Husen Rifai, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan Kevin M. Lukman, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
EDISI.CO, NASIONAL- Padang lamun merupakan suatu ekosistem perairan dangkal yang menjadi tempat hidup bagi berbagai jenis tumbuhan laut berbunga serta beragam jenis ikan, kerang, penyu, kuda laut dan dugong.
Ekosistem ini terbukti secara saintifik mampu memberikan banyak manfaat yang sangat penting bagi kelangsungan kehidupan manusia dan berbagai makhluk laut, seperti menjernihkan perairan, mencegah sedimentasi, melindungi pantai dari gelombang ekstrem, hingga menjadi sarana rekreasi.
Sayangnya, meskipun menyediakan banyak manfaat, ekosistem lamun masih kalah populer dibandingkan ekosistem pesisir lainnya seperti hutan mangrove dan terumbu karang. Ekosistem lamun juga masih menjadi “anak tiri” dalam penelitian dan strategi perlindungan ekosistem di tingkat global.
Di Indonesia, masih belum ada program tingkat nasional yang khusus melindungi ekosistem lamun. Kenyataan ini sangat menyedihkan mengingat Indonesia adalah rumah terbesar ekosistem lamun dunia. Padahal, sejak 1960-an, luas tutupan lamun di Indonesia diperkirakan sudah berkurang hingga 30-40% akibat ekspansi budi daya perikanan dan pembangunan pesisir.
Pemerintah semestinya memasukkan program restorasi lamun sebagai prioritas nasional. Melalui riset terbaru yang terbit di jurnal Ambio: A Journal of Environment and Society, saya bersama kolega dari dalam dan luar negeri memaparkan lima alasan mengapa pemulihan ekosistem lamun di Indonesia layak menjadi solusi berbasis alam untuk mengatasi dampak perubahan iklim dan persoalan lingkungan lainnya.
1. Memberdayakan dan menyadarkan warga sekitar
Pelaksanaan program restorasi lamun di tingkat nasional dapat memicu peningkatan kesadaran masyarakat, terutama warga setempat seputar pentingnya ekosistem lamun bagi kehidupan manusia.
Kesadaran masyarakat adalah faktor yang vital bagi keberhasilan perlindungan dan restorasi lamun. Riset terbaru saya menggarisbawahi kurangnya kesadaran masyarakat terhadap manfaat lamun sebagai salah satu ancaman terbesar konservasi ekosistem ini.
Di Kepulauan Karimunjawa, misalnya, riset kami menemukan warga setempat masih kurang mengetahui peran lamun dalam menjaga kualitas perairan, penyerap karbon, penjaga abrasi, dan habitat bagi makhluk pesisir.
Akhirnya, lamun dianggap sebagai ekosistem yang ‘boleh’’ dirambah ataupun dicemari. Per 2019, ada sekitar 30-59% dari total ekosistem lamun 30-59% yang berstatus rusak atau kurang sehat .
Implementasi program restorasi yang melibatkan masyarakat lokal kami yakini dapat merubah keadaan ini. Warga yang telah mendapat sosialisasi dan menyadari pentingnya jasa ekosistem lamun akan termotivasi untuk bahu-membahu melindungi lamun dan berpartisipasi memulihkannya sehingga mereka berpeluang mendapatkan manfaat lingkungan maupun ekonomi dari aktivitas ini.
Kebijakan restorasi di tingkat nasional juga dapat memantik perhatian global terhadap lamun Indonesia. Hal ini terjadi pada kebijakan pemulihan mangrove nasional yang dimulai sejak 2019. Pada akhirnya, perhatian ini dapat membuahkan strategi perlindungan yang lebih kuat serta anggaran yang lebih besar.
2. Meredam dan mengatasi dampak perubahan iklim
Para peneliti memperkirakan kawasan lamun Indonesia mencapai 875 ribu ha, tapi hanya 294 ribu ha yang sejauh ini sudah divalidasi.
Berdasarkan studi terbaru dari peneliti berbagai negara, padang lamun di Indonesia ditaksir menyimpan 368.5 Tera gram Karbon atau 2% simpanan karbon di lingkungan pesisir dan laut global.
Hasil studi tersebut membuat padang lamun kita sangat penting untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sekaligus memperlambat laju perubahan iklim.
Indonesia memiliki target pengurangan emisi nasional sebesar 31,8-43,2% pada 2030. Target ini masih bisa ditingkatkan apabila pemerintah memasukkan aksi pelestarian dan pemulihan ekosistem lamun dalam target iklim Indonesia.
Sebaliknya, jika tidak ada aksi pelestarian dan pemulihan yang masif, penurunan luasan habitat lamun sebesar 2-5% per tahun bisa terjadi di Indonesia.
