EDISI.CO, BATAM– Pemberian konsesi di perairan pesisir tidak boleh menimbulkan privatisasi, diskriminasi secara tidak langsung, menghilangkan hak tradisional yang bersifat turun temurun, dan mengancam penghidupan nelayan. Pernyataan tersebut disampaikan Penasehat Senior Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS) Gunawan. Dalam sharing session yang ditaja Jaring Nusa pada Jumat (18/8/2023) dengan tema reforma agraria, tinjauan atas kebijakan dan pengakuan ruang hidup masyarakat di pesisir, laut dan pulau kecil.
Dalam kesempatan tersebut, Gunawan mengatakan pemberian wilayah kelola wilayah pesisir, pengelolaannya tidak boleh mengabaikan hak individu, hak kolektif, hak masyarakat adat.
Kedaulatan rakyat yang mengarah kepada kemakmuran, tidak hanya sekadar wilayah kelolanya. Ia mendorong peran rakyat lebih bermakna dalam perencanaan dan pembentukan peraturan.
“Untuk mencapai tujuan kemakmuran rakyat, pendistribusian kembali pemilikan atas tanah dan pembatasan pemilikan luas tanah, sehingga penguasaan atau pemilikan tanah tidak terpusat pada sekelompok orang tertentu,” ujarnya seperti termuat dalam jaringnusa.id.
Sementara itu, Guru besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Nurhasan Ismail, menerangkan jika aturan yang menyangkut reforma agraria sudah memiliki ragam produk aturan. Namun sayangnya masih terjadi hambatan terkait dengan pengelolaannya.
“Jadi secara yuridis sebenarnya tidak ada persoalan. UUPA merupakan produk yang sudah baik dalam mengakomodir reforma agraria. Dalam praktiknya, masih menjadi hambatan, terangnya di laman yang sama.
Baca juga: Komnas HAM Minta Pihak Terkait tidak Kriminalisasi Warga Rempang dan Galang
Terkait dengan wilayah pesisir, laut dan pulau kecil masih terdapat hambatan-hambatan dalam pengelolaannya. Ia mendorong agar adanya kepastian hukum bagi masyarakat yang dalam beberapa kasus sering dibenturkan lintas kementerian antara ATR/BPN dan KKP.
Dalam tulisan ini, dipaparkan pengelolaan wilayah pesisir laut dan pulau kecil selama ini telah banyak menimbulkan konflik antar pelaku kepentingan dalam melakukan aktivitas pengelolaan dan pembangunannya.
Sedangkan pada konsideran TAP MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam disebutkan jika masalah utama dalam pengelolaan LH-SDA adalah eksploitasi berlebihan yang menyebabkan penurunan kualitas lingkungan dan ketimpangan struktur penguasaan pemilikan SDA.
Untuk itu perlu adanya upaya implementasi kebijakan pengakuan wilayah kelola rakyat melalui reforma agraria merupakan langkah strategis untuk mendorongkan perubahan struktur agraria di level komunitas/tapak.
Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika, mendorong untuk terus mengembangkan model reforma agraria pada pesisir, laut dan pulau kecil yang diakuinya masih bias darat.
“Model reforma agraria harus terus menerus dikembangkan, termasuk di pesisir laut dan pulau kecil. Tantangan kita kalau mendorong itu, jangan sampai terjebak hanya bias darat,” jelasnya di kegiatan tersebut.
Baca juga: Ancaman Rusaknya Lingkungan dan Struktur Sosial Masyarakat dari Rencana Pengembangan Pulau Rempang
“Sampai sekarang yang belum terlalu terkonsolidasi secara utuh bagaimana konteks gerakan nelayan terhadap hak-hak agrarianya.”
Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) Kasmita Widodo, menjelaskan jika wilayah ruang kelola di wilayah pesisir, laut dan pulau kecil masih kurang secara luasan.
“Tantangannya adalah untuk mengkonsolidasikan semua ruang wilayah kerja masyarakat untuk mengetahui wilayah pesisir dan pulau kecil,” ujarnya.
Widodo melanjutkan, secara umum, luas wilayah adat yang yang diakui berdasarkan data dari BRWA mencapai 26,9 juta hektar yang tersebar di 32 provinsi. Sebanyak 1.336 peta yang telah diakui. Sementara itu untuk sebaran di pesisir, laut dan pulau kecil hanya sekitar 5,59 juta hektar.