Masyarakat Melayu dari kampung-kampung di pesisir Batam melakukan aksi menolak penggusuran 16 kampung yang dihuni masyarakat Melayu di Pulau Rempang-Edisi/Irvan F.
EDISI.CO, NASIONAL– Catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), selama periode 2015-2022, tercatat 69 korban tewas di wilayah konflik agraria. Sedikitnya telah terjadi 2.710 letusan konflik agraria pada periode tersebut.
Dari jumlah itu, perusahaan perkebunan dan penerbitan/perpanjangan HGU selalu menjadi penyebab konflik agraria tertinggi dengan jumlah letusan mencapai 1023 konflik (37%), dibanding sektor lainnya (kehutanan, pertambangan, infrastruktur, dll).
Sekertaris Jendral (Sekjen) KPA, Dewi Kartika, dalam keterangan yang diterima, menuturkan pendekatan represif di wilayah konflik agraria yang sudah berlangsung lama, kembali dipertontonkan aparat di Desa Bangkal, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah. Warga menjadi korban tindakan brutal aparat keamanan untuk membekingi perusahaan. Sedikitnya 20 orang warga dikriminalisasi, tiga orang tertembak, dua diantaranya kritis dan satu orang tewas di tempat.
Tercatat Saudara Gijik, warga Bangkal yang tewas akibat peluru tajam. Peristiwa naas tersebut terjadi Sabtu (7/10) saat Masyarakat bangkal melakukan aksi damai untuk menuntut tanah plasma merekadari perusahaan perkebunan sawit, PT. Hamparan Masawit Bangun Persada I (PT. HMBP I) – bagian dari Best Group Agro International, milik keluarga Tjajadi.
“Peristiwa Seruyan menandakan Pemerintahan Jokowi tidak bergeming untuk merubah pola-pola penangananaparat di wilayah konflik agraria yang selalu menggunakan pendekatan represif dan intimidatif dengan cara menurunkan barisan aparat keamanan,” kata dia dalam keterangan tersebut.
Peristiwa yang terjadi di Seruyan ini semakin menambah daftar panjang korban tewas di wilayah konflik agraria. Wajah buruk agraria ini, akibat penanganan yang bersifat bussniness as usual; menggunakan cara-cara represif, mobilisasi aparat sebagai beking perusahaan ketimbang bersikap netral di wilayah konflik agraria.
Baca juga: Warga Melayu Rempang Terus Serukan Tolak Penggusuran
Ini bukan kali pertama PT HMBP I menyebabkan jatuhnya korban konflik agraria di Kabupaten Seruyan. Padatahun 2012, 12 warga Desa Bangkal ditetapkan sebagai tersangka pengrusakan lahan yang diklaimmilik PTHMBP I, padahal tanah yang mereka ambil-alih dan diklaim sepihak tersebut merupakan tanah adat, danjustru berada di luar HGU PT HMBP I.
Konflik agraria kembali meletus pada Tahun 2020, kali ini HMBP II mengkriminalisasi 15 warga Desa Penyang, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah dengan tuduhan pencurian buah Sawit. Penangkapanpertama terjadi pada dua orang warga Desa Penyang pada 17 Februari 2020.
Kemudian pada 27 Februari 2020, 11 warga Desa Penyang yang tergabung dalam Kelompok Tani Sahai Hapakat ditangkap pasukan Brimob dan digelandang ke Polres Kotim.
Beberapa diantaranya didugamengalami penganiayaan. Puncaknya adalah penangkapan yang terjadi pada 7 Maret 2020 terhadapJames Watt dan Dedi S. Penangkapan tersebut dilakukan oleh lebih dari 10 polisi yang tidak memakai seragam pada dini hari. 3 orang (Dilik Bin Asap, Hermanus Bin Bison, dan James Watt Bin Atie) ditetapkansebagai tersangka, Hermanus meninggal pada 26 April 2020 ketika dalam tahanan karena diperlakukantidak layak selama proses penahanan selama sidang berjalan sementara Dilik dan James Watt harus mendekam dipenjara.
Dengan catatan buruk konflik agraria struktural yang dihadapi masyarakat akibat beroperasinya perkebunan PT. HMBP I dan II, hingga kembali berujung pada tewasnya satu orang warga Seruyan (7/10), ini menambah deretan rapor merah operasi perusahaan perkebunan yang seringkali melahirkan konflik agraria dan korban jiwa.