EDISI.CO, NASIONAL– Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) menggelar diskusi dalam jaringan (Daring) bersama akademisi, NGO dan jurnalis pada Jumat (21/6/2024). Diskusi ini membahas temuan KIKA atas persoalan agraria yang tengah mendera masyarakat Pulau Rempang di pesisir Batam. Akademisi dan perwakilan NGO sebagai pembicara, bersuara lantang dalam diskusi ini.
Masyarakat Pulau Rempang juga ambil bagian dalam diskusi ini. Mereka berkumpul di dua posko bantuan hukum yang dibangun oleh Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang, masing-masing di Kampung Pasir Panjang di Kelurahan Rempang Cate dan Kampung Sembulang Hulu, Kelurahan Sembulang di Pulau Rempang.
Perwakilan warga mendapat kesempatan pertama menyampaikan keadaan mereka sepanjang konflik yang mengancam ruang hidup mereka ini bergulir. Kesempatan itu juga dimanfaatkan warga menyatakan sikap mereka yang menolak tegas rencana penggusuran atas kampung-kampung yang telah mereka huni secara turun temurun sejak ratusan tahun lalu.
Pembicara utama dalam diskusi ini diantaranya, Perwakilan masyarakat Rempang; jurnalis; Rina Mardiana dari Pusat Studi Agraria Institut Pertanian Bogor (IPB); Dhandy Dwi Laksono dari Watchdoc; Sasmito Madrim dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI); Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid; Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau, Boy Even Sembiring; dan Direktur YLBHI-LBH Pekanbaru, Andri Alatas.
Baca juga: Di Malam Iduladha 1445 H, Warga Rempang Gelar Atraksi Tolak Relokasi
Rina Mardiana, dalam paparannya menyampaikan bahwa konflik berlarut tanpa penyelesaian yang memadai terlihat jelas di Pulau Rempang. Ia menemukan banyak fakta mengejutkan terkait janji-janji pemerintah yang tidak sesuai dengan kondisi di lapangan.
Rina juga menyoroti banyaknya rilis dari Badan Pengusahaan (BP) Batam yang tidak terverifikasi.
“Saya menemukan puluhan ribu pemberitaan yang berisi rilis dari BP Batam. Pemberitaan-pemberitaan ini tidak terverifikasi dengan fakta sebenarnya di lapangan. Klaim bahwa banyak warga yang bersedia direlokasi harus diverifikasi ulang, hasil investigasi kami menunjukkan fakta yang sangat berbeda di lapangan,” kata Rina.
Konflik agraria yang berkepanjangan di Pulau Rempang, lanjut Rina, menunjukkan ketidakseimbangan antara ambisi pembangunan Rempang Eco-City dengan hak-hak masyarakat adat setempat. Padahal, masyarakat Melayu di Pulau Rempang secara konsisten menolak proyek ini karena akan menghilangkan tanah leluhur mereka yang telah dihuni secara turun temurun.
“Saya memohon kepada pemerintah untuk mendengar, diperlukan keterbukaan atau transparansi dan memastikan adanya restorasi masyarakat terhadap masyarakat terdampak.”
“Pembangunan sejatinya untuk keberlangsungan dan kesejahtraan masyarakat, bukan melanggengkan keberlanjutan ekonomi segelintir kapitalis kalangan oligarki,” tambah Rina.
Co-Founder Watchdoc, Dhandy Laksono, mengungkapkan polemik di PSN Rempang Eco-City merupakan pertarungan berat bagi masyarakat setempat. Karena investor yang berada di Rempang hari ini merupakan investor yang sudah dua kali memiliki proyek besar dan gagal. Yakni di Selat Sunda dan Teluk Benoa.
Dandy juga menyoroti status PSN yang diperkirakan akan terus berlanjut dengan rezim presiden baru mendatang.
Ia menilai bahwa konflik agraria di Pulau Rempang akan berlangsung lama, namun masyarakat setempat masih memiliki peluang untuk memenangkan pertarungan ini.
