EDISI.CO, CATATAN DISIAN– Pernahkah kamu merasakan kegembiraan karena sudah melewatkan undangan pesta, kesempatan baru yang menarik, postingan media sosial terbaru atau tren influencer karena kamu “tidak terhubung”? Jika ya, mungkin kamu pernah mengalami joy of missing out (jomo), perasaan senang karena ketinggalan.
Jomo adalah bentuk kegembiraan yang tidak biasa karena melibatkan perasaan positif yang disebabkan oleh tidak adanya suatu peristiwa atau pengalaman, bukan karena adanya peristiwa positif. Namun, hal itu tidak menjadikannya kurang berharga untuk mendukung wellbeing.
Dalam banyak hal, jomo dapat dianggap sebagai kebalikan dari ‘fomo – fear of missing out atau rasa takut ketinggalan. Fomo melibatkan kecemasan dan emosi negatif lainnya karena adanya kekhawatiran bahwa entah bagaimana orang lain bersenang-senang, menjalani hidup yang lebih baik atau memiliki pengalaman yang lebih baik daripada kita.
Fomo bukan hanya tentang terobsesi atau kecanduan teknologi dan media sosial. Media sosial hanyalah alat yang dapat memberi makan fomo bagi sebagian orang. Fomo berakar pada kecenderungan bawaan untuk membandingkan diri kita dengan orang lain secara sosial, ketika kita berusaha untuk lebih memahami siapa diri kita dan tempat kita di dunia.
Baca juga: Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang Ajukan Praperadilan untuk 30 Tahanan Kasus Rempang
Membandingkan diri kita dengan orang-orang yang terlihat lebih baik dalam hal kualitas, pengalaman, atau kemampuan pribadi, dapat memberikan harapan dan inspirasi untuk mendorong peningkatan diri. Namun bagi sebagian orang, perbandingan sosial ke atas ini dapat memicu fomo ketika kita menyoroti apa yang kurang dari diri kita dan malah mendorong evaluasi diri yang negatif, yang berdampak negatif pada wellbeing.
Sebaliknya, ketika kita menerima dan puas dengan apa yang kita miliki dan siapa diri kita, kecil kemungkinan untuk membuat perbandingan sosial yang tidak sehat sehingga lebih berpeluang untuk mengalami ‘jomo’.
Menghindari ‘fomo’ dengan mengurangi penggunaan media sosial
Meskipun sebagian besar penelitian hingga saat ini berfokus pada fomo dan risikonya terhadap kesehatan, bukti-bukti tentang manfaat jomo mulai terkumpul. Dan beberapa dari bukti tersebut muncul secara tidak sengaja.
Pada 4 Oktober 2021, miliaran orang di seluruh dunia “terputus” dari saluran media sosial mereka ketika Meta mengalami kegagalan teknis yang mengakibatkan pemadaman Facebook, Instagram, dan WhatsApp selama enam jam.
Para peneliti mensurvei pengguna media sosial selama dua hari berikutnya tentang pengalaman emosional mereka dan menemukan bahwa banyak orang merasa stres karena kehilangan akses ke media sosial mereka. Namun, mereka juga menemukan bahwa bagi sebagian orang, terputusnya akses ke media sosial justru menimbulkan perasaan lega dan bahkan positif, atau dengan kata lain mengalami jomo.
Penelitian lain tentang pengalaman orang-orang yang melakukan pemutusan hubungan dengan sengaja dari media sosial menemukan bahwa jomo mencakup perasaan untuk mengambil kembali kendali atas hidup seseorang. Bagi mereka, memutuskan hubungan untuk mengalami jomo adalah pilihan gaya hidup, seperti halnya perawatan diri, atau melakukan kebiasaan sehat lainnya. Orang-orang merasa bahwa mereka hidup dengan lebih penuh kesadaran, menjadi lebih kreatif, dan lebih produktif saat memutuskan hubungan, seperti yang dikatakan oleh salah satu responden:
Dari rasa takut ketinggalan menjadi merasakan kegembiraan karena ketinggalan. Saya tidak harus ada di mana-mana, tidak harus bersama semua orang, dan tidak harus tahu segalanya. Media sosial terkadang bisa menjebak pikiran karena ingin membandingkan dan meyakinkan saya bahwa saya seharusnya berada di tempat lain selain di sini dan melakukan sesuatu yang lebih baik.
Membudidayakan ‘jomo’
Mencabut diri sepenuhnya mungkin tidak selalu diperlukan untuk mengembangkan jomo. Beberapa peneliti menyarankan bahwa mengadopsi kebiasaan konsumsi media sosial yang lebih bijaksana dapat membantu mengubah fomo menjadi jomo, tanpa harus meninggalkan media sosial sama sekali. Hal ini melibatkan, pertama-tama, kesadaran akan kebiasaan media sosialmu.
Seiring berjalannya waktu, media sosial yang mungkin telah memicu perbandingan sosial yang tidak sehat, pemikiran perfeksionis, dan fomo berkurang secara selektif. Konten media sosial kemudian dilihat dengan kesadaran yang lebih tinggi dan lebih sedikit penilaian dan reaktivitas, yang semuanya mendorong jomo.
Ketika kita takut kehilangan kesempatan, kita juga akan lebih sulit untuk mengatakan tidak dan menghabiskan waktu secara berlebihan. Namun waktu, seperti halnya sumber daya yang berharga lainnya, itu terbatas. Ketika orang memaksakan diri untuk tidak mengatakan “tidak” pada ajakan, kesempatan, atau penggunaan media sosial yang berlebihan, kemiskinan waktu yang terjadi dapat mengikis wellbeing.
Prasyarat untuk jomo adalah belajar untuk menghargai waktu kita yang terbatas dan bagaimana waktu tersebut digunakan. Dengan demikian, kita menciptakan kesempatan untuk merasakan kegembiraan saat ini. Kita menghargai apa yang kita miliki, daripada mengkhawatirkan apa yang mungkin kita lewatkan.
Kita juga dapat merasakan sukacita dalam memenuhi komitmen yang berharga bagi kita, yang dapat menumbuhkan rasa percaya diri dan meningkatkan kepercayaan diri. Misalnya, menggunakan malam hari untuk membaca buku, mandi, mengikuti kelas bahasa, atau memasak makanan yang enak daripada mengatakan “ya” untuk nongkrong sepulang kerja atau kegiatan sosial lainnya atau menghabiskan waktu untuk bermain media sosial.
Mengembangkan pola pikir yang lebih bersyukur juga dapat menumbuhkan jomo. Mengalihkan fokus pada apa yang kamu miliki daripada apa yang tidak kamu miliki akan membuatmu lebih mudah untuk menghargai hal-hal positif dalam hidup. Hal ini dapat mengurangi fomo dan meningkatkan jomo, karena sebenarnya, apa yang tidak kamu miliki tidak sebanding dengan apa yang sudah kamu miliki.
Rahma Sekar Andini dari Universitas Negeri Malang menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris
Penulis: Fuschia Sirois, Professor in Social & Health Psychology, Durham University
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.