EDISI.CO, CATATAN EDISIAN– “Kan dulu begitu. Terus terang saja banyak orang yang selalu mencari-cari, menjelek-jelekkan masa lalu, orde ini orde itu. Tapi kalau kita lihat sebelum 1998, universitas negeri semua sangat terjangkau oleh rakyat kecil. Anaknya petani bisa jadi insinyur, bisa jadi dokter. Setelah itu terjadi suatu fenomena liberalisasi, semuanya gandrung dengan paham-paham neoliberal, kapitalisme yang menurut saya tak terkendali.”
Prabowo Subianto, Menteri Pertahanan RI sekaligus presiden terpilih Pemilu 2024, saat sesi tanya jawab dengan Kepala Koresponden Internasional Bloomberg wilayah Asia Tenggara, Haslinda Amin, dalam Forum Ekonomi Qatar di Doha, Rabu (15/5/2024) waktu setempat. Prabowo menanggapi isu biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT) tinggi.
Dalam sesi tersebut, Prabowo menyebutkan bahwa sebelum 1998, universitas negeri sangat terjangkau oleh rakyat kecil.
Untuk memeriksa kebenaran klaim Prabowo, The Conversation Indonesia berkolaborasi dengan Muhammad Naufal Waliyuddin, peneliti kajian kepemudaan dan keagamaan sekaligus kandidat doktor di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Benar tapi tidak akurat
Naufal menegaskan bahwa pernyataan tersebut ada benarnya, tapi cacat argumen, terutama soal Orde Baru (Orba).
Faktanya, kenaikan biaya pendidikan tinggi memang tidak seimbang dengan peningkatan gaji masyarakat. Data Badan Pusat Statistik (BPS) sepanjang 1995–2022 tentang data upah lulusan SMA dan universitas serta data biaya studi dari 30 PTN dan PTS selama 2013-2022 menunjukkan temuan menarik. Biaya studi diperkirakan rata-rata akan naik 6,03% per tahun. Spesifiknya, untuk PTN peningkatannya sekitar 1,3% per tahun dan untuk PTS mencapai 6,96%. Sedangkan kenaikan gaji orang tua lulusan SMA hanya sebesar 3,8% per tahun. Disusul kenaikan upah orang tua lulusan universitas yang per tahun hanya 2,7%.
Dengan kata lain, pertumbuhan biaya studi perguruan tinggi semakin ke sini memang semakin mahal dan membebani masyarakat. Akan tetapi, ada tren positif di dalam data tersebut, partisipasi masyarakat ekonomi rendah terhadap pendidikan tinggi meningkat dari 6,82% (2016) menjadi 15,96% (2021).
Selain itu, Naufal menambahkan bahwa kita tidak bisa mengabaikan faktor inflasi. Untuk melihat perbandingannya, kita bisa menghitung biaya Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) di era 1980-an dengan nilai rata-rata UKT masa kini lewat kalkulator inflasi.
Pada kurun 1980an, contohnya, rentang SPP berkisar dari Rp120.000 per tahun kemudian menjadi Rp400.000 per tahun selama periode 1990an.
Ketika dihitung berdasarkan inflasi tahunan, angka SPP pertama tersebut setara dengan Rp2,7 juta, dan yang kedua senilai Rp5,5 juta. Angka ini masih jauh dari biaya kuliah per tahun yang secara rata-rata nasional sebesar Rp14,7 juta. Ini menandakan bahwa pendidikan tinggi memang semakin mahal. Sehingga, Naufal mengingatkan, jika tidak disiasati secara serius, kondisi ini berisiko menutup peluang bagi masyarakat kelas ekonomi rendah untuk menjangkau pendidikan tinggi.
Sesat pikir ‘kesuksesan’ Orde Baru
Argumen Prabowo mengenai Orba—yang membuat universitas negeri terjangkau dan anak petani bisa jadi insinyur—adalah contoh cacat logika (fallacy) bernama hasty generalisation—pengambilan kesimpulan secara sembrono dengan basis data yang tidak cukup.
Baca juga: Terminal II Bandara Internasional Hang Nadim Batam Senilai Rp2,4 Triliun mulai Dibangun
Prabowo tidak menyebutkan, contohnya, rujukan data berapa jumlah anak petani yang di zaman itu yang bisa jadi insinyur dan berapa yang justru gagal masuk kampus.
Sementara itu, data alokasi rata-rata subsidi pendidikan di era Orba tidak sampai 10% dari APBN. Sedangkan pasca-Reformasi, terutama sejak 2009, subsidi terbesar untuk pendidikan sebesar 20% dari APBN dan itu termasuk tertinggi di Asia Tenggara.
Lebih lanjut, di era Orba terdapat kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) yang mematikan aktivisme gerakan mahasiswa era tersebut. Kebijakan ini menjinakkan sekaligus mendepolitisasi anak muda secara sosial politik sehingga universitas menjadi semakin birokratis dan hierarkis, alih-alih kritis terhadap situasi negara dan pemerintahan.
Ini menunjukkan corak utama Orba, yakni politik Orwellian—negara melakukan pemantauan secara menyeluruh (surveillance), sarat watak otoritarianisme, represif militeristik, dan suara kritis dibungkam secara sistemik. Akibatnya, masyarakat menjadi massa mengambang—istilah masa kini untuk menyebut masyarakat yang semakin tumpul, lemah, dan tidak punya daya tawar di hadapan pemerintah.
Selain itu, justru Orba lah yang membuka keran liberalisasi dan kapitalisme sejak awal berkuasa, terutama melalui UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (UU PMA) yang berujung peristiwa Malari 1974—yang efeknya terasa hingga sekarang.
Serangkaian problem ini mementahkan klaim Prabowo mengenai orde pra-1998 yang dianggapnya lebih baik ketimbang masa sekarang. Bagaimanapun, dengan segala keterbatasan yang ada, saat ini kita masih berada dalam iklim demokrasi, alih-alih atmosfer sosial yang represif dan otoriter ala Orba.
Artikel ini merupakan hasil kolaborasi program Panel Ahli Cek Fakta The Conversation Indonesia bersama Kompas.com dan Tempo.co, didukung oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
Penulis: Hayu Rahmitasari, Education & Culture Editor, The Conversation
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.