EDISI.CO, NASIONAL– Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Kepolisian RI, Komisaris Jenderal Agus Andrianto, mengatakan polisi menemukan lima DNA dari lima orang yang kini tersangka di lokasi tewasnya Brigadir Yosua.
“Temuan DNA itulah yang kemudian dijadikan titik awal penyidikan kematian Brigadir Joshua,” kata Agus seperti termuat dalam tulisan Editor Kesehatan + Sains laman theconversation.com Ahmad Nurhasim edisi 23 Agustus 2022.
Ahmad Nurhasim mewawancarai Dosen bidang Ilmu Kedokteran Forensik & Medikolegal dan bidang Bioetika Humaniora, Universitas Padjadjaran, Yoni Syukriani yang menjelaskan peran tes DNA dalam pengungkapan suatu kasus kejahatan, termasuk kasus pembunuhan seperti yang dialami Brigadir Yosua.
Baca juga: Melihat Peran Suami dalam Upaya Penurunan Angka Kematian Ibu
Tulisan berjudul “Pakar Menjawab: bagaimana tes DNA bisa membantu polisi usut pembunuhan seperti kasus Brigadir Yosua?” dibuka oleh perkembangan keberhasilan Mabes Polri mengungkap fakta demi fakta dalam kasus tersebut. Mulai dari penetapan tersangka dan jejak DNA dalam pengungkapan temuan fakta di lokasi kejadian.
Berikut penjelasaan Yoni tentang Bagaimana DNA berperan dalam mendukung pengungkapan kasus kejahatan, yang ditulis oleh Ahmad Nurhasim.
Yoni mengatakan, DNA adalah tanda biologis yang bisa menunjukkan apakah seseorang di lokasi tertentu atau memegang sesuatu. Dalam kasus pemerkosaan, kata dia, jika DNA pelaku ditemukan di tubuh atau pakaian korban, maka itu bisa menunjukkan pelaku.
“Di luar kasus pemerkosaan, DNA itu sebagai bukti petunjuk saja,” kata Yoni dalam laman tersebut.
Maksudnya bukti petunjuk adalah pemilik DNA itu pernah hadir di situ dan belum tentu dia terlibat dalam kejahatan. Perlu ada bukti lain, misalnya kesaksian, pengakuan, rekaman CCTV atau bukti lainnya, yang membuktikan bahwa pemilik DNA itu terlibat dalam kejahatan.
Baca juga: Harapan Hidup Sehat Rendah dan Kesenjangan jadi Tantangan Indonesia
Dalam kasus pembunuhan, DNA orang-orang yang pernah hadir di lokasi tempat korban tewas bisa ditemukan pada barang-barang di lokasi itu. Bisa juga DNA ditemukan pada pada benda-benda tertentu yang terkait langsung dengan kejahatan seperti di pistol dan selongsong peluru.
Saat seseorang atau pelaku secara sengaja atau tidak sengaja menyentuhkan kulitnya pada benda-benda sekitarnya, maka terjadi transfer jejak bukti (trace evidence) DNA melalui sel kulit yang lepas ke benda tersebut.
Pelepasan kulit terluar bisa terjadi karena rata-rata pada manusia ada proses perubahan sel lama ke sel yang baru dalam jumlah besar yakni sekitar 400.000 sel kulit per hari. Kulit yang lepas itu, dalam ukuran mikro, mengandung sel epitel kulit, bercak keringat, sidik jari, dan kotoran.
Sel epitel itulah yang bisa menjadi bahan identifikasi DNA.
Kalau kejadiannya di rumah dinas, menurut Yoni, orang-orang yang pernah hadir bisa meninggalkan DNA pada barang-barang yang sering dipegang seperti pegangan pintu, tangga di rumah tersebut, dan benda-benda lainnya. DNA itu bisa milik tuan rumah, ajudan, pekerja rumah tangga atau orang lain yang kebetulan hadir di situ.
“DNA itu hanya mengatakan seseorang ada di situ atau pernah ke situ,” kata Yoni.
Walau DNA tidak bisa menunjukkan dengan pasti kapan seseorang di suatu lokasi, DNA bisa tertingal lama di situ.
“Bahkan kalau bendanya kering, DNA bisa menempel bertahun-tahun,” kata Yoni.
Baca juga: Mendorong Layanan Kesehatan Presisi Melalui BGSi
Di lokasi kejadian, sampel DNA diambil dengan mengusapkan cutton bud basah ke barang-barang yang diduga dipegang. Karena itu pemasangan garis polisi setelah kejadian kejahatan sangat penting agar tidak ada pihak yang merusak atau mencemari barang bukti di lokasi kejadian.
Untuk mengetahui siapa pemilik DNA yang tertinggal di tempat kejadian perkara (TKP), penyidik membandingkan dengan DNA orang-orang yang dicurigai atau memiliki akses ke lokasi kejadian.
Dalam penyelidikan kasus, polisi biasanya bertanya siapa yang punya akses ke lokasi kejadian. Kalau jarang ke sana, juga ditanya, kapan terakhir kali seseorang ke sana. Orang-orang yang punya akses itu yang diperiksa dan diambil sampel DNA-nya dari usapan rongga mulut atau darah.
Sampel DNA dari TKP kemudian dimasukkan di laboratorium untuk memisahkan DNA dari sel-sel lain. Setelah mendapatkan DNA murni, DNA ini dimasukkan mesin PCR untuk diambil DNA yang dibutuhkan atau bagian tertentu saja yang diduga terkait dengan kasus yang diselidiki.
Mesin PCR ini pula yang menggandakan DNA sehingga ukurannya lebih besar. Setelah itu baru DNA-nya diurutkan dengan mesin sequencing.
“Untuk menunjukkan seseorang hadir di lokasi kejadian, DNA harus identik 100% antara DNA di TKP dan DNA orang yang dibandingkan,” kata Yoni.
DNA orang-orang yang dicurigai juga diolah seperti DNA dari TKP.
Pengambilan sampel sampai pemeriksaan di laboratorium dilakukan oleh petugas terlatih untuk mendapatkan data DNA yang akurat dan kredibel.
Baca juga: IMUT, Inovasi Atasi Stunting dari Dua Kampus Sumut
Dalam kasus pembunuhan, sekali lagi, DNA hanya bukti petunjuk kehadiran seseorang di lokasi kejadian. Perlu ada ada bukti lain untuk menunjukkan bahwa seseorang itu pelaku.
Inspektur Jenderal Ferdy Sambo, pada awal kasus ini meledak menyatakan dia tidak terlibat kasus pembunuhan Brigadir Yosua dan saat kejadian sedang tidak di lokasi pembunuhan. Tapi belakangan terendus bahwa dia di lokasi kejadian, bahkan dia mengaku dialah yang merencanakan pembunuhan di rumah dinasnya.
Jadi, tak ada kejahatan yang sempurna. Setiap kejahatan selalu meninggalkan jejak DNA, termasuk kasus Inspektur Jenderal Ferdy Sambo.