EDISI.CO, NASIONAL- Bank Indonesia (BI) mencatat nilai transaksi uang elektronik hingga November 2022 mencapai Rp53,3 triliun atau tumbuh 12,84 persen dibanding periode sama tahun lalu atau secara year on year.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan, pertumbuhan ini seiring pesatnya kemajuan digitalisasi.
Baca juga: Komitmen Digitalisasi dalam West Java Digital Service International Festival 2022
“Nilai transaksi uang elektronik pada November 2022 tumbuh 12,84 persen year on year mencapai Rp35,3 triliun,” ujar Perry, dilansir dari laman BI, Sabtu (24/12).
Pertumbuhan nilai transaksi juga terjadi pada digital banking meningkat 13,88 persen secara year on year menjadi Rp4.561,2 triliun.
Baca juga: Kesal Banyak Aset Negara Nganggur, Jokowi Cabut 2.078 Izin Konsesi Tambang & Hutan
Sementara nilai transaksi pembayaran menggunakan kartu debit dan kredit juga meningkat 16,85 persen secara year on year menjadi Rp664,9 triliun. Sedangkan untuk jumlah uang kartal yang diedarkan pada November 2022 meningkat 7,77 persen mencapai Rp935,2 triliun.
Suku Acuan Bank Indonesia Kembali Naik
Berdasarkan Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada 21-22 Desember 2022, Bank Indonesia memutuskan untuk menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 bps menjadi 5,5 persen. Suku bunga Deposit Facility sebesar 25 bps menjadi 4,75 persen, dan suku bunga Lending Facility sebesar 25 bps menjadi 6,25 persen.
“Keputusan kenaikan suku bunga yang lebih terukur tersebut sebagai langkah front loaded, pre-emptive, dan forward looking memastikan terus berlanjutnya menurunkan ekspektasi inflasi sehingga inflasi inti tetap terjaga dalam sasaran 3,0 plus minus 1 persen,” kata Perry.
Kebijakan stabilisasi nilai tukar Rupiah juga terus diperkuat untuk mengendalikan inflasi barang impor, di samping untuk memitigasi dampak rambatan dari masih kuatnya dollar AS dan tingginya ketidakpastian pasar keuangan global.
Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi global menurun disertai dengan ketidakpastian yang masih tinggi. Pertumbuhan ekonomi global pada 2023 diperkirakan akan menurun dari 2022, dengan risiko resesi yang tinggi di beberapa negara, termasuk Amerika Serikat (AS) dan Eropa.
“Perlambatan ekonomi global dipengaruhi oleh fragmentasi ekonomi, perdagangan dan investasi, akibat ketegangan politik yang berlanjut serta dampak pengetatan kebijakan moneter yang agresif di negara maju,” kata Perry.