Edisi/AkarBhumi Indonesia.
EDISI.CO, BATAM– Nelayan di Kampung Terih, Kampung Kelembak (dapur arang) dan Kampung Sambau, di Kecamatan Nongsa, Pesisir Batam bergerak. Sekitar 100 warga menghentikan aktivitas reklamasi di Sei Ulu Panglong, Kelurahan Batu Besar, Kecamatan Nongsa Batam Kepulauan Riau (29466) pada Koordinat: Lat 1.149099 Long 104.119026 pada 27 April 2023 lalu.
Warga sempat bersitegang dengan pihak perwakilan perusahaan yang terdiri dari 4 orang. Warga juga menahan alat berat (loader), sebelum akhirnya membiarkan alat tersebut dibawa keluar dari area reklamasi.
Warga Kemudian meninggalkan lokasi setelah kegiatan berhenti dan mengosongkan area reklamasi.
Informasi ini penulis dapat dari NGO Akar Bhumi Indonesia yang melakukan pendampingan keada para nelayan pesisir Batam tersebut. Berdasakan estimasi Akar Bhumi Indonesia, pematangan lahan ini seluas antara empat sampai hektar, menggunakan tanah timbunan berasal dari area berjarak sekita satu kilometer (KM) dari lokasi reklamasi.
Hamparan tanah merah telah meratakan pohon-pohon Mangrove. Status lahan masih di luar kawasan namun sudah mulai dekat dengan kawasan Hutan Lindung Sei Ulu Lanjai yang juga tercakup dalam Peta Mangrove Nasional (PMN).
Pendiri Akar Bhumi Indonesia, Hendrik Hermawan, menuturkan pihaknya mencoba menelusuri alasan yang mendasari warga bergerak. Mereka menemukan bahwa masyarakat terpaksa melakukan aksi penghentian pekerjaan karena tidak ditanggapi dengan baik, saat menanyakan tentang izin kegiatan.
Warga juga menemukan aktivitas penimbunan telah menutup alur sungai Ulu Panglong dan sendimentasinya mencemari pesisir hingga luasan beberapa Kilometer. Akibatnya, telah terjadi kerusakan lingkungan mangrove dan habitat biota laut sehingga menghilangkan/menurunkan hasil tangkapan nelayan.
“Masyarakat membutuhkan pendampingan karena tidak tahu kemana harus melaporkan. Mereka juga mempertanyakan tentang kewenangan perizinan dan pengawasan serta dasar hukum reklamasi dan perusakan lingkungan hidup,” tutur Hendrik dalam keterangan yang diterima pada Jumat (5/5/2023) pagi.
Baca juga: Salah Paham soal Antrian, jadi Temuan Ombudsman saat Sidak Kantor Imigrasi Batam
Verifikasi Lapangan
Hendrik Melanjutkan, pihaknya melakukan verifikasi lapangan. Menyusuri pesisir Kampung Kelembak menuju Sei Ulu Panglong (lokasi penimbunan). Mereka terhenti di Sei Ulu Buntal karena air laut terlalu dangkal untuk dilewati. Di sana, mereka menemukan aktivitas yang diduga ilegal yakni adanya alat berat yang sedang bekerja menutup alur sungai.
Aktivitas tersebut terhenti sekitar 20 menit kemudian. Alat berat tersebut dibawa pergi dari lokasi. Temuan itu langsung dilaporkan ke Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Unit II Batam, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) Lamhot M. Sinaga.

Sepanjang perjalanan laut dari Kampung Kelembak menuju Ulu Panglong, pihaknya melewati alur-alur sungai pesisir. Ada sembilan sungai hingga menuju sungai Ulu Panglong yang menjadi titik asal konflik warga dan kegiatan reklamasi.
“Jarak dari Kampung Kelembak menuju Sei Ulu Panglong berkisar empat Km dan sendimentasi lumpur timbunannya cukup parah. Indikasi tingginya pencemaran dapat dilihat secara kasat mata yakni air laut yang keruh kecoklatan,” tutur Hendrik.
