“Sepak Kueh” menjadi satu dari rangkaian kegiatan dalam tradisi Tujuh Likur (malam 27 Ramadan) setiap tahun di kampung-kampung di pesisir Batam. Yang nampak, ianya adalah tradisi kenduri dan memungut kue dari rumah ke rumah. Tiliklah agak lebih dalam, ada praktik saling berbagi (sedekah terselubung) antar sesama dalam Sepak Kueh ini. Semua setara dalam silaturahmi dan berharap berkah tuhan di malam akhir Ramadan. Yang terpenting, setiap rumah akan terisi kue lebaran”
Edisi, BATAM-Setiap malam ke-27 bulan Ramadan, kampung-kampung di pesisir Batam, khususnya di Kecamatan Galang akan bersolek dan padat dengan agenda keagamaan. Pada malam “Tujuh Likur” begitu rangkaian agenda ini dinamakan, tiap rumah akan berhias dengan terangnya lampu pelita. Rumah sederhana dengan jarak dekat di bibir pantai khas pesisir, berubah anggun dengan cahaya oranye Pelita berbahan bakar minyak tanah atau solar campur bensin.
Anak-anak menjadi yang paling girang, mereka menghidupkan petasan, bermain kembang api, memekik, berlari-larian dan semacamnya di antara pancang tempat dudukan pelita. Kampung yang biasanya tenang, akan berubah meriah pada momen Tujuh Likur ini.
Bagi orangtua, nyala pelita menjadi kawan penerang jalan saat kenduri dari rumah ke rumah seusai menjalani Sembahyang Taraweh. Mereka membentuk kelompok yang disesuaikan dengan posisi rumah, agar efisien dalam menyambangi rumah-rumah yang bersiap untuk kenduri. Mereka bisa berkeliling ke banyak rumah, bergantung pada banyaknya warga di masing-masing kelompok yang kenduri.
Baca juga: Program PSPK jadi Model Pemberdayaan Pesisir
Kenduri pada malam Tujuh Likur ini untuk mendokaan keluarga dan orang-orang terdekat yang telah lebih dulu meninggal dunia, juga saling mendoakan kebaikan antar sesama warga yang masih hidup, mendapatkan kemudahan dalam setiap gerak dan langkah.
Tujuh Likur, juga menghasilkan hikmah dalam peningkatan kualitas silaturahmi antar warga. Itu terpancar dari cairnya suasana kenduri setelah tertib do’a selesai dibaca. Sambil santap juadah yang ada, mereka akan bercerita tentang apa saja, tentang ilmu agama; sosial politik terkini; tentang capaian rezeki mereka hari itu dan banyak topik yang menjadi menarik ketika dibicarakan malam itu.
Tujuh Likur juga menggambarkan wajah arif masyarakat pesisir dalam tradisi “Sepak Kueh” di penghujung kenduri sebelum beranjak dari rumah satu ke rumah selanjutnya. Sepak Kueh secara zahir memang tampil sebagai hiburan, ia dipraktikan secara jenaka oleh seorang perwakilan yang membagikan kue ke warga lain yang menyiapkan plastik. Jangan Tanya isinya, kue kering, roti, buah-buahan semuanya ada. Wajik dan Dodol tak luput, ia dikhususkan dalam wadah tersendiri.
Tuan rumah senang karena penganan yang mereka sajikan habis dimakan atau dibawa pulang, tamunya juga girang dengan sekantong makanan.
Jika ditilik lebih jauh, Sepak Kueh ini memberi arti cara berbagi yang sebenarnya. Ia tidak membuat penerima kue dengan kantong plastik menjadi kecil secara moral, juga tidak membuat tuan rumah menjadi agung. Sepak Kueh membuat segalanya terlihat seimbang, ia memberi hikmah luar biasa. Sepak Kue memastikan setiap rumah di kampung yang masih menjalani tradisi itu memiliki kue lebaran untuk dinikmati sendiri atau disajikan dan dimakan bersama tamu.
Kita tahu, tidak semua warga hidup dalam kecukupan, lebih banyak yang pas-pasan agaknya. Dengan Sepak Kueh ini, nyata semangat gotong royong itu hadir, meski tidak setiap orang bisa melihat. Dengan Sepak Kueh ini, nyatalah adab dan arif sikap, meski ia tampil dalam canda tawa Kenduri Tujuh Likur.
Bersyukur bisa menjadi bagian dalam agenda Tujuh Likur Ramadan 1443 Hijriyah/2022 ini. Bisa bertegur sapa dan mendengar petuah dari Egoi, Imam masjid yang juga Tetua di Kampung Monggak, Kelurahan Rempang Cate, Kecamatan Galang.
Malam itu, Egoi bercerita banyak tentang Tujuh Likur, tentang perjuangan berliku orang-orang sebelumnya menjaga tradisi ini. Dulu, Egoi mengaku, ia, orangtua dan kakeknya bersama warga kampung yang masih sedikit, harus menyeberang ke beberapa pulau dengan sampan untuk Kenduri Tujuh Likur. Dengan medan yang sulit dan terbatasnya armada, mereka baru bisa menyelesaikan Kenduri Tujuh Likur sampai menjelang subuh.
Meskipun demikian, kondisi sulit tersebut tidak membuat mereka berhenti untuk menjalankan tradisi setiap malam 27 Ramadan ini sampai sekarang. Egoi antusias bercerita, mungkin ia juga hadirkan rasa di masa-masa kecilnya dulu itu, seru dan pasti membuat rindu.
Egoi saat ini sudah sepuh, namun ia masih bersemangat menjaga tradisi Tujuh Likur ini. Ia ingin ada penerus yang juga menjaganya. Meskipun tidak sama seperti dirinya dulu harus menyeberang pulau sampai subuh, dalam kondisi serba kekurangan, bahkan tidak ada masjid di kampong, hanya surau kecil dari kulit kayu sebagai dindingnya.
Reporter: Bobi
Penulis: Bobi
Editor: Bobi