EDISI.CO, NASIONAL- Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan telah melakukan integrasi penggunaan nomor induk kependudukan (NIK) sebagai nomor pokok wajib pajak (NPWP). Meski kini format baru NPWP mulai berlaku, namun format lama masih tetap berlaku hingga akhir Desember 2023. Lantaran belum seluruh layanan administrasi dapat mengakomodasi NPWP dengan format baru ini.
Program ini rupanya mendapat sambutan positif dari masyarakat. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan Polling Institute, 48,5% warga sudah tahu dengan Program NIK jadi NPWP ini.
Baca juga: Ruangguru PHK Ratusan Pegawai, Bagaimana Nasib Karyawannya?
Bila dibandingkan dengan survei bulan Agustus 2022 lalu, awareness warga cenderung meningkat, terutama untuk kelas atas dengan penghasilan di atas Rp 4 juta per bulan. Sebelumnya, pada Agustus 2022 lalu, tingkat pengetahuan warga terhadap Program NIK jadi NPWP sebesar 31,6 persen.
“Mayoritas publik yakin, penggunaan NIK sebagai NPWP akan lebih memudahkan dalam menunaikan kewajiban perpajakan,” kata Direktur Executive Polling Institute, Kennedy Muslim, Minggu (20/11).
Baca juga: Bertemu Menhan China, Prabowo Bahas Ukraina hingga Laut China Selatan
Poling dilakukan secara wawancara tatap muka oleh interviewer yang telah dilatih, pada tanggal 2 hingga 8 November 2022. Ada 1.220 orang yang menjadi sampel poling, yang berasal dari seluruh provinsi di Indonesia, yang tersebar proporsional. Poling ini memiliki margin of error (MoE) sekitar 2.9% pada rentang kepercayaan 95%.
Selain itu, indikasi adanya kenaikan penerimaan pajak adalah meningkatnya jumlah pemilik NPWP. Kepemilikan NPWP saat ini mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Dari 45,7% pada Agustus 2022, naik menjadi 48,7% di November 2022.
“Tentunya hal ini akan berdampak positif terhadap penerimaan pajak,” katanya.
Dari pemilik NPWP, mayoritas membayar pajak. Bahkan mencapai 78%. Namun, jenis pajak yang dibayar adalah yang termasuk dalam otoritas pemerintah daerah, seperti PBB yang mencapai 60,5 % dan pajak kendaraan bermotor yang mencapai 59,9 %.
“Sementara untuk jenis pajak yang termasuk dalam otoritas pemerintah pusat, hanya sekitar 13 %. Yaitu, pajak PPh 9,2% atau sekitar 36,8% dari pemilik NPWP, serta PPN dan PPnBM (3,8 %),” kata Kennedy.
Umumnya masyarakat cukup baik dalam memahami manfaat-manfaat uang pajak. Mayoritas masyarakat juga tahu bahwa pemerintah memberi subsidi kepada BBM, LPG 3 Kg, hingga listrik. Namun, mayoritas masyarakat menilai bahwa subsidi, BLT dan BSU yang diberikan, kurang atau tidak tepat sasaran.
“Ini juga menjadi salah satu alasan mengapa warga kurang merasakan manfaat uang pajak,” tegasnya.
Dari hasil poling juga diketahui bahwa separuh warga Indonesia pernah menerima bantuan BLT atau BSU. Dan tentu mayoritas meraka menggunakan BBM, LPG dan listrik. Tapi, mayoritas tidak tahu bahwa subsidi BLT atau BSU yang diberikan itu, sebagian besar uangnya diambil dari pajak.
“Dalam situasi ini, warga harus mendapat persuasi dengan baik, kiranya bukan hanya persoalan pemahaman tentang manfaat atau peruntukan uang pajak, tapi juga sekaligus motivasi kolektif dalam partisipasi penerimaan pajak yang semakin besar, terutama pada kelompok yang termasuk dalam kriteria wajib pajak,” katanya.
Sementara sebanyak 53,7 % warga tahu tentang manfaat yang diberikan dari uang pajak. Seperti BLT, penyelenggaraan pendidikan di sekolah negeri, membayar gaji aparatur negara, penanggulangan bencana, bantuan iuran jaminan sosial dan subsidi pupuk.
Namun hampir semua warga tidak tahu beda pajak daerah dan pajak pusat, terlebih mekanisme transfer pusat dan daerah. Sebanyak 66,1% masyarakat setuju dengan pemberian sanksi bagi penunggak pajak, agar membuat warga lebih patuh pajak. Mayoritas atau sekitar 57% warga juga setuju bahwa pengemplang pajak harus dikenai sanksi pidana.