EDISI.CO, OLAHRAGA- Setiap ajang Piala Dunia selalu memiliki momen-momen yang diingat banyak penggemar bola seperti mereka mengingat ketika pertama kali bertemu sosok yang dicintai atau peristiwa pembunuhan Kennedy.
Orang rasanya tidak akan pernah lupa bagaimana Zinedine Zidane menanduk dada Marco Materazzi hingga dia terjengkang pada laga final Piala Dunia 2006 antara Italia melawan Prancis.
Baca juga: Rashford: Saya Cetak Gol untuk Sahabat yang Meninggal Karena Kanker
Tapi pada Piala Dunia Qatar kali ini, kita belum yakin ada peristiwa apa yang lebih orang ingat ketimbang kejadian pada 2 Desember 2010 silam, tepat sepuluh tahun lalu di hari ini, jauh ketika turnamen sepak bola ini belum dimulai.
Kala itu Sepp Blater, presiden FIFA, berdiri di auditorium Zurich dan mengumumkan Qatar memenangkan seleksi menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022.
Meski saat itu semua orang tahu negara di tengah gurun Arab ini tidak punya infrastruktur pendukung untuk menjadi tuan rumah ajang sebesar Piala Dunia, seperti pariwisata yang memadai, stadion sepak bola, serta cuaca musim panas yang tidak nyaman untuk bertanding bola. Itulah momen ketika mata dunia melihat Piala Dunia kali ini semerbak dengan aroma korupsi.
Baca juga: Piala Dunia 2022: Kocak! Pelatih Ghana Ajak Selfie Son Heung-min saat Nangis
Mengutip the New York Times, Jumat (2/12), pengumuman saat itu menjadi sejarah penentu bagi Qatar di panggung dunia. Tapi justru karena negara kecil itu memang jelas tidak layak menjadi tuan rumah, maka kemenangan Qatar menjadi penanda sebuah era baru tentang betapa korupnya badan sepak bola dunia FIFA. Para pejabat FIFA yang terlibat dalam pengambilan keputusan itu di kemudian hari didakwa, dikenakan sanksi oleh badan sepak bola karena melanggar aturan atau dituduh korupsi.
Tapi korupsi sejatinya adalah soal sistem, bukan hanya individu yang bermental korup saja.
Semua kembali pada masa ketika Juni 2009. Qatar, sebuah negara kecil di tengah gurun, memutuskan untuk mengajukan diri sebagai tuan rumah Piala Dunia. Tapi mereka harus meyakinkan mayoritas pejabat di dewan FIFA, yang saat itu beranggotakan laki-laki dan perempuan dari enam badan sepak bola di masing-masing benua.
Seharusnya ada 24 anggota dewan, tapi dua di antaranya dikeluarkan setelah ada laporan dari koran London, Sunday Times, tentang mereka yang berencana menjual suaranya.
Baca juga: Avatar: The Way of Water Tayang di China Bulan Depan, di Indonesia Kapan?
2 Desember 2010. Semua mata tertuju ke ruang auditorium Zurich. Pemungutan suara digelar dan sesaat kemudian Sepp Blater, presiden FIFA kala itu, membuka amplop berisi nama negara. Qatar menang jadi tuan rumah.
Qatar punya semua alasan untuk tidak layak menjadi tuan rumah. Negara itu bukan saja tidak punya stadion bola, tapi infrastruktur pendukung seperti kereta, hotel, stasiun transit dan sebagainya juga tidak ada.
Dan Qatar mengajukan diri turnamen ini digelar pada Juni dan Juli. Sementara inspektur teknis FIFA mengatakan cuaca di bulan itu berisiko bagi kesehatan para pemain, penonton dan panitia. Tapi FIFA tetap memilih Qatar.
Satu dasawarsa kemudian, hampir semua anggota dewan FIFA yang memilih Qatar terindikasi korupsi atau dilarang oleh badan sepak bola karena melanggar kode etik aturan atau menghadapi tuntutan korupsi. Semua dakwaan dan sanksi itu adalah hasil dari penyelidikan di sejumlah negara.
