EDISI.CO, CATATAN EDISIAN– “Mau ke mana?” tanya seorang ayah, lantas anaknya menjawab, “Ke Gajah Mada yah.” Seorang pria bertanya, “Nanti kita jumpa di mana?”, “Di Ahmad Yani aja ya,” jawab temannya. “Rumahmu di mana nak?” tanya seorang guru, kemudian muridnya menjawab, “Di Jenderal Sudirman buk.” Seorang supir angkot bertanya, “Turun di mana kak?”, penumpangnya menjawab, “Sisingamangaraja bang.”
Sejak 2017, saya bermigrasi ke kota yang seorang pengemudi ojek online mengatakan kalau kepanjangannya adalah BAnyak Tamu Anak Medan. Ada pula yang memanjangkannya berupa kalimat motivasi ‘Bila Anda Tabah Akan Menang’. Apa pun kepanjangannya, semenjak ke mari, saya tidak pernah lagi mendengar obrolan yang melampirkan nama pahlawan dalam perbincangan sehar-sehari seperti di kota asal saya, Medan.
Ketiga jalan yang saya sebutkan pertama di atas merupakan sederetan nama pahlawan nasional yang juga ada di Batam. Jalan Gajah Mada, membentang dari Laluan Tuah Madani hingga Simpang Sei Harapan. Jalan Ahmad Yani, membentang dari Panbill Mall hingga Bundaran BP Batam. Jalan Jenderal Sudirman, membentang dari Bundaran Punggur hingga Laluan Tuah Madani.
Jalan keempat yang saya sebutkan di awal merupakan pahlawan dari Tanah Batak yang memang tidak dijumpai di Batam. Sebagai gantinya, saya menyetarakannya dengan beberapa tokoh melayu yang namanya diabadikan pada jalan seperti; Raja Haji Fisabilillah, Laksamana Bintan, dan Raja Isa. Lagi-lagi saya tidak mendengar nama mereka disebutkan seperti pada contoh perbincangan di atas.
Bila diamati, kebanyakan jalan di Batam sudah memiliki plang nama bonus dengan kode posnya. Pada plang persegi panjang, berlatar hijau, dengan font yang berwarna putih tersebut dapat ditemui sederet nama pahlawan, baik nasional maupun kebanggaan Tanah Melayu.
Batam yang merupakan kota kepulauan, terdiri dari Pulau Batam sebagai mainland-nya, sedang Pulau Rempang, Pulau Galang, dan beberapa pulau lain jadi hinterland-nya. Gugusan pulau tersebut dihubungkan oleh enam jembatan yang dirancang oleh presiden ketiga Republik Indonesa, B.J. Habibie.
Sederetan nama tokoh melayu telah tersemat pada keenam jembatan tersebut, dan diperlakukan sama dengan jalan-jalan yang ada di Batam, yakni sama-sama ditancapkan plang nama. Pertanyaan mendasarnya, apakah kita membaca sederetan nama yang terpampang di jalan dan jembatan tersebut saat melaluinya? Lalu memperkenalkannya pada keluarga atau orang terdekat? Atau kita lebih merelakan namanya lekang oleh waktu?
Faktanya, masyarakat Batam lebih terbiasanya menyebutkan ‘Jembatan Satu’ untuk jembatan yang pertama didapat dari Pulau Batam, dan ‘Jembatan Enam’ untuk yang paling ujung. Apakah kita lebih memilih ‘kepraktisan’ dari pada mengenal nama pahlawan? Atau jangan-jangan hafalan kita sudah dipadati sederetan bintang film dari luar negeri?
Jembatan satu sudah dianggap sebagai Iconic Batam, sampai-sampai orang merasa belum ke Batam kalau belum mengabadikan kenangan di jembatan yang katanya menyerupai Golden Gate di San Fransisco. Jembatan satu disebut juga Jembatan Barelang, meski sebenarnya keenam jembatan tersebut bisa saja disebut Barelang, sebab Barelang merupakan akronim dari Batam – Rempang – Galang, namun kata ‘Jembatan Barelang’ yang gambarnya bisa kita temui pada kaos oleh-oleh Batam lebih sering ditujukan ke Jembatan Satu, mungkin karena bentuknya yang khas, lebih panjang, dan lebih megah.
