EDISI.CO, YOGYAKARTA- Konsep Society 5.0 Jepang, oleh guru besar dari Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik (DMKP) Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM), Wahyudi Kumorotomo, sebagai solusi atau jawaban atas pertanyaan apakah teknologi digital mendatangkan manfaat atau justru menimbulkan kerugian?
Dalam webinar berjudul ‘Pemikiran Bulaksumur UGM #13 : Kepemimpinan Pembangunan Berkelanjutan dan Transformasi Masy Digital’ seperti terlampir pada lama ugm.ac.id pada Senin (27/6/2022) Wahyudi menjelaskan bahwa ia tertarik kepada konsep Negara Jepang dalam menghadapi digitalisasi.
Baca juga: Menkominfo Targetkan PDN Batam Selesai Dalam 18 Bulan
Masih dari laman tersebut, seperti yang diutarakan oleh Perdana Menteri Jepang periode 2017-2020, Shinzo Abe, dalam World Economic Forum (WEF) di Swiss tahun 2019 lalu, pemerintah Jepang memilih untuk menjalankan konsep Society 5.0 dibanding ‘revolusi industri 4.0’.
Melalui konsep Society 5.0 tersebut, manusia ditempatkan sebagai pusat. Teknologi bisa dipilih dalam konsep ini. Hal ini guna memastikan bahwa perkembangan teknologi benar-benar memberikan manfaat kepada manusia/ masyarakat itu sendiri.
“Ketika di Eropa muncul gagasan tentang industri 4.0. Saya sebenarnya lebih tertarik dengan konsep pemerintahan dan masyarakat Jepang dengan society 5.0 yang intinya sebenarnya adalah teknologi itu hanya bisa bermanfaat jika meningkatkan produktifitas kita, menambah kualitas hidup kita.
Dan juga memastikan bahwa kehidupan kita lebih bahagia dan kemudian sumber daya (yang ada) itu bisa kita manfaatkan secara berkelanjutan, intinya semuanya berpulang kepada masyarakat,” tutur Wahyudi dalam tulisan berjudul “Guru Besar UGM Jawab Dilema Digitalisasi di Indonesia”
Pada dasarnya, kehadiran teknologi digital telah membawa berbagai manfaat seperti mempercepat pertukaran informasi, meningkatkan produktifitas, dan lain sebagainya.
Namun, di sisi lain kita juga mesti sadar bahwa digitalisasi turut membawa berbagai tantangan, seperti hoax, mempermudah penyebaran konten pornografi, penipuan online, perundungan siber/ cyberbullying, mempercepat dan memperluas paham radikalisme/ekstrimisme, mempermudah perjudian, dan lain sebagainya.