Prancis menyoroti sebuah pertemuan pada November 2010, sembilan hari sebelum pemungutan suara, di Elysee Palace, kantor kepresidenan Prancis.
Di ruangan itu ada Putra Mahkota Pangeran Sheikh Tamim dari Qatar, saat ini adalah Emir; perdana menteri Qatar, dua pejabat pemerintah Prancis, dan Michel Platini, kepala badan sepak bola Eropa. Beberapa bulan kemudian, Platini mengatakan dia berharap negara lain jadi tuan rumah tapi Qatar yang akan menang dan dia kemudian mengatakan kepada Nicolas Sarkozy, presiden Prancis waktu itu, bahwa dia sudah memilih Qatar.
Platini punya pengaruh besar dalam pemungutan suara anggota badan sepak bola Eropa di komite eksekutif FIFA.
Dan kemudian Qatar sepakat membeli Paris Saint-Germain, klub sepak bola Prancis itu levelnya biasa-biasa saja pada saat itu, tapi kini PSG menjadi kumpulan para bintang. BeIn sports, kala itu masih berupa stasiun televisi daerah di Timur Tengah, mulai menjangkau hingga Eropa dan menggelontorkan jutaan euro ke liga Prancis dan negara Eropa lainnya.
Tak lama setelah itu Prancis menjual miliaran dolar pesawat militer Rafale dan Airbus ke Qatar. Hubungan bisnis kedua negara kian melesat sejak itu.
Dan contoh kejadian lain yaitu dakwaan dari Amerika Serikat pada 2019. Tidak terkait dengan pertemuan di Prancis memang. AS menyebut tiga pejabat badan sepak bola Amerika, dari Brasil, Argentina, dan Paraguay, menerima sejumlah uang untuk memilih Qatar. Tidak disebut berapa besar uang itu dan dari siapa. Qatar kemudian membantah tudingan ini.
Korupsi sebetulnya bukan sesuatu yang terjadi karena hanya sosok yang buruk mengambil keputusan. Korupsi terjadi karena sistem yang korup menuntut terjadinya korupsi, mendorong perbuatan kotor itu. Kondisi membuat orang berpikir mereka harus ikut korupsi karena itu satu-satunya pilihan.
Sistem FIFA menciptakan kondisi itu. Dan itu sudah berlangsung selama empat dasawarsa.
Sistem itu mengatakan hanya 211 anggota FIFA dan sang presiden FIFA yang dipilih yang punya suara menentukan. Sebagian besar dari mereka mewakili negara yang bukan saja kecil tapi tidak punya pengaruh besar dalam sepak bola dunia. Tapi satu anggota punya satu suara. Dan itu adalah kekuasaan yang luar biasa besar bagi setia negara kecil.
Kemudian setiap negara itu bisa bergabung. Karibia punya banyak negara pulau kecil dan 37 dari mereka bergabung dalam Serikat Sepak Bola Karibia. Jika mereka memilih dalam satu blok gabungan maka itu menjadikan mereka salah satu suara paling banyak.
Dan sistem satu anggota satu suara itu masih berlaku sampai sekarang. Meski AS sudah mengeluarkan dakwaan tapi FIFA belum berubah.
Sang presiden yang berkuasa penuh masih bertahan. Sistem satu anggota satu suara masih berlaku, Sistem komite masih ada. Dan AS kelihatannya sudah tidak tertarik lagi mengajukan gugatan. Karena apa? Tebak saja siapa yang akan jadi tuan rumah Piala Dunia 2026 berikutnya.
Qatar hanya menjalankan permainan yang sudah dimainkan banyak orang. Siapa pun yang akan menang tidak akan menang secara bersih. Bahkan mungkin tidak pernah ada kemenangan yang benar-benar bersih.