EDISI.CO, NAISIONAL– Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) menilai serangan digital terhadap jurnalis Narasi adalah bentuk pembungkaman. Kondisi ini diyakini mengancam kebebasan pers yang dijamin kemerdekaannya oleh Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Pada prosesnya, KKJ mendesak agar pemerintah secara terbuka menyatakan dan mengakui bahwa serangan; ancaman; pelecehan, dan intimidasi terhadap masyarakat sipil, termasuk jurnalis dan kantor media, merupakan pelanggaran HAM yang serius.
KKJ juga mendesak aparat penegak hukum segera melakukan penyelidikan dan penyidikan dengan segera secara efektif, menyeluruh dan independen terhadap kasus peretasan ini serta mengadili pelaku dengan seadil-adilnya.
Seperti termuat dalam laman amnesty.id edisi 26 September 2022, KKJ meminta semua pihak untuk menghormati kebebasan pers dan kebebasan berekspresi.
Untuk diketahui, dari tanggal 23 hingga 26 September 2022, terjadi percobaan peretasan akun media sosial terhadap setidaknya 22 anggota tim redaksi media online Narasi.
Peretasan tersebut pertama diketahui pada hari Sabtu, tanggal 24 September, saat nomor Whatsapp milik Akbar Wijaya, salah seorang produser Narasi menerima pesan singkat berisi sejumlah tautan. Setelah membaca pesan tersebut, Akbar kehilangan kendali atas akun Whatsappnya dan nomor teleponnya.
Peretasan seperti ini sayangnya bukanlah serangan digital pertama yang terjadi terhadap jurnalis. Pada Februari 2022, akun Whatsapp, Instagram, Facebook dan nomor handphone pribadi Ketua Umum Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Sasmito Madrim diretas.
Pada Oktober 2021, situs media online Project Multatuli terkena serangan distributed denial-of-service (DDoS) yang menyebabkan situsnya tidak dapat dibuka. Pada tahun 2020, situs Tirto, Tempo, dan Magdalene pun mengalami serangan serupa, sementara akun Twitter Konde.co sempat diretas. Sampai saat ini ditulis, pelaku serangan-serangan tersebut masih belum terungkap.
Masih dari laman yang sama, KKJ menilai peretasan ini mengancam kebebasan pers yang dijamin kemerdekaannya oleh Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Serangan-serangan seperti ini, dan kegagalan aparat penegak hukum untuk menemukan pelaku maupun mencegahnya berulang, merupakan bentuk pembungkaman kebebasan pers.
Serangan-serangan ini selalu terjadi saat jurnalis atau media menunjukkan sikap kritis terhadap tindakan atau kebijakan pihak yang berkuasa. Jika terus dibiarkan, serangan seperti ini tentu saja akan membuat jurnalis ataupun media berpikir dua kali saat melaporkan berita yang kritis atau sensitif. Ini juga akan mengurangi akses masyarakat terhadap informasi yang penting dan meminta akuntabilitas terhadap pihak yang berkuasa.
Padahal hak atas kebebasan berpendapat dan menyampaikan informasi sudah dijamin dan dilindungi di berbagai instrumen hukum. Secara internasional, hak atas kebebasan berpendapat dan menyampaikan informasi dijamin di pasal 19 di Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) serta Komentar Umum No. 34 terhadap Pasal 19 ICCPR. Hak tersebut juga dijamin di Konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28E dan 28F UUD, serta pada Pasal 14 UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.