi.
“Semua perlu dicarikan terobosan teknologi yang lebih visible,” katanya di laman yang sama.
Upaya menekan laju konversi lahan sawah produktif sebagai bagian dari upaya peningkatan ketersediaan pangan nasional juga dinilai perlu. Begitu juga dengan upaya penurunan food loss and food waste untuk mencapai pertanian yang presisi.
Baca juga: IMUT, Inovasi Atasi Stunting dari Dua Kampus Sumut
“Kita perlu menekan food lose yang saat ini mencapai kurang lebih 9 sampai 11 persen. Kita juga harus bisa merubah perilaku konsumen untuk bisa menekan yang saat ini kontribusinya hingga sampai 9 persen,” tuturnya lagi.
Mengutip laman envihsa.fkm.ui.ac.id Food loss merupakan makanan yang mengalami penurunan kualitas yang disebabkan oleh berbagai faktor selama prosesnya dalam rantai pasokan makanan sebelum menjadi produk akhir.
Food loss biasanya terjadi pada tahap produksi, pasca panen, pemrosesan, hingga distribusi dalam rantai pasokan makanan. Misalnya saat hama menyerang tanaman atau cuaca buruk yang dapat merusak hasil panen. Kemudian ketika diangkut dalam proses distribusi, makanan juga bisa menjadi rusak sehingga tidak layak untuk dikonsumsi.
Sementara itu, food waste adalah makanan yang telah melewati rantai pasokan makanan hingga menjadi produk akhir, berkualitas baik, dan layak dikonsumsi, tetapi tetap tidak dikonsumsi dan dibuang. Makanan yang dibuang ini termasuk yang masih layak ataupun dibuang karena sudah rusak. Food waste biasanya terjadi pada tingkat ritel dan konsumen. Contohnya adalah makanan yang tersisa di piring dan makanan yang sudah kedaluwarsa.
Baca juga: Berharap Masyarakat Pesisir Produktif dari Program Kepri Terang
Masih dari laman yang sama, Indonesia diketahui merupakan salah satu negara penghasil sampah makanan (food loss dan food waste) terbesar di dunia, selain Arab Saudi dan Amerika Serikat.
Menurut kajian Bappenas, sampah makanan yang terbuang di Indonesia pada 2000-2019 mencapai 23-48 juta ton per tahun atau setara 115-184 kilogram per kapita setiap tahunnya.
Kemudian berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada tahun 2021, di antara semua jenis sampah yang dibuang, sampah sisa makanan menjadi komposisi sampah yang paling banyak yaitu sebesar 29,1 persen dari total sampah.