“Isu-isu agraria di setiap daerah memiliki kasus yang serupa, mulai dari kriminalisasi hingga konflik horizontal di kalangan masyarakat,” tutur Dhandy.
Ia menambahkan bahwa situasi di Papua lebih kompleks, dengan masyarakat yang menolak dianggap pro kemerdekaan atau anti-NKRI, sementara di Banyuwangi, warga yang menolak tambang emas dicap sebagai komunis,” ujarnya.
“Identitas Melayu yang digunakan masyarakat Rempang sangat relevan sebagai instrumen untuk menggalang dukungan solidaritas masyarakat,” tutup Dandy.
Herdiansyah Hamzah, akademisi dari Universitas Mulawarman, menyatakan bahwa negara telah melakukan kejahatan terencana terhadap masyarakat di Pulau Rempang, seperti yang terjadi di daerah lain. Padahal, menurutnya negara harus menjadi wakil yang merepresentasikan kepentingan rakyat Indonesia, bukan sebagai pihak yang merampas tanah rakyatnya sendiri.
“Negara secara terang benderang melakukan kejahatan serius terhadap masyarakatnya sendiri. Negara tidak hanya merampas tanah, tapi juga merampas ruang hidup dan masa depan anak cucu masyarakat terdampak. Masalah di Pulau Rempang adalah masalah kita bersama, sebagai sebuah bangsa,” ungkap Herdiansyah.
Di akhir pernyataannya, Herdiansyah membacakan sepenggal puisi karya Wiji Thukul yang berjudul ‘Pepatah Buron’.
“Kawan sejati adalah kawan yang masih berani tertawa bersama walau dalam kepungan bahaya.”
Direktur YLBHI-LBH Pekanbaru, Andri Alatas, menyoroti kurangnya ketegasan pemerintah dalam menangani konflik agraria di Indonesia. Menurut Andri, terdapat perbedaan mencolok antara pernyataan Presiden Jokowi yang meminta agar masyarakat didahulukan dibandingkan pemegang konsesi, dengan tindakan nyata di lapangan.
“Kami melihat jajaran pemerintahan mulai dari kementerian hingga ke bawah tidak mengikuti instruksi Presiden Jokowi sehingga konflik agraria terus berlarut hingga saat ini,” ujar Andri.
Baca juga: Kajian Laporan Keberlanjutan Luput Mempertimbangkan Dinamika Internal Perusahaan
Direktur WALHI Riau, Boy Even Sembiring, menambahkan konflik penolakan pengukuran lahan yang terjadi pada 7 September 2023 lalu di Pulau Rempang, merupakan tragedi yang telah disusun secara sistematis oleh pemerintah.
Saat itu, ada aksi ribuan personel gabungan yang dipersenjatai. Mereka mengusir masyarakat dengan menggunakan tembakan peluru karet dan gas air mata.
“Ini adalah bukti bahwa pemerintah secara sistematis menyusun dan melaksanakan tindakan represif terhadap masyarakat,” tegas Boy dalam diskusi tersebut.
Tidak hanya pembicara utama, diskusi ini juga memberi ruang pada 14 akademisi dari berbagai latarbelakang keilmuan memberikan tanggapan dalam diskusi dengan tajuk Suara Lantang Masyarakat Rempang ini. Diantaranya Suraya Affif dari Asosiasi Antropologi Indonesia; Satria Unggul dari KIKA; Roy Murtadho dari Perkumpulan Indoprogress; Beka Ulaung Hapsara dari Jaringan Gusdurian; Sulistyowati Irianto dari Universitas Indonesia; Herdiansyah Hamzah dari Universitas Mulawarman; M Rawa El Amady dari Unilak.
Kemudian dari PP Muhammadiyah, Trisno Raharjo; BRIN, Dedi Adhuri; Abdul Mughis Mudoffir dari SPK; I Ngurah Suryawan dari Unwar Bali; Najih Arromdhoni dari Lakpesdam NU; Dhia Al Uyun dari UB Malang; dan Kazzaini KS dari ICMI Riau.