EDISI.CO, BATAM– Ribuan bibit Mangrove di Pulau Bulan, Kecamatan Bulang, Batam yang ditanam dalam rangka perayaan Hari Lingkungan Hidup sedunia pada tanggal 24 Juni 2023 lalu, terancam mati akibat adanya aktivitas cut and fill oleh perusahaan swasta. Aktivitas cut and fill ini diduga melanggar UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; UU No. 27 tahun 2007 junto UU No. 1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Kemudian diduga melanggar Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 2021 Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko; juga Perda Kota Batam No.4 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Padahal dalam kegiatan penanaman 1.250 bibit Mangrove tersebut, juga telah ditandangani pernyataan bersama dengan butir-butir Melaksanakan rehabilitasi ekosistem mangrove di pesisir Kota Batam; Menjaga , melestarikan ekosistem dan jasa ekosistem mangrove di Kota Batam; Turut serta menurunkan Gas Efek Rumah Kaca dengan melaksanakan rehabilitasi, menjaga ekosistem dan jasa ekosistem mangrove di Kota Batam.
Kelompok pegiat lingkungan di Batam dan Kepulauan Riau (Kepri), Akar Bhumi Indonesia, dalam keterangannya menemukan aktivitas cut and fill telah terjadi sejak sekitar 20 Februari 2024 lalu. Aktivitas itu sempat dihentikan warga karena penimbunan telah memasuki bibir pantai-dimana lokasi penanaman mangrove dan terdapat padang lamun yang merupakan habitat biota laut.
Founder Perkumpulan Akar Bhumi Indonesia, Hendrik Hermawan, menuturkan dari keterangan warga, bahwa sendimentasi dari aktivitas cut and fill ini telah mencemari zona tangkap nelayan.
“Ada puluhan bibit mangrove yang baru delapan bulan yang lalu ditanam bersama DLH Kota Batam hilang tertutupi timbunan. Bibit Mangrove itu ditanam pada perayaan hari lingkungan hidup sedunia. Padahal masyarakat telah menjaga dan melestarikan (menanam) ekosistem Mangrove namun bukannya
perusahaan mendukung, mereka malah merusak tanaman yang telah ditanam.”
Tiga Kali Aduan
Adapun perusahaan yang diduga melakukan aktivitas cut and fill, lanjut Hendrik, adalah PT Indotirta Suaka sebagai pemegang Hak Guna Pulau Bulan. PT Indotirta Suaka ini telah dua kali diadukan Akar Bhumi Indonesia, namun aduan tersebut belum mendapatkan titik terang.
Aduan pertama, yakni surat nomor 472/ABI-DLHBATAM/ADUAN BULANG-II/2021 tentang Aduan dugaan pelanggaran hukum PT. Indotirta Suaka di Batam, tertanggal 17 Februari 2021. Pada kasus ini, Kelompok masyarakat Pejuang Mangrove Pulau Buluh, menemukan penutupan alur sungai dan penimbunan mangrove untuk pembikinan tambak udang.
Baca juga: Warga Rempang Patungan Beri Sembako Keluarga Terdakwa
Tindak lanjutnya, pada 15 sampai 18 Maret 2021, telah datang Tim Gakkum KLHK untuk memverifikasi aduan-aduan Akar Bhumi Indonesia yang salah satunya adalah dugaan pelanggaran hukum di Pulau Bulan. Namun hingga saat ini Akar Bhumi Indonesia belum menerima hasil verifikasi baik dari DLH Kota Batam maupun KLHK.
Aduan yang kedua, yakni surat aduan bernomor 616/ABI-BPPH SUMATERA/PULAU BULAN-IX/2022 tentang Aduan dugaan pelanggaran hukum PT. Indotirta Suaka di Batam, tertanggal 27 September 2022 dengan kasus reklamasi/penimbunan telah menutup alur sungai Sungai Uku, Bulang dan mengakibatkan matinya tanaman program Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (PEN KLHK Tahun Anggaran 2020) yang dilaksanaan Pejuang Mangrove Pulau Buluh.
Aduan kedua ini juga melaorkan penutupan alur Sungai Aceh/Teluk Tukang, Bulang dimana reklamasi/penimbunan telah menutup alur sungai dan mengakibatkan sendimentasi pada tanaman program Badan Restorasi Gambut dan Mangrove) yang ditanam Pejuang Mangrove Pulau Buluh. Lokasi ini ditimbun dan dijadikan tambak udang.
Aduan ketiga, peristiwa penimbunan bangkai ternak Babi pada Bulan Oktober 2022 yang menimbulkan
dampak lingkungan. Yakni resapan residu bangkai yang mencemari perairan sekitar
sehingga menyebabkan pencemaran lingkungan dan menganggu aktivitas nelayan
dengan aroma tidak sedap.
Hendrik menjelaskan warga Pulau Buluh juga mesti mendapatkan udara tidak sehat dari aktivitas peternakan babi yang ketika Angin Selatan berhembus, akan membawa aroma kotoran menusuk hidung. Setiap bulan Mei, Juni, Juli dan Agustus, sehabis musim Angin Timur maka sekitar1.000 KK warga
Pulau Bulan bersiap menghadapi gempuran udara berbau kotoran ternak. Ketika kotoran
babi terkena hujan pun aromanya akan naik dan terbawa angin.
Lebih jauh, Hendrik menuturkan aktivitas di Pulau Bulan banyak meresahkan masyarakat dan menganggu penghidupan nelayan dan kehidupan kesehatan bagi masyarakat.
“Sangat miris apa yang mesti dialami masyarakat sekitar Pulau Bulan akibat aktivitas
usaha swasta. Dibalik usaha pemerintah untuk meningkatkan kualitas lingkungan
hidup, kualitas hutan dan ekosistem mangrove namun pengelola Pulau Bulan telah
diduga merusak bioecoregion atau bentangan alam dengan cara tidak benar.”
Ketidaktaatan perusahaan PT Indotirta Suaka selaku pemegang HGU atas Pulau Bulan
terhadap aturan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup mesti mendapatkan
atensi dari pemerintah pusat. Perlu dilakukan kajian lingkungan hidup strategis demi
menciptakan keadilan lingkungan dan keadilan ekonomi yang berkelanjutan bagi
masyarakat pesisir.