EDISI.CO, BATAM– Matahari 11 Oktober 2023 sore bersinar terik. Jalan tanah menuju Lubuk Lanjut, kampung pertama di Pulau Rempang gersang dan berdebu. Kerikil kecil menjadi sandungan motor tua yang penulis kendarai menyusuri jalan tanah itu, menimbulkan suara bising. Menandai kendaraan ini sudah renta, longgar di semua sisinya.
Lubuk Lanjut terletak di bibir pantai, antara Kampung Pasir Panjang dan Kampung Monggak. Secara administrasi berada dalam wilayah Kelurahan Rempang Cate, Kecamatan Galang, Batam.
Dengan motor tua ini, penulis membawa Pendi (52) warga Kampung Pasir Panjang. Ia memiliki ikatan kuat dengan Lubuk Lanjut. Pusara orangtuanya di sana, kakek dan neneknya juga. Pusara adik-berdik neneknya juga ada di sana, salah satunya menjadi pimpinan kampung, dulu dikenal dengan istilah Batin. Batin Lawan nama kerabat neneknya itu.
Kami melewati kawasan tambak udang yang masih beroperasi. Kebun yang berisi tanaman tua setelahnya. Pohon Durian dan Cempedak ada di sana.
Setelah sebelumnya menaiki bukit, membuat motor tua yang kami kendarai bergetar kencang, jalan kembali landai, lalu menurun. Sisi kiri jalan berjejer Pohon Pepaya.
Sebuah bangunan dengan dinding seng berwarga biru berada di sisi yang sama setelah turunan yang kami lalui. Kendaraan berhenti di situ. Di bagian depan masih ada jalan yang bisa dilalui kendaraan. Kolam berukuran dua kali lapangan Bola Voli ada di sisi kanan kami. Tidak ada air di dalamnya, kering.
Baca juga: Warga Melayu Rempang Berpantun dan Orasi, Nyatakan Sikap Tolak Relokasi
Kata Pendi, kolam itu juga tambak udang, namun tidak atau belum difungsikan lagi oleh pemiliknya.
Pendi menaiki tebing setinggi satu meter, berjarak sekitar tiga depa orang dewasa dari sisi darat kolam kering itu. Asap rokok yang ia hidupkan setelah turun dari motor, mengepul di tangan kirinya. Ia terus bergerak menyusuri tebing dan masuk ke dalam hutan.
Penulis menyusul Pendi. Disambut hawa sejuk dan teduh.
Matahari sore itu tidak dapat masuk ke dalam hutan ini. Pelepah Pohon Nibung dengan duri hitam menyancang, melintang menghalangi jalan setapak yang kami lalui. Salah melangkah, duri Pelepah Nibung akan jadi penyebab nyeri.
Pendi berhenti di depan pohon kecil setinggi berdiri orang dewasa. Ia bertutur kalau pohon dengan daun berwarna hijau kuning di depannya itu banyak tumbuh di kawasan perkuburan. Artinya, kami berada di tengah-tengah kawasan perkuburan di Lubuk Lanjut, kampung yang menjadi tujuan kami.
Dua Rumpun Bambu berdiri rimbun di sisi kiri jalan setapak yang kami lalui. Pendi menunjuk sebuah makam bersih di bawah aur tersebut, makam neneknya. Ada banyak makam lain juga di kawasan itu.
Kami bergerak lebih ke dalam. Melewati makam di kiri dan kanan jalan. Ada nisan dari batu, ada juga yang terbuat dari kayu dan terbungkus kain putih.
Sebatang Pohon Ara berukuran besar meneduhkan kawasan perkuburan. Akarnya menjalar di antara nisan-nisan yang ada di situ. Mengepung area cukup luas. Batangnya besar menjulang, dahan dan daun meneduhkan sebagian besar tanah perkuburan ini.
Pendi mengatakan banyak makam yang tertutupi akar Pohon Ara. Ia mengaku tidak tahu berapa umur pohon ini. Tapi saat dirinya masih kecil, pohon yang menaungi makam-makam itu sudah ada.
Kami berkeliling pohon, melihat jejak nisan yang masih bisa dikenali.
Di sisi darat dari Pohon Ara, ada sebuah makam dengan nisan berukuran besar, dua kali lebih besar dibanding nisan lainnya. Terikat kain berwarna kuning di kedua ujungnya. Itu adalah makam dari Batin Lawan, satu dari enam saudara kandung nenek Pendi.
Batin adalah istilah yang disematkan pada warga yang memiliki jabatan/pemimpin komunitas atau kampung. Jabatan Batin lebih dulu ada sebelum adanya struktur administrasi masyarakat seperti saat ini. Setingkat jabatan lurah yang membawahi beberapa kampung.
“Dia (Batin Lawan) enam bersaudara, hanya dia yang laki-laki,” kata Pendi.
Baca juga: Nurul Hasanah Pimpin Kohati cabang Batam Periode 2023/2024
Batin Lawan adalah satu dari beberapa Batin yang ada di Pulau Rempang, Galang dan Galang Baru. Di Kampung Cate ada Batin Bidin, di Kampung Pulau Abang ada Batin Limat.
Makam Batin Lawan bersih dari rerumputan, hanya tertutup oleh daun kering yang melapisi tanah. Di dekat makam dengan nisan yang ditutupi kain kuning tersebut, terdapat makam lain. Dengan nisan berbentuk pipih, sebagai penanda bahwa jasad yang dimakamkan adalah wanita.
Pendi menuntun penulis ke sebuah pohon besar lain di bibir pantai Lubuk Lanjut ini. Di sisi laut dari Pohon Ara yang meneduhkan kawasan makam.
Dari penuturan Pendi, pohon yang kami datangi itu adalah Pohon Dungun. Kayunya biasa dimanfaatkan masyarakat untuk bahan pembuatan perahu.
Di sini, Pohon Dungun ini dikeramatkan warga, di titik yang sama terdapat sebuah batu. Dulu batu tersebut kecil, ia terus membesar seiring berjalannya waktu.
Kawasan ini menjadi titik tengah dari Lubuk Lanjut, sisi yang saat ini adalah laut, dulunya merupakan bagian kampung.
Saat kami berada di sana cukup lama, air laut berada di bibir pantai. Persis di bawah Pohon Dungun, bergerak surut perlahan. Laut tengah tenang, khas Musim Angin Barat di pesisir Batam dan sekitarnya.
Pendi menjelaskan pihaknya tidak sembarangan melakukan apapun di Pohon Dungun dan batu keramat yang diyakini memiliki kekuatan melindungi kampung.
“Untuk memetik daun saja kami takut. Kalau salah bisa sakit kami,” kata Pendi.
Pohon Dungun ini, kata Pendi lagi, jauh lebih tua dari pohon Ara, meskipun ia nampak lebih rendah dan rindang. Kulit batangnya hitam dengan lekuk yang terpola secara alami.
*
Bagaimana pertautan lebih jauh Pendi dan warga Rempang lain dengan Lubuk Lanjut ini, akan disajikan dalam catatan selanjutnya.