
Warga Pulau Rempang menggelar orasi usai kegiatan solawat dan doa bersama sempena perayaan hari besar umat Islam, Isra' Miraj 1446 Hijriyah pada Kamis (30/1/2025)-Edisi/bbi.
EDISI.CO, CATATAN EDISIAN– Indonesia telah mengembangkan beberapa kebijakan untuk menghadapi perubahan iklim dan segala akibatnya. Perubahan iklim membawa sederet dampak bagi masyarakat, mulai dari pengungsian, penyebaran penyakit menular, hingga kematian.
Indonesia memiliki sejumlah dokumen kebijakan kembangkan seperti Enhanced Nationally Determined Contributions, Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience 2050 (LTS-LCCR), dan Low Carbon Development Indonesia (LCDI).
Sebagai seorang akademisi dalam pembangunan sosial dan kebijakan lingkungan, saya melakukan analisis deskriptif pada lebih dari lima rancangan kebijakan iklim Indonesia. Tujuannya adalah untuk mempelajari apakah kebijakan tersebut telah mengusung konsep transisi berkeadilan.
Hasilnya, kelima kebijakan Indonesia tersebut masih terlalu menggunakan pendekatan berbasis iklim, sehingga gagal memasukkan aspek sosial dan lingkungan. Padahal, kedua aspek ini sangat penting agar Indonesia bisa menerapkan transisi berkeadilan (just transition) atau upaya global menjaga kelestarian Bumi sekaligus membangun ekonomi yang berkelanjutan dengan tetap mementingkan perkembangan masyarakat dan lingkungan.
Indonesia perlu melaksanakan transisi berkadilan untuk memastikan agar upaya kita melestarikan Bumi lebih merangkul semua lapisan masyarakat. Mengabaikan faktor-faktor ini dalam aksi iklim justru mengancam kesetaraan, keadilan, dan inklusi bagi masyarakat terdampak serta ekosistem di dalamnya.
Ancaman dari ketidakadilan
Sejauh ini, Indonesia masih menitikberatkan upaya transisi berkeadilan ke sektor energi. Buktinya terpampang dalam kebijakan Rencana Transisi Berkeadilan yang dirilis pemerintah Indonesia pada September tahun lalu. Kebijakan tersebut sangat terpusat pada aspek energi saja.
Kata “adil” dalam transisi berkeadilan (dalam bahasa aslinya: “just” dalam Just Energy Transition Partnership (JETP)) — sebuah kerja sama internasional yang berfokus mempercepat pengembangan energi terbarukan dan penghentian penggunaan batu bara di Indonesia — memang telah membantu konsep transisi ini jadi lebih dikenal.
Namun, transisi berkeadilan perlu melibatkan upaya yang lebih merangkul masyarakat dalam melawan dan beradaptasi dengan perubahan iklim. Segala usaha harus memperhitungkan komunitas—pihak secara langsung terdampak atas perubahan ini.
Meski memang Indonesia sudah semakin peduli pada sektor energi, pendekatan transisi berkeadilan masih belum diterapkan di sektor-sektor lainnya yang penting bagi penanganan perubahan iklim.
Di sektor perhutanan, misalnya, Indonesia menerapkan strategi Sustainable Forest Management (SFM) atau pengelolaan hutan berkelanjutan. Strategi ini meliputi imbauan penebangan pohon secara selektif untuk meminimalkan kerusakan. Imbauan ini dapat berujung pada larangan praktik peladangan tebas bakar yang sudah turun-temurun dilaksanakan dengan cara ramah lingkungan di beberapa daerah.
Akibatnya, larangan tersebut mengancam komunitas lokal yang sudah lama melakukan pembakaran terukur sebagai metode peladangan yang berkelanjutan.
Contoh selanjutnya adalah FOLU Net Sink 2030. Rencana Indonesia mengurangi emisi dari kehutanan dan penggunaan lahan melalui perhutanan sosial. Skema ini memungkinkan masyarakat untuk mengakses dan mengelola hutan dalam rangka meningkatkan kualitas hidup mereka.
Sayangnya, inisiatif tersebut tak memperhitungkan risiko bagi masyarakat yang menggantungkan mata pencaharian dan warisan budaya mereka di hutan. Kelompok masyarakat tersebut justru dapat terancam oleh strategi pengelolaan hutan berkelanjutan.