Sendimentasi juga mengakibatkan pendangkalan pada alur sungai ataupun pesisir laut. Ada sekitar 200 nelayan di tiga kampung tersebut, sebagian besar nelayan tiga kampung tersebut adalah nelayan kecil yang berkegiatan di dekat kawasan pantai, mereka ada juga yang tidak memiliki perahu ataupun sampan bermesin. Hanya mengandalkan alat tangkap (bubu, jaring, tombak dan lain-lain).
Dan ada sebagian masyarakat yang hanya mengandalkan penghasilannya ketika laut surut dengan mencari gonggong, rengkang, kerang dll di sepanjang bibir pantai.
Costal area menjadi urat nadi dan tulang punggung bagi masyarat pesisir, sumber penghidupan utamanya, namun reklamasi dan penambangan pasir di hulu sungai telah tersebar oleh arus air laut dan mencemari hampir sebagian besar teluk Nongsa, area fishing ground tidak hanya tiga kampung.
Kondisi rusaknya pesisir tentu saja sangat mempengaruhi penghasilan masyarakat nelayan, hilangnya atau turunnya hampir 50% bahkan kadang bisa lebih. Hasil tangkapan bernilai tinggi yakni udang dan ketam semakin jarang karena habitatnya terganggu. Biota laut membutuhkan ekosistem yang sehat untuk hidup dan berkembang biak.
“Kami juga menemukan banyaknya ekosistem Mangrove yang mati karena tercemar lumpur reklamasi dan penambangan pasir. Ekosistem Mangrove sebagai pelindung pulau dan tempat berkembang biak biota laut terancam hilang,” kata dia.
“Informasi dari masyarakat, pihak perusahaan sudah mencoba untuk mengadakan mediasi dengan mereka. Saat ini Akar Bhumi Indonesia sedang menelusuri perusahaan yang terkait guna pengajuan pengaduan reklamasi tersebut ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia,” tambah Hendrik.
Mendorong Pemerintah Tingkatkan Pengawasan
Lebih jauh, Hendrik mengatakan kalau lahan penimbunan sudah hampir mendekati kawasan Hutan Lindung Sei Ulu Lanjai. Jika tidak segera ditangani, pihaknya khawatir mungkin akan merengsek ke kawasan hutan lindung. Apalagi dari informasi masyarakat, bahwa reklamasi akan semakin meluas.
“Existing Mangrove dan kawasan perairan memiliki regulasi tersendiri di dalam pelaksanaan pembangunan suatu proyek. Selama beberapa hari ini kita masih melakukan verifikasi aduan masyarakat tersebut, mengumpulkan bukti dan keterangan. Segera akan kita laporkan terkait temuan ini, sehingga aktivitas tersebut bisa benar-benar dihentikan secara prosedural dan jika ditemukan tindak pidana yang melanggar perundangan-undangan maka bisa ditindak dengan tegas oleh pihak terkait,” tutur dia.

Mengingat lokasi reklamasi berada di pesisir, maka menjadi kewenangan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), sedangkan kerusakan lingkungan menjadi lingkup Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Ketua Akar Bhumi Indonesia, Soni Riyanto, mengatakan pemerintah di daerah (Pemerintah Kota Batam dan BP Batam) tidak bisa terus-terusan melakukan pembiaran reklamasi yang diduga menyalahi aturan. Karena bukan saja lingkungan yang rusak, namun masyarakat sering berada dipihak yang dirugikan.
Sebagai gugusan terakhir mangrove di daerah Nongsa maka kita wajib menjaga keberadaannya. Apalagi banyak kampung-kampung sepanjang pesisir yang berprofesi sebagai nelayan pantai.
“Pemerintah Batam (Pemko dan BP Batam) seolah ramah kepada pendatang, namun tak acuh kepada tuan rumah (masyarakat asli di pesisir Batam). Masyarakat nelayan Nongsa sudah cukup menderita dari kerusakan pesisir akibat penambangan pasir, kini diperparah dengan reklamasi di mana-mana. Reklamasi bak monster yang begitu ganas memporak-porandakan kehidupan dan peradaban yang sudah ratusan tahun mendiami pulau Batam,” tutur Soni.