EDISI.CO, BATAM– Perkumpulan Akar Bhumi Indonesia (ABI) merencanakan pertemuan dengan Komisi IV DPR RI. Pertemuan ini merupakan kali kedua setelah sebelumnya mereka hadir menyampaikan hasil kajian mereka terkait Batam Darurat Lingkungan pada April 2022 lalu.
Pendiri Akar Bhumi Indonesia, Hendrik Hermawan, mengatakan pertemuan lanjutan bersama Komisi IV DPR RI yang membidangi pertanian; lingkungan hidup dan kehutanan; dan kelautan ini sangat penting. Karena persoalan lingkungan di Kota Batam membutuhkan penanganan yang menyeluruh, termasuk pengawasan dari dari pusat.
Jika sebelumnya Akar Bhumi Indonesia memaparkan bagaimana Kota Batam mengalami krisis air, hutan dan pesisir, pertemuan selanjutnya juga akan menyentuh persoalan lingkungan yang terjadi di Kabupaten Karimun dan Pulau Rempang.
“Kami berpandangan pertemuan dengan Komisi IV DPR ini sangat penting,” kata Hendrik pada Senin (13/11/2023).
Baca juga: Polisi Datang, Warga Sembulang Hulu Ajak Solat Hajat dan Zikir untuk Rempang
Terkait dengan teknis pertemuan tersebut, pihaknya berharap masyarakat terdampak dapat ambil bagian, sehingga Komisi IV DPR RI dapat mendengarkan langsung suara masyarakat terkait ruang hidup mereka.
Pihaknya juga menyampaikan persoalan Batam Darurat Lingkungan ini pada Presiden. Surat untuk Presiden itu mereka sampaikan dan diterima Kementerian Sekertariat Negara pada 16 Februari 2022 lalu.
Dalam surat tersebut, pihaknya menjelaskan sebab krisis air di Batam, lanjut Hendrik, karena daerah tangkapan air (DTA/Catchment Area) mengalami banyak gangguan. Keberadaan waduk-waduk yang berada di kawasan hutan lindung telah terdegradasi. Alih fungsi hutan disekitar DTA, okupasi masyarakat dan pelaku usaha di daerah tangkapan air serta sedimentasi yang cukup tinggi di waduk menjadi penyebab utama penurunan fungsi waduk dan usia produktif waduk.
Terkait darurat pesisir, Batam sebagai Kota kepulauan dengan daratan seluas ± 715 Km2 dan terdiri lebih dari 300 pulau, maka ancaman terbesar akibat climate change/perubahan iklim dan abrasi (pengikisan daratan) adalah hilang daratan dari permukaan laut.
Baca juga: Warga Rempang bisa Belajar dari Konflik di Riau
Geografis kepulauan melahirkan masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan, menggantungkan hidup dari pesisir dan laut yang sehat. Kerusakan pesisir akibat reklamasi ilegal telah mengakibatkan nelayan sering mengalami penurunan hasil tangkapan bahkan banyak nelayan kehilangan mata pencaharian karena laut dianggap tidak mampu lagi memberikan penghidupan.
Darurat hutan, Hendrik menjelaskan pada awal penetapan Pulau Batam sebagai daerah industri maka siteplan-nya 60 persen lahan diperuntukkan sebagai kawasan hutan namun seiring dengan berjalannya waktu, komposisi itu telah berkurang hingga ± 40% saja.
Kondisi penurunan luas kawasan hutan di Kota Batam disebabkan adanya alih fungsi hutan dan okupasi hutan baik untuk lahan perumahan ataupun pertanian. Zona hijau dari tahun ke tahun semakin berkurang dan mesti segera diambil kajian dan tindakan hukum demi kelangsungan hutan sebagai warisan generasi masa depan dan penunjang kehidupan.