EDISI.CO, CATATAN EDISIAN– Tahun ini dunia menggelar konferensi perubahan iklim ke-28 (COP 28) di Dubai, Uni Emirat Arab.
COP kali ini merupakan momentum penting karena menjadi ajang evaluasi komitmen perubahan iklim negara-negara peserta, dikenal sebagai global stocktake. Harapannya, usaha penanganan perubahan iklim global dapat lebih selaras untuk membatasi kenaikan suhu Bumi di angka 1,5°C pada 2030 dan 2°C pada 2050.
Refleksi aksi iklim juga penting bagi Indonesia yang sedang menjalani pemilihan presiden dan wakil presiden 2024. Evaluasi penting dilakukan agar aksi iklim kita tak hanya berdampak bagi Bumi, tapi juga bagi kesejahteraan masyarakat global.
Saya mencoba merangkum aksi iklim global yang dilakukan Indonesia sejak era Susilo Bambang Yudhoyono hingga Joko Widodo. Secara garis besar, meski ada perbaikan dari tahun ke tahun, aksi iklim Indonesia masih jauh dari cukup untuk meredam perubahan iklim.
Aksi iklim era Yudhoyono
Presiden Yudhoyono menampilkan citra Indonesia yang outward looking yaitu sebagai negara yang berperan aktif dalam pentas internasional. Usahanya tercermin dalam dua pencapaian penting, yaitu Bali Action Plan dan kebijakan moratorium hutan.
1. Bali Action Plan
Aksi iklim penting Indonesia pertama kali muncul untuk menanggapi mandeknya ratifikasi Protokol Kyoto oleh Amerika Serikat (AS). Sikap AS ini membuat penanganan perubahan iklim menjadi kurang efektif, mengingat negara ini adalah salah satu penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia.
Sebagai solusinya, negosiator Indonesia kemudian membujuk para pihak dalam COP 13 pada 2007 di Bali untuk menyepakati peta jalan pengakhiran Protokol Kyoto tahun 2012 melalui Bali Action Plan (Rencana Aksi Bali).
Bali Action Plan adalah upaya untuk menyepakati peta jalan rezim perubahan iklim bersama dengan draft kesepakatan pengurangan emisi karbon. Ada lima aspek dalam rencana kerja ini yaitu visi bersama, mitigasi dan adaptasi iklim, teknologi, dan pendanaan.
Bukan hanya itu, Bali Action Plan juga menghasilkan kesepakatan global mengenai mekanisme insentif dari negara-negara maju kepada negara-negara pemilik hutan tropis untuk menjaga hutannya. Mekanisme ini dikenal dengan Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation atau REDD.
Aspek lainnya yang termuat dalam Bali Action Plan adalah komitmen mitigasi iklim dalam kerangka nationally appropriate mitigation actions atau NAMA. Kerangka ini menjadi cikal bakal Nationally Determined Contributions (NDC) atau dokumen komitmen iklim global jangka panjang yang wajib disetor negara-negara peserta Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC)
Kepentingan nasional Indonesia dalam mendapatkan pendanaan iklim melalui REDD+ juga tercapai baik melalui kerjasama multilateral maupun bilateral. Salah satunya adalah Norwegia dengan kerja sama yang dimulai sejak 2010.
Momentum Bali Action Plan juga digunakan Indonesia untuk mendirikan Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI). Dewan ini bertugas mengkoordinasikan seluruh langkah pengurangan emisi di seluruh kementerian dan lembaga.
Namun, pada tahun 2015, Presiden Joko widodo membubarkan DNPI dan meleburkannya ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. karena alasan efisiensi kelembagaan.
2. Moratorium hutan pertama Indonesia
Kemitraan REDD+ Indonesia-Norwegia turut menggenjot aksi iklim di tanah air. Pada 2011, Presiden Yudhoyono memberlakukan moratorium izin atau penghentian pemberian izin baru secara sementara di hutan alam dan gambut. Kebijakan ini diperpanjang pada 2013, kemudian diperkuat dengan larangan permanen oleh Presiden Joko Widodo.
Kendati demikian, kebijakan moratorium hanya manis di atas kertas. Penerapannya di tingkat tapak sangat lemah. https://www.globalforestwatch.org/embed/widget/treeLossPct/country/IDN
Ada seratus kejadian deforestasi dilaporkan dalam waktu tiga bulan setelah moratorium berlaku. Hal ini disebabkan tata kelola hutan yang tersebar di banyak lembaga dan ketiadaan sanksi atas pelanggaran kebijakan moratorium.
Aksi iklim era Joko Widodo
Berkebalikan dengan pendahulunya, Presiden Joko Widodo menjalankan kepemimpinannya dengan corak inward looking yaitu dengan fokus pada politik domestik.
Baca juga: Pengadilan Tinggi Kepri Terima Memori Banding dari LBH Mawar Saron Batam
Di bawah kepemimpinan Joko Widodo, Indonesia berperan aktif dalam pentas internasional dengan motif untuk menjaga kepercayaan asing agar memperbanyak investasi ke tanah air.
