EDISI.CO, NASIONAL- Telapak tangan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menempel di podium. Meresmikan program tilang elektronik atau elektronic traffic law enforcement (ETLE) di Hotel Wyndham, Embong Kaliasin, Kecamatan Genteng, Kota Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (26/3).
Salah satu program prioritas Presisi, jargon yang dibawa Jenderal Sigit sejak dilantik 27 Januari 2021 lalu. Penerapan tilang elektronik itu kini sudah berlaku di 34 Polda seluruh Indonesia.
Baca juga: 1 dari 20 Remaja di Indonesia Terdiagnosis Memiliki Gangguan Mental
Gebrakan lain, Sigit membenahi pelayanan lalu lintas juga dengan mengurus Surat Izin Mengemudi (SIM) dan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) secara online.
Penerapan sistem tersebut untuk menghindari tatap muka secara langsung. Masyarakat hanya tinggal menggunakan aplikasi layanan yang dibutuhkan, setelah selesai akan dikirim dengan sistem delivery sistem.
Selain dua program tersebut, Sigit juga membenahi penindakan terhadap pelanggaran pidana di dunia maya. Langkahnya dengan membuat patroli polisi di dunia maya atau virtual police.
Baca juga: 4 Negara Ini Hapus Utang Luar Negeri Indonesia, Nilainya Capai Rp4,4 Triliun
Cara kerja program ini yaitu mengingatkan seseorang terkait postingannya diduga melanggar pidana. Dengan sekali mengirimkan peringatan tersebut, polisi berharap agar pesan yang diduga melanggar pidana itu dihapus. Sehingga, nantinya membuat orang yang ditujunya itu tidak merasa terhina.
Gebrakan demi gebrakan dilakukan oleh Sigit. Pembenahan internal Polri terus dilakukan seperti jargon yang dibanggakan sejak dilantik Presiden.
Bahkan, di penghujung akhir tahun 2021, Sigit mengeluarkan dengan merekrut 43 mantan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai aparatur sipil negara (ASN) Polri. Salah satunya penyidik senior lembaga antirasuah Novel Baswedan.
Percuma Lapor Polisi
Namun langkah Sigit dalam membenahi internal Polri tak selamanya berjalan mulus. Beberapa kasus menghantam korps baju coklat menjelang dua tahun kepemimpinan Sigit.
Tengok saja penanganan kasus pemerkosaan tiga anak yang dilakukan ayah kandungnya di Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan, beberapa waktu lalu.
Kasus yang mangkrak sejak 2019 itu menjadi sorotan publik setelah viral di media sosial pada awal Oktober 2021 lalu.
Kampanye dengan tanda pagar (tagar) ‘percuma lapor polisi’ seketika trending topik di Twitter. Bukti begitu krisisnya kepercayaan publik terhadap Polri.
Belum lagi kasus kematian mahasiswi Universitas Brawijaya, Novia Widyasari Rahayu yang ditemukan tewas di makam sang ayah.
Di balik kasus kematian Novia, tersimpan rentetan peristiwa kelam yang melibatkan mantan kekasihnya seorang polisi di Polres Pasuruan, Randy Bagus Hari Sasongko.
Setelah itu, kasus demi kasus yang memperlihatkan buruknya citra kepolisian bermunculan dan viral. Tagar-tagar tentang stigma yang melekat pada kepolisian juga memenuhi lini masa seperti ‘1 hari 1 oknum’, ‘no viral no justice’, hingga ‘viral for justice’.
Menyadari munculnya sejumlah tagar yang menjadi reaksi publik atas kinerja kepolisian, Sigit lantas memerintahkan jajarannya berbenah guna menghilangkan stigma negatif tersebut.
Sigit mengatakan, masyarakat membuat perbandingan penanganan kasus yang diviralkan dengan perkara yang dilaporkan ke polisi tanpa diunggah ke medsos.
“Fenomena ini harus dievaluasi, kenapa terjadi. Kemudian sudah melekat di masyarakat harus viral, kalau tidak viral prosesnya tidak akan berjalan dengan baik,” kata Sigit.
Geger Ferdy Sambo
Kasus yang menyita perhatian publik lainnya terkait kasus pembunuhan terhadap ajudan mantan Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo, Brigadir J atau Nofriansah Yoshua Hutabarat. Kejanggalan kematian Brigadir J yang diungkap kuasa hukum membuat desakan publik agar Kapolri membentuk tim khusus melakukan pengusutan.
Kasus ini membuat citra Polri kian melorot. Apalagi, awalnya jubir Polisi mengatakan terjadi aksi saling tembak antar ajudan Ferdy Sambo.