Kehilafan kita adalah ‘Membenarkan yang biasa’, bukan ‘Membiasakan yang benar’. Sepengamatan saya, jika peristiwa di atas terus dilestarikan, kelak akan menambah sederetan ‘Daftar Nama Orang Hilang’ di ingatan kita dan generasi mendatang yang kelak akan melanjutkan estafet pembangunan Batam. Tentunya pembangunan tidak melulu mengenai infrastruktur, manusianya tidak kalah penting. Termasuk dalam memahami dan menghargai sejarah, juga mengenang jasa para pahlawan.
Bagaimana hendak mengenang? Bila kenal saja tidak. Saya ambil contoh dari salah satu pengalaman saya. Selama menjadi guru SMA di beberapa sekolah, saya sering menguji beberapa siswa terkait nama dan lokasi jalan di Batam. Dari 10 siswa, 9 dari mereka pernah bahkan sering melewati jalan yang dimaksud namun tidak mengetahui namanya, hanya 1 yang mengetahuinya. Untuk anak yang baru pindah ke Batam, masih bisa diberi pengecualian, tapi bagaimana denga mereka yang ari-arinya di kubur di kota ini?
Mengenang jasa pahlawan tidak hanya sekedar tunduk saat dilantunkan lagu ‘Mengheningkan Cipta’. Tapi bermula dari mengetahui nama tokoh atau pahlawan, setelah itu kita mencari tahu teladan apa yang telah diperbuatnya untuk negeri dan daerah yang sedang kita diami. Tidak cukup sampai di situ, muaranya kita mengamalkan tindakan mereka yang dapat kita sesuaikan dengan konteks terkini.
Ketika menyebut nama Raja Ali Haji, ulama, penyair, pahlawan nasional asal Kepulauan Riau, saya masih menemukan orang yang tidak mengetahui siapa beliau. Padahal sejarah telah membuktikan kalau pencipta Gurindam 12 tersebut dijuluki Bapak Bahasa Indonesia karena perannya sebagai peletak dasar bahasa Indonesia, bahasa pemersatu yang kita gunakan saat ini.
Syukurnya pemerintah daerah telah membuat Museum Raja Ali Haji di Batam sehingga nama beliau lebih diketahui khalayak ramai. Sebagai manusia abad ini, apa yang bisa kita lakukan untuk meneruskan perjuangan beliau? Di tengah derasnya arus globalisasi, di saat negara lain melakukan ekspansi budaya, termasuk bahasa, jangan sampai kita kehilangan identitas, salah satunya dengan melestarikan bahasa Indonesia.
Menyikapi selogan bulan kemerdekaan tahun ini ‘Terus Melaju Untuk Indonesia Maju’, jangan sampai cara kita dalam menyikapi sejarah malah melangkah mundur. Bukankah kita sepakat dengan kata-kata presiden pertama negara ini bahwa ‘Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya’, jadi sudah seharusnya kemajuan peradaban berjalan seiring dengan pemahaman sejarah. Sebab keberadaan kita saat ini tidak terlepas dari mereka yang pernah ada di masa lalu, dan apa yang kita perbuat saat ini akan berpengaruh bagi generasi mendatang.
Maka dari itu, saya mengajak diri sendiri dan kita semua agar terbiasa menghadirkan nama pahlawan seperti pada perbincangan yang saya sebutkan di awal, baik itu pahlawan nasiona maupun daerah. Mungkin kita tidak bisa membalas berbagai jasa mereka secara maksimal, namun seminimalnya kita berupaya untuk mengenalnya. Jika sudah mashur dengan pepatah ‘Tak Kenal Maka Tak Sayang’, mari kita terapkan!
Agar mempermudah kita dalam mengingat berbagai tokoh melayu yang namanya ada pada enam jembatan iconic Kota Batam, saya menawarkan jembatan keledai berupa ‘TENAR SUTRA’. Bila diurutkan dari jembatan pertama, itu merupakan singkatan dari; TEngku fisabilillah, Nara singa 2, Raja ali haji, Sultan zainal abidin, Tuanku tambusai, dan RAja kecik. Filosofi terpilihnya kedua kata barusan mungkin agak berlebihan, sebab saya menyandingkan jalan yang dihubungkan oleh keenam jembatan tersebut TENAR karena peran dan fungsinya seperti jalur SUTRA.
