EDISI.CO, NASIONAL– Sebanyak 130 organisasi masyarakat sipil dari Aceh sampai Papua telah menyampaikan desakan kepada pemerintah Indonesia, khususnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menghentikan proyek Rempang Eco-City, menghentikan pematokan dan penggusuran, serta mendesak kepolisian untuk membebaskan tanpa syarat puluhan warga yang ditangkap dan ditahan karena terlibat aksi menolak penggusuran pada 7 dan 11 September 2023.
Solidaritas Nasional untuk Rempang menilai bahwa apa yang dilakukan oleh pihak kepolisian pada tanggal 7 September 2023 lalu, telah memicu kemarahan masyarakat Indonesia secara nasional serta membuat masyarakat luas semakin tidak mempercayai pemerintahan saat ini yang lebih berpihak pada investor serta tidak melindungi sekaligus memuliakan hak-hak masyarakat sebagaimana dimandatkan oleh konstitusi Republik Indonesia.
Nafsu menggusur masyarakat Pulau Rempang tidak lepas dari langkah Jokowi yang telah bertemu dengan sejumlah CEO di negeri Tiongkok, pada penghujung Bulan Juli 2023. Dalam kesempatan ini Jokowi menandatangani Memorandum of Inderstanding (MoU) untuk membangun industri di Pulau Rempang, Kepulauan Riau. Masyarakat Indonesia patut mengecam langkah Jokowi tersebut karena di lapangan aparat kepolisian telah menggunakan kekerasan untuk mematok dan mengukur tanah di Pulau Rempang.
Proyek Strategis Nasional yang bermasalah
Direktur Eksekutif Nasional WALHI, Zenzi Suhadi, yang merupakan bagian dari gerakan Solidaritas Nasional untuk Rempang, menyebut bahwa proyek Rempang Eco-city merupakan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang sangat bermasalah. Pasalnya payung hukumnya baru disahkan pada tanggal 28 Agustsu 2023, melalui Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional.
“Proyek ini tidak pernah dikonsultasikan secara bermakna kepada masyarakat Rempang yang akan terdampak,” tegasnya seperti termuat dalam laman ylbhi.or.id
Baca juga: Gaduh tapi Acuh? Bagaimana Meramaikan Aktivisme Digital Berkualitas untuk Mendorong Perubahan Sosial
Ia menilai bahwa hampir dalam setiap Pembangunan PSN di Indonesia, pemerintah selalu melakukan mobilisasi aparat secara berlebihan yang berhadapan dengan masyarakat. Lebih jauh, dalam PSN, pengadaan tanahnya selalu merampas tanah masyarakat yang tidak pernah diberikan hak atas tanah oleh pemerintah.
Senada dengan itu, Ketua Advokasi dan Jaringan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Zainal Arifin, yang juga merupakan bagian dari gerakan Solidaritas Nasional untuk Rempang, menyebutkan bahwa pembangunan proyek Rempang Eco City memiliki sejumlah kecatatan serius, di antaranya tidak adanya Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) serta tak ada peruntukan ruang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
Bahkan, menurutnya, sertifikat Hak Pengelolaan Lahan (HPL) yang diberikan oleh Kementerian ATR/BPN kepada Badan Pengembangan (BP) Batam untuk mengelola Pulau Rempang sampai sekarang tidak dapat dibuktikan. Serta belum adanya pelepasan status kawasan hutan dari KLHK.
“Dalam pembangunan proyek Rempang Eco City, dapat dipastikan banyak kecacatan prosedur serta persoalan lingkungan hidup,” tegasnya.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika, yang merupakan bagian dari gerakan Solidaritas Nasional untuk Rempang, menjelaskan bahwa HPL merupakan jenis hak atas tanah yang baru. HPL dapat dipastikan tidak ada landasannya di dalam Undang-Undang Pokok Agraria. Meski demikian, HPL sangat kuat digunakan oleh pemerintah Jokowi untuk kepentingan Investasi.
Baca juga: Poltekkes Kemenkes Tanjungpinang Buka Kelas Internasional
“Ketika sebuah badan atau lembaga diberikan HPL, badan atau lembaga tersebut dapat bertransaksi dengan pihak ketiga untuk memberikan Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), bahkan Sertifikat Hak Milik (SHM). Di sinilah letak persoalan yang sangat berbahaya,” ungkapnya.
Seruan Solidaritas
Solidaritas Nasional untuk Rempang mengajak seluruh lapisan masyarakat Indonesia untuk terus membangun solidaritas terhadap masyarakat Pulau Rempang yang saat ini sedang berjuang untuk merebut hak mereka.
Solidaritas Nasional untuk Rempang menilai apa yang terjadi di Pulau Rempang menunjukkan kegagalan pemerintah menjalankan mandat konstitusi Republik Indonesia yang menyebutkan, tujuan pendirian negara adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa.
Selain itu, Solidaritas Nasional untuk Rempang menilai negara gagal menjalankan Pasal 33 yang menyebutkan bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.