Belakangan diketahui, ternyata dalang kematian Brigadir J adalah Ferdy Sambo sendiri. Sambo juga melibatkan banyak pejabat Polri dalam skenario bohongnya. Lagi-lagi kasus ini membuat Kapolri susah tidur.
Namun, Kapolri komitmen untuk mengungkap kasus Sambo. Setelah hampir sebulan melakukan penyelidikan, tim khusus bentukan Kapolri menetapkan Ferdy Sambo sebagai tersangka pembunuhan berencana.
Ferdy Sambo menyusul Bharada E dan Brigadir RR yang lebih dulu menyandang tersangka pembunuhan Brigadir J. Drama kasus pembunuhan berlanjut hingga tim khusus menetapkan dua tersangka lainnya yaitu Kuat Maruf selaku sopir pribadi dan istri Ferdy Sambo, Putri Candrawathi.
Kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir J tengah memasuki sidang perdana yang digelar pada Senin (17/10).
Tragedi Kanjuruhan
Belum usai kasus Ferdy Sambo Cs, Polri kembali disorot terkait kematian ratusan suporter Arema FC usai pertandingan melawan Persebaya pada (1/10) lalu. 132 Orang meregang nyawa dalam peristiwa dikenal sebagai Tragedi Kanjuruhan tersebut.
Polri lagi-lagi menjadi sorotan. Setelah penggunaan gas air mata saat mengamankan situasi setelah terjadi kericuhan di dalam dan luar stadion. Penembakan gas air mata diduga kuat menjadi penyebab kematian ratusan suporter tersebut. Dugaan itu diperkuat hasil temuan Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) dibentuk pemerintah.
Hasil penyelidikan dilakukan TGIPF tersebut menetapkan enam orang tersangka. Tiga di antaranya anggota polisi. Mereka adalah Kabag Ops Polres Malang Kompol Wahyu Setyo Pranoto, Kasat Samapta Polres Malang AKP Bambang Sidik Achmadi dan Komandan Kompi Brimob Polda Jatim AKP Hasdarman.
Kasat Samapta Polres Malang AKP Bambang Sidik Achmadi dan Komandan Kompi Brimob Polda Jatim AKP Hasdarman berperan memerintahkan anggota menembakkan gas air mata. Sementara Kabag Ops Polres Malang Kompol Wahyu Setyo Pranoto tidak mencegah atau melarang pemakaian gas air mata.
Atas perbuatannya para tersangka disangka melanggar Pasal 359 dan 360 KUHP tentang menyebabkan orang mati ataupun luka-luka berat karena kealpaan dan pasal 103 ayat (1) Jo Pasal 52 UU Nomor 11 Tahun 2022 tentang Keolahragaan.
Kasus teranyar yang menjadi tamparan Polri lainnya terkait dugaan keterlibatan Kapolda Sumatera Barat Irjen Pol Teddy Minahasa (TM) terkait kasus peredaran narkoba.
Keterlibatan Teddy Minahasa diketahui dari penyidikan jaringan narkoba yang dilakukan oleh Polda Metro Jaya.
Irjen Teddy Minahasa diduga mengendalikan penjualan barang bukti sabu seberat lima kilogram. Terungkap, Teddy Minahasa mengambil sabu saat melakukan pemusnahan dan digantikan dengan tawas. Kasus ini masih diselidiki Polda Metro Jaya. Dengan Teddy ditetapkan tersangka bersama 10 orang lainnya.
Ujian Berat Kapolri
Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso menilai, dua tahun menjelang kepemimpinan Kapolri mendapat tantangan khusus di internal. Ujian internal itu seperti kasus pembunuhan Brigadir J yang diotaki Ferdy Sambo maupun perkara narkoba melibatkan Irjen Teddy Minahasa.
Padahal dalam catatan IPW dikatakan Sugeng, pada tahun 2021, Polri memecat 300 lebih anggota melakukan pelanggaran berat. Namun para personel korps baju cokelat dipecat tersebut rata-rata perwira menengah.
Penindakan terhadap personel tersebut berdasarkan survei dilakukan IPW juga mendapat apresiasi tinggi publik hingga Polri mendapat kepercayaan publik hampir mencapai 81 persen.
Akan tetapi kualitas pelanggaran dilakukan anggota Polri di tahun 2022 meningkat hingga kepercayaan publik terhadap Polri merosot khusus kasus Ferdy Sambo Cs, tragedi Kanjuruhan hingga narkoba Irjen Teddy Minahasa.
Namun sejauh ini, Sugeng melihat langkah diambil Kapolri dalam menyikapi persoalan tersebut sudah tepat. Keputusan Kapolri dalam menangani kasus Ferdy Sambo Cs, tragedi Kanjuruhan hingga narkoba Irjen Teddy Minahasa dinilainya sudah tepat.
