EDISI.CO, BATAM- Pendi bercerita cukup lama di bawah Pohon Dungun sore itu. Soal Keramat Datok Panau di situ, soal Lubuk Lanjut yang menjadi jejak sejarah masyarakat Pulau Rempang, juga soal ketakutannya atas ancaman penggusuran yang akan merenggut peradaban mereka.
Ia mengaku tidak menyangka, ketenangan tiba-tiba hilang dari kampungnya, peradaban serupa di Pulau Rempang, Galang, dan warga lain di pulau-pulau sekitarnya. Padahal, sebelumnya Masyarakat Melayu di sini hidup damai, meskipun tidak memiliki kelebihan materi.
Kini, jangankan untuk memancing atau kegiatan lain di laut sebagai nelayan, istirahat dengan tenang saja tidak bisa. Kekhawatitan akan hilangnya kampung dan tempat berkehidupan, selalu mungemuka sepanjang hari, siang dan malam.
Saling menguatkan satu sama lain dan berkumpul menjadi obat yang saat ini bisa mengusir kekhawatiran, walau kadang hal itu hanya berlangsung sesaat.
Pohon Dungun tempat kami berbincang memiliki tiga cabang. Masing-masing cabang berukuran serupa. Dua cabang menjulur ke darat, satu cabang lain mengarah ke laut.
Keramat Datok Panau berada di sisi pohon, menghadap ke laut. Sebuah bendera dengan kain kuning tertancap di samping pohon ini. Empat batang kayu kecil, dengan panjang sekitar satu depa tersandar di batangnya.
Pendi mengaku tidak bisa terima kalau peradaban Melayu pesisir ini nantinya musnah. Makam nenek moyangnya di sini terusik dan rusak atas nama pembangunan dan investasi. Peradaban yang diwariskan secara turun temurun sejak ratusan tahun lalu.
Sebaliknya, masyarakat Melayu seperti dirinya justru berharap hadir gerakan bersama untuk menjaga kelestarian kampung-kampung di pesisir Pulau Rempang, identitas mereka.
Pusara kakeknya berada di muka kawasan pemakaman Lubuk Lanjut. Tidak jauh dari Keramat Datok Panau. Kuburan neneknya berjarak sekitar tujuh meter. Di antara keduanya ada makam lain yang tersusun acak. Ada dua makam yang atasnya ditata dengan keramik, makam kerabat Pendi juga.
Keramat Datok Panau di Lubuk Lanjut, antara Kampung Monggak dan Pasir Panjang di Pulau Rempang-Edisi/bbi.
Kawasan Lubuk Lanjut ini adalah area bermain pendi ketika ia masih kecil. Saat itu, ia selalu menemani kakek neneknya menjaga dan menunggu Buah Durian jatuh di saat musim berbuah tiba, juga tanaman tua lainnya.
Laiknya anak kecil, Pendi mengaku sangat menikmati masa-masa itu. Waktu penuh keceriaan, yang ia yakini tidak akan dipahami anak-anak generasi sekarang.
“Tempat kami memang di sini. Kebun nenek saya ini sampai di tambak udang sana,” kata Pendi.
Keramat Datok Panau, menjadi bagian tidak terpisahkan dengan Pendi, masyarakat Pasir Panjang, Monggak dan kampung-kampung lain di Pulau Rempang. Warga meyakini keramat ini memiliki kekuatan melindungi kampung mereka dari hal-hal buruk. Juga dari kejahatan yang disebabkan ulah manusia.
Warga menghormati Keramat Datok Panau, menjaga kelestarian apapun yang ada di sekitarnya. Tidak menebang pohon, tidak mengotori dan tidak melakukan hal-hal negatif di sekitarnya.
Waga berkomunikasi dengan Keramat Datok Panau dengan ritual khusus. Menggunakan kayu sebagai medium. Ritual dilakukan oleh orang-orang tertentu yang memang memiliki kualifikasi dan kepandaian.
Pendi menjelaskan panjang kayu sebagai media komunikasi dengan Keramat Datuk Panau akan berubah-ubah, menandai hadirnya komunikasi antara warga dengan Keramat tersebut.
Seiring berjalannya waktu, Lubuk Lanjut tetap dikunjungi warga. Mereka yang tidak lagi tinggal di kawasan Pasir Panjang dan kampung lain di dekat Lubuk Lanjut, tetap datang untuk berziarah.
Di waktu tertentu, Pendi dan warga bersama-sama membersihkan kawasan makam.
“Ini (Lubuk Lanjut) kampung pertama di Pulau Rempang, orang-orang dari sini pindah dan membuat kampung lain di Pulau Rempang,” kata Pendi.
Generasi saat ini, lanjutnya, tidak semua mengerti tentang Lubuk Lanjut. Karena memang tidak semua anak muda mendapatkan informasi dan cerita dari orangtua mereka. Namun demikian, hal itu tidak akan mengubah fakta bahwa Lubuk Lanjut menyajikan jejak sejarah Pulau Rempang.
Makam Keramat di Lubuk Lanjut-Edisi/bbi
Jejak sejarah tersebut menjadi bagian dari identitas Masyarakat Melayu di pesisir Batam, khususnya Pulau Rempang. Identitas yang terancam hilang atas rencana pengembangan Pulau Rempang menjadi kawasan Eco City.
Rempang Eco City menjadi sebab keresahan warga Pulau Rempang. Padahal warga tidak menolak pembangunan, namun rencana tersebut justru mengancam eksistensi peradaban masyarakat Pulau Rempang. Itu yang ditolak warga.
Suara penolakan rencana penggusuran akibat Rempang Eco City kini terus menggema. Mulai dari gelaran aksi Masyarakat Melayu Pulau Rempang, disusul aksi serupa masyarakat dari daerah lain di Indonesia.