EDISI.CO, BATAM– Ketika banyak orang berkata negara tidak hadir ketika hak rakyat kecil dirampas, Peneliti Sajogyo Institute, Eko Cahyono, justru berkata sebaliknya. Ia mengatakan negara justru hadir, namun dengan rupa antagonis.
Ada tiga alasan mendasar kenapa negara hadir dalam rupa antagonis atau pihak yang justru berlawanan dengan masyarakat dalam hal pembangunan, khusunya pada Proyek Strategis Nasional (PSN) seperti yang terjadi di Pulau Rempang dan daerah lain yang memiliki PSN.
Alasan pertama, negara tersandera dengan kepentingan di luar negara. Kondisi ini bisa memaksa negara menjadi antagonis.
“Kita sebut saja oligarki, dimana kekuatan ini basisnya adalah korporasi, dalam studi politik demokrasi itu disebut separatisme negara. Negara dikuasai oleh tujuan korporasi, memaksa negara untuk menjadi antagonis,” kata Cahyono.
Kedua, negara bersifat korup. Cahyono menjelaskan, pengertian korupsi adalah suatu kondisi yang mengubah tatanan ideal, kondisi yang tidak memungkinkan kondisi ideal itu terjadi. Korupsi juga berarti ketiadaan hukum yang membela hak publik. Pembiaran ketiadaan keadilan itu adalah sikap mengarah ke korup.
“Pembiaran ketiadaan pengaturan yang menjamin kebebasan publik itu adalah korupsi. Selama ini korupsi terlalu dominan dipakai untuk istilah ekonomi,” kata dia.
Seharusnya, situasi ideal yang diharapkan adalah negara mengutamakan rakyatnya dibanding kepentingan ekonomi. Terkait dengan rencana pengembangan Pulau Rempang, Kecamatan Galang, Batam saat ini, kata Cahyono, justru negara tidak mengutamakan rakyatnya. Hal itu menunjukkan proses watak negara yang korup, yang melakukan pembiaran situasi ideal tidak terwujud.
Baca juga: Komnas HAM Minta Relokasi Rempang Ditinjau Kembali, Ini Kata Menteri Bahlil
Alasan ketiga, wajah negara hadir dalam rupa antagonis bersumber dari adanya pengingkaran terhadap konstitusi. Hal itu terjadi bukan saja pada level hilir, tapi sejak di hulu. Negara mengabaikan hak dasar yang justru menjadi wujud suatu negara.
“Secara konstitusi negara tidak bisa hadir tanpa rakyatnya, negara hadir untuk mengatur kebutuhan rakyatnya. Dalam kasus Rempang (Rencana pengembangan Pulau Rempang) ada pengingkaran konstitusi negara, pengingkaran negara atas konstitusinya sendiri, yakni mengabaikan rakyat yang jadi pemilik negara itu sendiri. Ini jelas pengingkaran.
Cahyono melanjutkan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebetulnya sudah memberi petunjuk jelas bagaimana berkomunikasi dengan masyarakat saat ia menjadi kepala daerah di Kota Solo. Bagaimana ia berkomunikasi sampai 34 kali dalam upaya mengajak masyarakat untuk pindah. Hasilnya ia berhasil mengajak masyarakat pindah dalam kegembiraan.
“Kenapa festival pindah di Solo tidak dijadikan rujukan, kurang humanis apa Jokowi saat itu. Dia ngajak makan semua warga pasar di Solo, diajak makan dan musyawarah, bahkan pindah itu jadi festival,” kata Cahyono lagi.