“Sekarang kan dia dalam tanda petik kena tempolong atau sial saja harus menghadapi masalah ini. Jadi dia harus hadapi dan dia mengambil keputusan ini adalah langkah yang tepat. Saya rasa persepsinya berubah kalau kasusnya ini diselesiakan dengan baik,” kata Sugeng, dilansir dari laman ICW, Minggu (16/10).
Hal senada dikatakan Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Kepolisian Indonesia (Lemkapi) Edi Hasibuan. Mantan anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) ini menilai rentetan peristiwa yang ini terjadi menjadi ujian bagi Kapolri Jenderal Sigit.
Edi mengatakan, penindakan bagi personel melakukan pelanggaran berat dilakukan Kapolri menjadi jawaban untuk memulihkan kepercayaan masyarakat. Menurut dia, keputusan Kapolri sudah tepat.
“Saya kira ini merupakan ujian bagi Kapolri dan insyaAllah dengan penanganan yang transparan, penanganan yang terbuka kepada masyarakat kemudian juga tindakan tegas yang dilakukan oleh Kaporli tentu nanti ini semua membuat Polri semakin dipercaya,” kata Edi.
Sementara itu, Anggota Komisi III DPR Arteria Dahlan mengatakan, sangat berempati dengan Kapolri di tengah ujian dihadapi Polri. Dia berharap Kapolri berani dan yakin untuk bersikap dan bertindak tegas terhadap ujian dihadapinya tersebut.
Politisi PDIP ini menyakini konsistensi perbaikan dilakukan Kapolri,perlahan kepercayaan publik akan pulih kembali. Dia mendukung langkah Kapolri terus membenahi Polri.
“Kapolri harus berani untuk menjadi pelopor dan memimpin sendiri gerakan perbaikan institusi Polri,” kata Arteria.
Citra Polisi Melorot
Retetan peristiwa yang menimpa institusi Polri itu membuat citra Korps Bhayangkara merosot dibanding lembaga tinggi negara lainnya. Hasil itu didapat berdasarkan survei dilakukan Charta Politika.
Charta Politika melempar pertanyaan kepada responden yaitu ‘Menurut pendapat bapak/ibu/saudara di antara lembaga tinggi negara di bawah ini, apakah bapak/ibu/saudara sangat percaya, cukup percaya, atau tidak percaya sama sekali?’
Survei Charta Politika ini dilakukan pada periode 6 hingga 13 September 2022 dengan wilayah survei seluruh kelurahan atau desa. Survei ini dilakukan dengan metode wawancara tatap muka dan metode sampling dengan jumlah sampel 1.229. Adapun margin of eror survei ini 2.82 persen.
“Pada tren tingkat kepercavaan lembaga negara lainnva juga memiliki kecenderungan penurunan di mana Polri mendapat penurunan yang cukup tajam, Sedangkan DPR relatif stagnan,” kata Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia Yunarto Wijaya dalam keterangannya, Kamis (22/9).
Yunarto mengatakan, kepercayaan Polri merosot dari 73 persen menjadi 55 persen pada periode survei. Kepercayaan Polri hanya unggul dari DPR yang berada di urutan terbawah.
Dalam hasil survei itu, TNI masih menempati urutan teratas sebagai lembaga tinggi negara yang dipercaya masyarakat dengan 85 persen. Menyusul di urutan kedua ada Presiden 73 persen dan Mahkamah Konstitusi 69 persen.
“Lembaga Tentara Nasional indonesia (TNI) dinilai sebagai lembaga tinggi negara yang paling dipercaya oleh publik. Diikuti berikutnya oleh Presiden dan Mahkamah Konstitusi,” ujar Yunarto.
Di urutan berikutnya ada Kejaksaan Agung dan MPR 67 persen, Mahkamah Agung 66 persen, KPK 64 persen, 58 persen, Polri 55 persen dan DPR 55 persen.
Yunarto menganalisis, penurunan kepercayaan Polri terjadi akibat kasus pembunuhan Brigadir J yang menyeret Irjen Ferdy Sambo dan sejumlah anggota Polri.
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan, peristiwa yang menimpa institusi Polri secara beruntun, seperti kasus Ferdy Sambo, kasus Stadion Kanjuruhan, disusul dengan kasus Teddy Minahasa yang ditangkap karena kasus narkoba, mengakibatkan gencarnya kritikan dari masyarakat.
Namun menurut Mahfud MD, ketegasan Kapolri menunjukkan kepada seluruh jajaran Polri bahwa Kapolri bisa bertindak tegas.
“Misalnya, terhadap Sambo. Itu tindakannya tegas. Artinya, Polri itu punya power untuk melakukan itu, dan bisa melakukan itu,” kata Mahfud MD di Jakarta, Sabtu (15/10) lalu.
Penulis: Ivan