Guru sebagai ujung tombak pendidikan, khususnya guru sejarah, sudah sepatutnya mengambil peran pada gejala ‘krisis sejarah’ tersebut. Saya yang tidak punya kuasa ini, mengingatkan para pendidik agar tidak bosan-bosannya dalam menanamkan nilai-nilai sejarah kepada para siswa, termasuk membiasakan apa yang telah saya sebutkan sebelumnya. Saya berkata demikian karena saya juga menerapkannya kepada siswa-siswi yang pernah saya ajar. Upaya lain yang telah saya lakukan yakni memperkenalkan mereka Nong Isa dan Raja Ali Haji lewat ziarah kubur. Sekali lagi saya kutip pesan Bung Karno, ‘Jas Merah!’
Radio sebagai bagian dari dunia penyiaran juga bisa mengambil kontribusi. Di tempat asal saya, ada salah satu radio swasta yang membuat kuis berhadiah. Dalam sesi tersebut penyiar bercerita sekan-akan ia sedang dalam perjalanan, “Dari simpang Iskandar Muda, saya bergerak ke arah selatan, setelah menemukan simpang empat saya berbelok ke kanan, sedang di jalan apakah saya?”, kemudian penelepon menjawabnya. Atau penyiar menyebutkan beberapa nama gedung, lalu penelpon menyebutkan nama jalan tempat keberadaan gedung tersebut.
Menurut saya konsep tersebut bisa diadopsi oleh radio yang ada di Batam. Kendati demikian, saya mengaku bangga kepada beberapa radio di batam yang telah berupaya menyajikan asal-usul beberapa nama tempat di Batam seperti; Batu Besar, Batu Aji, Nongsa, dan lain sebagainya.
Dalam keterbatasan ini, saya tidak bisa menjabarkan peran semua pihak, yang jelas kita semua bisa mengambil peran dan saling berkolobarasi. Tidak butuh modal besar untuk melakukannya, namun dibutuhkan tekat yang besar agar kelak nama para pahlawan kita berterbangan dari satu mulut ke telinga yang lain.
Terkait modal, dalam hal ini anggaran, saya mengusulkan agar pemerintah daerah melalui Dinas Pendidikan dan Kebudyaan, Dinas Kepariwisataan, dan Dinas Perhubungan agar beberapa jalan di Batam diberikan seperti meeting point, yang mana pada titik tersebut disediakan spot informasi yang menampilkan gambar pahlawan lengkap dengan deskripsinya. Atau jika ingin melibatkan karya seniman, bisa juga dibuat patung lengkap dengan prasasti yang isinya mengenai riwayat singkat pahlawan terkait.
Alternatif lain, bisa juga menggunakan mural. Agar lebih estetik, bisa diberikan pencahayaan. Selain sebagai sarana edukasi, juga akan jadi daya tarik bagi wisatawan untuk berfoto.
Hemat saya, penentuan meeting point tersebut tidak harus seragam. Bisa di halte, taman kota, dan sebagainya, yang jelas pada tempat yang sering dilalui orang banyak dan membuatnnya jadi pusat perhatian. Misal, karena di Jalan Engku Putri ada Dataran Engku Putri, mungkin di taman kota tersebut bisa dibuat spot informasi mengenai perempuan yang pernah menerima Pulau Penyengat sebagai maskawinnya.
Sebagai langkah awal, mungkin bisa dimulai dari beberapa jalan, kemudian disusul di waktu mendatang. Sebagai contoh, di jalan ‘Raja Isa’ atau yang sering disebut dengan ‘Nong Isa’, yakni amir pertama Batam, sehingga kepemimpinannya ditetapkan sebagai tonggak awal sejarah lahirnya Kota Batam. Alasan saya memberi contoh beliau, karena saya masih banyak menemukan orang yang tidak tahu siapa Nong Isa dan apa perannya bagi Batam. Sementara kita, terus saja meminum air, menghirup udara, menginjak tanah dari wilayah yang pernah beliau pimpin ini.
Penulis: Taring
*Taring adalah nama pena penulis, semula merupakan nama rimba yang ia dapat di lembah antara Gunung Sibayak dan Gunung Pintau. Ia merupakan alumni State University of Medan, Jurusan Pendidikan Geografi. Ia yang mengaku sebagai penyuka sejarah, selain mengajar geografi, sesekali diberdayakan mengajar sejarah. Demi kemajuan dunia literasi, ia mendirikan home liblary bernama Selter Merbabu.