
Ilustrasi petani. Dok; Ist.
EDISI.CO, NASIONAL- Bank Dunia menyebut harga beras yang menjadi makanan pokok di Indonesia sangat mahal. Bahkan harganya lebih tinggi dari negara-negara di ASEAN seperti Filipina, Vietnam, Kamboja, Myanmar dan Thailand.
Harga eceran beras Indonesia secara konsisten menjadi yang tertinggi di ASEAN selama satu dekade terakhir, 28 persen lebih tinggi dari harga di Filipina dan dua kali lipat harga di Vietnam, Kamboja, Myanmar dan Thailand.
Baca juga: Presidensi G20 dan Asian Summit Bakal Dongkrak Pertumbuhan Ekonomi Indonesia di 2023
Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Said Abdullah menyebut proses produksi beras di Indonesia sangat tidak efisien. Akhirnya, harga jual beras di dalam negeri pun semakin mahal.
Seperti dilansid dari liputan6, Jumat (23/12), dia menegaskan bahwa tak efisiennya proses produksi jadi salah satu penyebab naiknya harga beras. Meski, saat ini ada klaim kalau tingkat produksi dalam negeri mengalami peningkatan.
Baca juga: Di Presidensi G20, Jokowi Ungkap 3 Fokus Pengembangan Ekonomi Digital
“Harga di dalam negeri lebih tinggi dibandingkan harga di luar, hal ini diduga karena proses budidaya atau produksi di kita tidak cukup efisien,” ujarnya.
Said memberi contoh pada penggunaan pupuk. Petani biasanya menggunakan pupuk dengan komposisi yang cukup banyak. Bahkan, mengalami kenaikan penggunaan dari waktu ke waktu, yang pada akhirnya mempengaruhi besaran biaya yang dikeluarkan.
“Belum lagi soal tenaga kerja. Dari komponen produksi beras, yang paling banyak adalah biaya tenaga kerja, pupuk, pengolahan lahan dan pestisida,” ujarnya.
Di samping itu, penggunaan pestisida dengan jumlah yang banyak juga ikut andil mempengaruhi harga. Dampaknya akan terasa di tingkat petani yang menjual gabah. “Walaupun biaya produksi ini tidak berkorelasi dengan harga jual gabah tapi tetap berpengaruh, ini di tingkat petani yang jual gabah,” ungkapnya.
Proses Produksi
Said menyampaikan bahwa proses produksi di tahap penggilingan dan pengangkutan di pedagang juga ikut terpengaruh. Artinya, ada peningkatan harga pada tahap ini.
Kemudian, ditambah lagi niatan pedagang yang menaikkan harga demi bisa menyerap beras yang dihasilkan. “Dalam harga gabah, persaingan harga ditingkat lapangan sangat tinggi. Para pedagang bersaing harga dan kadang menaikkan harga gabah untuk dapat barang,” tuturnya.
Pola panen beras di Indonesia juga turut menjadi sorotan Said Abdullah. Misalnya, dengan pola panen dua kali setahun, dan pada musim kedua produksi mengalami penurunan volume. Dengan begitu, ini turut mengerek harga menjadi lebih tinggi.
“Belum lagi soal biaya pungutan oleh oknum yang ada. Hal ini menyebabkan harga beras di dalam negeri cukup tinggi. Disparitas harga yang menggiurkan terutama bagi pemburu rente. Tak heran jika kemudian mereka berlomba dan mencari cara untuk impor,” pungkasnya.