3. Program berskala luas dan melibatkan banyak lembaga
Seperti halnya program restorasi gambut yang diterbitkan Presiden Joko Widodo sejak 2016,] program restorasi lamun seyogianya memungkinkan anggaran khusus perlindungan lamun, dilaksanakannya kebijakan pengelolaan lamun di tingkat pusat maupun daerah, dan peningkatan sumber daya manusia serta penelitian terkait. Program restorasi juga dapat dilakukan dengan skala yang lebih luas dengan dukungan anggaran dari pemerintah.
Program restorasi ekosistem padang lamun dapat mendorong koordinasi yang lebih baik antarlembaga. Di Indonesia, sejak 36 tahun silam baru ada 22 proyek restorasi lamun. Pelaksanaannya tersebar di banyak lembaga, tapi terbatas di suatu area. Efektivitasnya pun tidak terpantau.
Di sisi lain, koordinasi dari berbagai pemangku kepentingan sangat dibutuhkan karena restorasi padang lamun membutuhkan kerjasama dari berbagai bidang ilmu keahlian dan dukungan dari berbagai lembaga pemerintah agar tercipta suatu program konservasi lingkungan yang berkelanjutan.
Indonesia dapat belajar dari Australia. Melalui koordinasi yang apik, Negeri Kangguru ini sukses memulihkan lamun tak hanya dengan menanam kembali, tapi juga memfokuskan interaksi antarspesies penghuni kawasan lamun dan hubungannya dengan ekosistem lainnya seperti mangrove.
Koordinasi antarlembaga, selain untuk menyukseskan pemulihan lamun, juga bisa diselaraskan untuk memenuhi program lainnya seperti pencegahan bencana. Lamun dapat menjadi sistem pendukung yang membantu infrastruktur fisik seperti tanggul untuk mencegah abrasi ataupun erosi.
4. Program ekonomis tapi berdampak
Pemulihan lamun yang mencakup perencanaan, penanaman, pemantauan, dan sebagainya diperkirakan memakan biaya sekitar US$700 ribu (Rp10,4 miliar ) per ha. Angka ini jauh lebih murah dibandingkan ongkos restorasi karang sekitar US$3 juta (Rp44,9 miliar) per ha.
Biaya tersebut juga masih bisa dikurangi jika restorasi dilaksanakan di negara-negara berkembang yang memiliki ongkos tenaga kerja yang jauh lebih murah dibandingkan negara maju. Selain itu, aksi restorasi lamun yang memberdayakan masyarakat dan para relawan juga berpotensi menurunkan ongkos pemulihan lamun sekaligus memperkuat pemantauannya.
Di Kepulauan Sangkarang, Sulawesi Selatan, restorasi lamun seluas 600 m2 menelan biaya sekitar US$100 ribu(Rp1,5 miliar) untuk perencanaan, penanaman, dan pemantauan selama 3 tahun. Program yang dimulai sejak 2016 ini menggunakan metode transplantasi, yakni pengambilan tanaman lamun yang sehat untuk ditanam di lokasi tujuan.
Setelah 7 tahun dilaksanakan, usaha restorasi menuai hasil positif. Padang lamun yang pulih memancing satwa perairan untuk hidup di dalamnya, melindungi pantai dari erosi.
5. Mengembalikan keberagaman makhluk perairan
Sebagaimana saya jelaskan di atas, lamun yang pulih akan memicu kehidupan satwa perairan dan mengembalikan fungsi lamun terhadap lingkungan sekitarnya. Pada akhirnya, keanekaragaman hayati di ekosistem lamun turut menopang target Indonesia untuk menjaga biodiversitas laut.
Beberapa kegiatan restorasi di negara lain turut merekam dampak restorasi lamun bagi kehidupan sekitar. Misalnya, kesuksesan restorasi lamun sejak 2001 di pesisir timur Virginia, Amerika Serikat, memancing hewan laut bernilai ekonomis penting seperti ikan, kerang, dan kepiting untuk tinggal di dalamnya. Kemampuan lamun untuk menyimpan karbon dan nitrogen juga semakin meningkat.
Di Wakatobi, penanaman sekitar 4 ribu pohon oleh masyarakat di sepanjang sungai sejak 2017 berhasil menjaga kelestarian ekosistem lamun sehingga meningkatkan keberagaman organisme perairan di pesisir setempat.
Itulah lima alasan mengapa pemulihan padang lamun layak menjadi prioritas. Pemerintah seyogyanya memulai program restorasi seperti yang sudah dilakukan terhadap ekosistem gambut, mangrove, ataupun karang.. Kami meyakini, kelestarian ekosistem lamun di Indonesia akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan biodiversitas makhluk laut.
Husen Rifai, Research associate, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan Kevin M. Lukman, Marine Ecologist, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.