Sangat menarik melihat ungkapan Tolstoy ini ketika membedah perilaku masyarakat miskin pesisir. Mereka yang tersingkir dari arus kehidupan modernisasi, globalisasi. Kata yang begitu fasih kita ucapkan, yang kadang-kadang kurang kita pahami, kata itu nyatanya tak membuat mereka kehilangan rasa bahagia.
EDISI.CO, CATATAN EDISIAN– “If You Want to Be Happy, Be” Sebuah ungkapan menarik terlontar dari lisan Leo Tolstoy- seorang penulis kelas dunia. Kata-kata sederhana yang sarat makna, bisa menggerakkan.
Tak kurang banyak perubahan di dunia yang dimulai dengan kata-kata. Tak sedikit pula para orator seperti Bung Karno, Malcom X, dan beberapa orator lain sangat lihai dalam urusan ini.
Apa yang menarik dari ungkapan Tolstoy ini? Sepertinya terlihat biasa saja. Juga terlihat tidak membangkitkan semangat, tidak memiliki daya magisnya.
Saat ini, kata-kata motivasi bagaimana menjadi sukses atau bagaimana menghasilkan banyak uang, jabatan dan yang bersifat materialistik lainnya lebih digandrungi. Kata-kata yang bertolak belakang dari materialistik sudah kalah dan tersingkir.
Sangat menarik melihat ungkapan Tolstoy ini ketika membedah perilaku masyarakat miskin pesisir. Mereka yang tersingkir dari arus kehidupan modernisasi, globalisasi. Kata yang begitu fasih kita ucapkan, yang kadang-kadang kurang kita pahami, kata itu nyatanya tak membuat mereka kehilangan rasa bahagia.
Cobalah tengok kehidupan mereka. Kemiskinan seakan sudah menjadi satu kesatuan dalam diri mereka. Tak usahlah muluk-muluk membicarakan tentang tabungan, mobil serta kemewahan kota lainnya. Memikirkan besok makan apa, sudah membuat pusing mereka.
Seperti yang telah dikatakan tadi, permasalahan itu tak membuat mereka tak bahagia. Mereka memiliki cara sendiri untuk bahagia. Duduk-duduk sambil menyesap segelas kopi dan rokok sudah membuat mereka bahagia. Berkumpul bersama sudah membuat bahagia, walaupun hanya untuk sesaat.
Begitu juga ketika bekerja, tidak ada tekanan yang signifikan untuk mencapai target tertentu. Mereka bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Turun ke laut jika persediaan kosong, dan ketika persediaan masih ada mereka hanya bersantai saja.
Ciri seperti ini, bangsa kolonial pada abad ke 16 dan 17 yang datang menjajah dianggap sebagai suatu kemalasan. Tentu pandangan ini hanya dilihat dari sudut pandang yang kapitalistik.
Benar juga apa yang dikatakan oleh Albert Camus-bagaimana caranya bahagia? ya bahagia saja. Hidup kalau hanya untuk mencari kebahagiaan kapan kita hidupnya? merupakan sesuatu yang absurd hidup untuk mencari kebahagiaan, begitulah camus mengajarkan.
Bandingkan dengan cara hidup orang perkotaan yang bergelut dengan modernisasi. Segala sesuatu diukur dengan material. Jika anda memiliki penghasilan yang standar saja, kemudian berjibaku dengan berbagai macam cicilan, entah itu rumah, mobil serta barang elektronik khas perkotaan pun tidak kurang membuat pusing. Hingga melupakan esensi yang paling penting dalam hidup, yaitu bahagia.
Perbandingan ini tidak serta merta membuat satu kelompok lebih bahagia dari yang lainnya. Masyarakat pesisir pun memiliki masalah yang sama dalam hal ekonomi. Tapi yang terpenting adalah kita bisa bahagia dengan cara hidup masing-masing. Barangkali di masyarakat miskin pesisirlah kita bisa menemukan Tolstoy dan Camus.
Sebagai penutup, ada sebuah cerita menarik yang sepertinya berkaitan dengan ungkapan Tolstoy maupun Camus.
Dongeng dari Negeri Pantai.
Suatu ketika seorang manajer, eksekutif muda bergelar M.B.A yang sedang berlibur di pantai, bertemu dengan seorang nelayan. Ia memperhatikan bahwa setiap kali si nelayan ini berhasil menangkap seekor ikan besar maka ia pun langsung pulang untuk menyantapnya bersama keluarganya. Selesai makan ia bersantai-santai dan bercengkerama dengan anak-anaknya.
Setelah itu ia pun pergi ke tetangganya untuk bermain catur. Sore hari ia pulang untuk minum teh. Lalu malamnya ia ngobrol bersama kawan-kawannya. Begitulah setiap hari ia menjalani kehidupannya.
Suatu hari si manajer yang penasaran ini menghampiri si nelayan ketika ia sedang bersantai-santai.
“Kenapa bapak tidak menangkap ikan lebih banyak?,” tanya si manajer.
“Buat apa?,” si nelayan yang gak pernah sekolah itu balik bertanya.
Kata si manajer “Ya supaya yang selebihnya bisa dijual lalu bisa membeli jaring yang lebih besar.”
“Kalau sudah punya jaring lebih besar terus buat apa?,” tanya nelayan lagi.
“Ya supaya bisa dapat ikan lebih banyak dan dijual. Uangnya bisa untuk membeli perahu,” si manajer menjawab.
Baca juga: Maksimal di Pra PON, ISSI Kepri Targetkan Medali di PON 2024 Aceh-Sumut
Nelayan kembali bertanya “Terus kalau sudah punya perahu buat apa?.”
“Supaya bisa menangkap ikan lebih banyak dan uang hasil penjualannya bisa untuk membeli kapal pukat harimau,” si manajer menjawab lagi.
”Kalau sudah punya kapal pukat harimau terus buat apa?,” lenayan kembali melanjutkan pertanyaan.
Jawab si manajer “Ya kamu bisa dapat ikan banyak, bisa punya uang banyak, beli rumah bagus, menyekolahkan anak-anak, bisa punya perusahaan sendiri.”
Pertanyaan kembali diajukan si nelayan “Terus kalau sudah punya perusahaan sendiri buat apa?.”
“Kamu bisa hidup tenang, santai-santai bersama keluarga, bahagia, menikmati hidup,” jawab manajer.
“Lalu apa bedanya dengan yang saya lakukan sekarang?,” tanya si nelayan lagi.
Jika kamu ingin bahagia, berbahagialah If You Want to Be Happy, Be
Tulisan ini sudah tayang sebelumnya di laman suarakite.com edisi 14 Agustus 2020
Penulis: Lukmanul H