Contoh lainnya yaitu strategi iklim Indonesia yang berfokus pada masyarakat pesisir. Strategi yang disusun ini mengabaikan aspek sosio-kultural dari aktivitas perikanan transional yang telah menjadi sumber penghidupan masyarakat.
Pemerintah berencana untuk memberikan pelatihan pengembangan bisnis untuk keluarga nelayan. Rencana ini dibuat sebagai upaya memperluas jenis mata pencaharian masyarakat agar ketika cuaca ekstrem, mereka tetap memiliki pemasukan. Namun, tanpa menyadari kaitan budaya dan ekonomi dalam aktivitas memancing, ada risiko rencana tersebut tak akan bermanfaat.
Apa dampaknya bagi kita?
Ketidakadilan dalam rancangan kebijakan iklim Indonesia membawa konsekuensi serius bagi masyarakat, bahkan bagi lingkungan kita sendiri.
Misalnya peralihan sumber energi fosil ke energi listrik yang mendorong Indonesia mengeruk limpahan nikel, terutama di wilayah Indonesia tengah dan timur, untuk dijadikan baterai kendaraan listrik. Untuk memfasilitasi penambangan dan pengolahan nikel, pemerintah menerbitkan beberapa kebijakan.
Lonjakan permintaan nikel memang menguatkan pertumbuhan ekonomi bagi provinsi padat sumber daya alam seperti Maluku Utara dan Sulawesi Tengah.
Namun, pertumbuhan ini bukan tanpa pengorbanan. Emisi gas rumah kaca Indonesia naik 20% dalam rentang 2022 hingga 2023 akibat ketergantungan penggunaan batu bara untuk memproses nikel.
Baca juga: Perusahaan Penuhi Tuntutan Operator Proyek Rumah Relokasi Rempang Eco City Tahap 1
Tak hanya persoalan emisi. Penambangan nikel juga berujung pada deforestasi dan polusi. Dampak negatif tersebut berimbas pada masyarakat lokal yang tak bisa melepaskan alam dari mata pencaharian dan budaya mereka. Keragaman hayati di daerah pertambangan juga menjadi rusak.
Memaksakan transisi energi, dalam konteks ini melalui penambangan nikel, membuktikan bagaimana transisi tak berkeadilan dapat semakin menganiaya masyarakat rentan dan justru terus merusak lingkungan.
Langkah selanjutnya
Indonesia harus mendefinisikan ulang makna transisi berkeadilan agar sesuai dengan situasi masyarakat kita. Definisi ini penting agar prinsip transisi berkeadilan dapat kebijakan yang dibuat menjadi efektif. Untuk saat ini, istilah tersebut sama sekali belum diperhitungkan dalam rancangan kebijakan iklim Indonesia.
Definisi transisi yang jelas dan sesuai konteks akan membantu Indonesia merealisasikan transisi yang berkeadilan dan inklusif.
Untuk itu, pemerintah harus melibatkan berbagai pihak dalam memahami dan merencanakan kegiatan terkait perubahan iklim. Ini mencakup, tetapi tidak terbatas pada, semua sektor yang ada di Indonesia.
Keterlibatan ini perlu mencakup partisipasi yang luas—tak hanya dari sektor publik dan swasta, tetapi juga dari masyarakat lokal, kelompok rentan termasuk perempuan dan masyarakat adat merupakan pihak yang tak kalah penting untuk terlibat.
Rancangan kebijakan yang terkonsep dan terstruktur jelas akan memudahkan proses realisasi, pemantauan, dan evaluasi. Tak hanya itu, rancangan tersebut juga perlu memastikan distribusi beban dan manfaat yang merata dan adil.
Indonesia juga harus melakukan pemantauan dan mekanisme evaluasi yang tegas untuk mendukung penerapan kebijakan iklim. Indonesia dapat belajar dari Skotlandia yang telah mengembangkan kerangka transisi berkeadilan dengan ukuran keberhasilan dan indikator terukur dengan tetap memastikan partisipasi dan pembelajaran berkelanjutan dari setiap pihak.
Dengan mempelajari literatur dan laporan yang sudah ada, Indonesia dapat menyusun kerangka rencana iklim yang sesuai dengan konteks uniknya.
Kezia Kevina Harmoko berkontribusi dalam penerjemahan artikel ini.
Penulis: Wira A. Swadana, Climate Action Senior Lead, World Resources Institute
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.