EDISI.CO, PESISIR– Suatu ketika, di satu pagi yang muram, saya terbangun dari lelap kemudian mendapati diri saya berada di suatu tempat yang tak saya kenali lagi. Padahal ketika saya akan beranjak tidur malam harinya, semua masih nampak seperti biasa-biasa saja.
Saya merenung sejenak lalu sambil tertatih bergerak melihat keadaan luar.
Saya begitu takjub dengan apa yang saya dapati di luar, hiruk pikuk manusia, lalu lalang kendaraan, rumah-rumah mewah dengan tembok yang tinggi serta gedung-gedung yang hampir-hampir saja menjolok langit, menjadi satu harmonisasi yang kemudian disebut kemajuan.
Saya begitu sumringah dengan apa yang baru saya saksikan tadi. Kemudian saya mencoba melihat lebih jauh, memahami lebih dalam atas apa yang telah terjadi.
Saya dapati bahwa di sini sejak 50 tahun yang lalu memang telah dimulai sebuah pembangunan ambisius yang dikatakan menyamai Houston sebuah kota di Amerika Serikat. Kota ini juga dibangun guna menyaingi sebuah negara maju yang merupakan tetangga kota ini.
Kota ini dijadikan sebagai kota industri. Untuk itu dibangunlah sarana sarana penunjang industrialisasi serta pusat perbelanjaan. Jalan-jalan dibangun dengan kualitas yang sama dengan Singapura yang sudah barang tentu merupakan yang terbaik di Indonesia.
Pelabuhan-pelabuhan dibangun dengan kapasitas muat hingga ribuan ton barang. Begitu juga bandara dengan kemampuan mendaratkan beberapa pesawat jenis Airbus telah direncanakan.
Air, listrik yang merupakan syarat utama industri serta kebutuhan hidup orang-orang di dalamnya juga dibangun secara modern.
Orang-orang di kota ini hidup dengan cara yang sama dengan kota-kota modern di belahan dunia lain. McDonald, KFC dan Starbuck selalu sibuk melayani pelanggan yang datang. Lebih dari 7 pusat perbelanjaan besar dibangun untuk memenuhi hasrat konsumsi kota yang memiliki 1,3 juta lebih penduduk ini.
Baca juga: Industri Kapal Tambelan Tahun 1900, Catatan dari Cecil Boden Kloos
Bioskop-bioskop selalu ramai khususnya akhir pekan untuk menyaksikan film terbaru. Tiap hari, jalanan selalu penuh oleh motor dan mobil serta hingar-bingar klakson menambah riuh rendah kota ini.
Kota ini begitu cepat tumbuh, bahkan batu bisa tumbuh hingga ratusan meter menjulang ke atas. Di sini, orang-orang memang tidak menanam pohon, tetapi menanam batu, karena lebih bermanfaat secara ekonomis.
Setelah seharian berkeliling di kota yang “asing” ini, saya pulang dan terlelap karena begitu lelah.
Keesokan harinya, ketika saya terbangun kembali, dengan tergesa saya bergegas dari tempat tidur. Ada semangat yang besar untuk kembali berkeliling melihat apa yang saksikan kemarin.
Saya keluar untuk memulai petualangan. Tapi apa yang saya dapati kali ini sungguh sangat berbeda. Dengan agak kebingungan saya bertanya dalam hati, kemanakah kota modern yang saya saksikan kemarin, mungkinkah lenyap hanya dalam waktu semalam? Dengan terus membawa kebingungan ini, saya memulai langkah.
Saya mencoba memahami kembali atas apa yang terjadi. Kemudian saya mendapati bahwa tempat ini merupakan bagian lain dari kota yang saya saksikan kemarin. Keadaannya sungguh sangat berbeda, tidak ada gedung. Rumah-rumah dibangun sangat sederhana dengan bahan dasar kayu.
Orang-orang di sini pergi kerja tidak dengan mobil maupun motor, tetapi dengan pompong ataupun sampan. Pekerjaannya pun tidak di kantor kantor dengan jas maupun dasi akan tetapi di laut sebagai nelayan. Pekerjaan yang dilakukan hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, bukan untuk menumpuk kapital seperti di kota.
Air diambil dari sumur. Listrik hanya menyala waktu malam hari.
Di sini, bahan pokok untuk pemenuhan kehidupan sehari-hari tergantung pada kota dengan biaya yang sedikit lebih mahal tentu saja. Keadaan tetap sama dengan 50 tahun lalu. Bahkan bisa jadi lebih sulit. Kalau dahulu cukup mudah mendapat hasil dari laut, sekarang kenyataannya lebih sulit. Turun ke laut belum tentu mendapat hasil.
Orang-orang di sini hanya bisa melihat kemajuan di kota dengan tanpa harap. Barangkali mereka turut berbangga dengan kemajuan kota.
Ada juga orang-orang kampung yang mengadu nasib ke kota berharap hidup yang lebih baik. Ada yang berhasil tapi tak sedikit yang gagal. Yang berhasil akan menetap dan menjadi warga kota, sedangkan yang gagal akan pulang kembali ke desa. Sebagian gagal yang lain juga ada yang tetap bertahan di kota.
Kota menjadi tempat yang asing nun jauh bagi orang-orang desa. Tentu saja ini bukan dalam hal jarak, tetapi dalam hal kesempatan untuk menjadi sukses seperti orang orang kota itu sendiri.
Karakter kota yang begitu cepat berubah menjadi kendala tersendiri bagi orang-orang desa yang bergerak perlahan. Mereka harus bisa menyesuaikan diri agar bisa bertahan di tengah kemajuan kota. Mereka yang lambat bergerak akan digilas oleh perubahan itu sendiri.
Waktu memang tidak akan pernah mau menunggu untuk mereka berubah. Waktu begitu cepat berlalu, atau mungkin mereka yang begitu lamban bergerak sehingga tertinggal olehnya. Tapi untuk sebagian orang keadaan masih tampak sama. Masih bergulat dengan persoalan perut.
Kali ini agak lama saya tercenung menunggu terlelap. Barangkali akan ada perubahan terhadap orang-orang desa ini. Tidak ketika saya bangun esok pagi, mungkin untuk 50 tahun yang akan datang. Semoga saja.
Tulisan ini dibuat oleh Lukmanul Hakim. Sebelumnya sudah tayang di laman suarakite.com pada 14 Agustus 2020.