1. Bahan bakar minyak sawit
Pemerintahan Joko widodo berupaya menggenjot penggunaan bahan bakar nabati (BBN) sebagai salah satu komitmen Indonesia mengurangi emisi global di sektor energi. Pada 2015, Jokowi memberdayakan produsen kelapa sawit lokal untuk menghasilkan BBN, kemudian mewajibkan produsen BBM untuk mencampurkannya ke dalam solar.
Kebijakan ini bukan hanya turut menguatkan dokumen komitmen iklim Indonesia, tapi juga menggeliatkan produksi BBN domestik. Walhasil, konsumsi BBN nasional melonjak dari 915 ribu kiloliter pada 2015 menjadi 2,5 juta kiloliter pada 2017.
Kendati begitu, kebijakan ini gagal memoles citra sawit di mata dunia. Uni Eropa pada 2016 tetap melarang penggunaan sawit sebagai BBN pada 2030 karena komoditas ini dituding sebagai biang deforestasi hutan tropis. Indonesia kemudian menggugat Uni Eropa ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) menganggap aturan tersebut diskriminatif. Sejauh ini tidak ada informasi publik yang tersedia mengenai kelanjutan gugatan ini.
2. Restorasi gambut dan mangrove
Kebakaran hebat 2015 yang menghanguskan 2,6 juta hektare hutan dan lahan membuat Indonesia mendapatkan banyak tekanan internasional. Merespons hal ini, Jokowi membentuk Badan Restorasi Gambut (BRG) pada 2016 untuk mempercepat pemulihan kawasan-kawasan gambut yang rusak, termasuk di kawasan konsesi perusahaan.
Badan ini penting untuk memastikan pencapaian komitmen iklim global Indonesia di sektor hutan dan lahan. Meski begitu, per 2019, pemulihan kawasan gambut baru mencapai 1,3 juta ha, alias separuh dari target 2,6 juta ha pada 2020.
Usaha BRG masih menuai kritik karena kurangnya transparansi seputar pemulihan di lapangan. Kebakaran bahkan masih terjadi di kawasan gambut yang diklaim telah pulih.
Terlepas dari kritik itu, pola kerja BRG tetap dipertahankan. Presiden bahkan menambahkan tugasnya berupa pemulihan kawasan mangrove Indonesia.
3. Kendaraan listrik
Ambisi Jokowi untuk menggenjot penggunaan dan produksi kendaraan listrik Indonesia dimulai sejak akhir periode pertama kepemimpinannya. Rencana ini berbuah kebijakan percepatan kendaraan listrik, disusul larangan ekspor bijih nikel untuk mendorong suburnya produksi baterai untuk kendaraan listrik di dalam negeri.
Namun, ambisi Jokowi terbentur oleh gugatan Uni Eropa seputar larangan ekspor bijih nikel ke WTO pada tahun yang sama. Menurut Eropa, aturan Indonesia melanggar logika perdagangan bebas karena membatasi lalu lintas barang dan jasa.
Sementara, Indonesia mengklaim larangan ekspor adalah bentuk pelaksanaan hak mereka untuk mengembangkan industri dalam negeri. Namun WTO menolak klaim tersebut. Menurut WTO, pengecualian hanya berlaku atas suatu produk penting yang sedang mengalami situasi kritis pasokan.
Indonesia sudah mengajukan banding, tapi perubahan besar-besaran majelis banding WTO sedang dilaksanakan sehingga prosesnya tak kunjung dimulai.
4. Transisi energi
Aksi iklim Presiden Jokowi mendapatkan kembali panggungnya dalam Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Bali, tahun lalu. Kepemimpinan Indonesia dalam Presidensi G20 berbuah manis karena berhasil membawa pulang Kemitraan Transisi Energi Berkeadilan (JETP) hasil kerja sama negara-negara maju G7 plus Uni Eropa.
Dalam dokumen JETP terbaru, Indonesia membidik ekspansi energi terbarukan besar-besaran hingga 44% pada tujuh tahun mendatang. Namun, target wah ini membutuhkan dana ekstra besar pula, sekitar Rp1.500 triliun.
Hingga saat ini, Indonesia baru merilis Rencana Investasi Komprehensif JETP. Belum ada kepastian pendanaan, termasuk duit US$21,5 miliar yang dijanjikan oleh negara-negara maju.
Tantangan besar
Sejak era Yudhoyono hingga Jokowi, aksi Iklim Indonesia mengalami banyak perbaikan. Namun, masih ada satu hal besar yang belum mereka selesaikan: energi fosil.
Sektor energi berperan penting mengurangi emisi karbon. Di lain pihak, ketergantungan Indonesia pada minyak dan gas bumi serta batu bara masih tinggi.
Padahal, subsidi BBM dan PLTU terus menguras kas negara. Polusi udara kian mencekik warga, termasuk bayi dan balita, di kota-kota.
Ke depannya, aksi iklim di Indonesia mesti signifikan mengurangi energi fosil agar benar-benar berdampak penanganan perubahan iklim Bumi. Presiden periode selanjutnya harus mengarahkan aksi iklim untuk menggenjot transisi energi menuju sumber-sumber yang lebih ramah lingkungan.
Penulis: Ica Wulansari, Lecturer of International Relations, Paramadina University
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.