EDISI.CO, NASIONAL– Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mencabut Peraturan Presiden (Perpres) No. 78 tahun 2023 tentang perubahan atas Perpres Nomor 62 tahun 2018 terkait teknis penanganan dampak sosial kemasyarakatan dalam rangka penyediaan tanah untuk pembangunan nasional.
KPA juga secara terang menolak Perpres No. 78 tahun 2023 ini. Kemudian mengajak pemerintah untuk kembali pada Sila ke-5 Pancasila, UUD 1945 dan cita-cita UUPA tahun 1960.
Keluarnya Perpres No. 78 tahun 2023 ini, kata Sekertaris Jenderal (Sekjen) KPA, Dewi Kartika, Menandai hadirnya kemunduran drastis atas kualitas produk hukum agraria di Indonesia yang menyangkut pertanahan; kehutanan; pertambangan; pertanian dan pangan.
Terkait penerbitan Perpres No. 78 Tahun 2023 ini, KPA mengeluarkan beberapa pandangan sebagai alasan untuk mendesak pemerintah mencabut aturan tersebut.
Pertama, KPA menilai Perpres No. 78 tahun 2023 sebagai pembohongan produk hukum. Sebab dibalik judul yang terkesan humanis, Perpres No. 78 tahun 2023 ini berorientasi sebaliknya, yakni untuk menghapus hak dasar rakyat atas tanah yang telah dijamin konstitusi dan UUPA 1960.
Kedua, Perpres No. 78 tahun 2023 dinilai memfasilitasi model pembangunan pro-modal besar yang selama ini dijalankan. Perpres ini merancang sistem pengalokasian tanah yang semakin berwatak pro-pemodal besar melalui-mantra-mantra “demi pembangunan” ketimbang berwatak lerakyatan (populis) melalui pembangunan yang berperspektif Reforma Agraria.
Ketiga, Perpres ini dinilai anti Reforman Agraria dan menyeleweng jauh dari prinsip hukum agraria nasional dengan klaim”pemerintah pemilik tanah”. Dengan prinsip semacam itu sudah tentu diskriminasi hak petani, masyarakat adat, nelayan, masyarakat miskin serta kelompok marginal lainnya yang masih memperjuangkan hak atas tanah akan semakin meluas, konflik agraria akan semakin parah.
Baca juga: Suara Warga Rempang terkait Sosialisasi Perpres 78 tahun 2023
Keempat, selain penguasaan tanah oleh masyarakat tidak diakui, Perpres ini merumuskan prasyarat berlapis, yang diskriminatif dan berwatak “pelit” kepada rakyat, dengan cara menyaring siapa saja masyarakat yang berhak mendapatkan santunan.
Kelima, Perpres No. 78 tahun 2023 ini adalah produk hukum yang tidak perlu. KPA menilai perpres ini adalah bentuk penghamburan uang negara, memperparah carut-marut hukum, overload dan inkonsistensi dengan UU2/2022 tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.
Terakhir, wilayah berlaku Perpres ini dirancang secara nasional untuk percepatan proyek-proyek pembangunan yang membutuhkan tanah dalam skala luas, meski demikian substansinya juga memuat tiga “strategy exit” kebutuhan khusus pemerintah untuk melanjutkan eksekusi pembangunan Proyek Rempang Eco City Batam.
Adapun tiga strategy exit tersebut nampak ketika perpres ini mengatur siapa leading sector birokrasi yang akan menjalankan mandat perpres ini.
Sebelumnya, Warga Rempang yang hadir dalam sosialisasi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 78 Tahun 2023 tentang perubahan atas Perpres Nomor 62 tahun 2018 bersuara. Perpres yang mengatur terkait teknis penanganan dampak sosial kemasyarakatan dalam rangka penyediaan tanah untuk pembangunan nasional, tidak memberi pengaruh terhadap warga.
Paparan yang disampaikan oleh Badan Pengusahaan (BP) Batam dalam acara yang diselenggarakan di Swisbell Harbourbay pada Senin (18/12/2023) tersebut sama dengan paparan yang sebelumnya mereka dengar.
Azwar, warga Rempang dari Kampung Cate, Kelurahan Rempang Cate, saat menanggapi paparan itu mengatakan hal serupa sudah mereka dengar saat pertemuan di Rempang.
Ia justru mengingatkan pemerintah agar tragedi yang terjadi di Kampung Tanjung Kertang di tanggal 7 September 2023 lalu, agar menjadi perhatian pemerintah supaya tidak terulang. Hal tersebut menjadi luka bagi masyarakat Rempang.
Tragedi itu, kata Azwar, bermula dari pertemuan serupa sehari sebelumnya. Saat itu ada pertemuan di Hotel Harmoni One, Batam Centre pada 6 September 2023. Sehari setelahnya tim terpadu datang dan terjadi bentrok dengan masyarakat di Pulau Rempang. Akibatnya, anak-anak sekolah dan warga menjadi korban.
“Hari ini ada pertemuan di sini, besok sudah ada gonjang-ganjing di Rempang. Kami tidak mau itu,” kata Azwar.
Sementara itu, Kepala BP Batam, Muhammad Rudi, mengatakan sosialisasi khusus untuk Warga Pulau Rempang terkait dengan Perpres Nomor 78 tahun 2023 ini akan segera dilaksanakan.
“Ini sosialisasi untuk seluruh masyarakat Kota Batam. Semua masyarakat perlu tahu perubahan apa yang ada di Perpres ini. Ini sosialisasi pertama untuk seluruh Batam. Insyaallah dua atau tiga hari lagi kami akan adakan sosialisasi khusus untuk Rempang,” kata Rudi.
Lebih jauh, Perpres Nomor 78 tahun 2023 ini, dinilai tidak menyentuh akar persoalan yang ada di Rempang. Hal tersebut disampaikan oleh, Stas Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Edy Kurniawan pada Jumat (22/12/2023).
Edy menejelaskan kalau persoalan di Pulau Rempang adalah soal pemerintah yang tidak mau mengakui kepemilikan lahan oleh warga. Sementara Perpres Nomor 78 tahun 2023 ini mengatur penyelesaian persoalan sosial di lahan yang sudah tidak memiliki persoalan atau sengketa.
“Sebenarnya Perpres ini adalah kebijakan yang keliru. Seolah-olah yang mau ditangani adalah masyarakat yang terdampak dari pembangunan di tanah negara. Sementara status kepemilikan tanah yang belum usai di sini, sedangkan perpres ini mengkalim ini tanah negara. Di sini, BP Batam mengkalim memiliki tanah di Rempang, tapi tidak bisa menunjukan bukti kepemilikan mereka, apakah SK atau HGU atau hak pakai. Sampai sekarang kami belum temukan,” kata Edy.
Baca juga: Suara Warga Rempang terkait Sosialisasi Perpres 78 tahun 2023
Sebaliknya, masyarakat Rempang telah menguasai lahan di sana secara turun temurun selama ratusan tahun.
“Jika kembali pada Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), dan Perpres Nomor 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah, sebenarnya pengakuan kepemilikan tanah itu cukup diukur minimal 20 tahun, kalau warga tidak punya dasar kepemilikan (sertifikat dan surat-surat lain) minimal menguasai tanah itu 20 tahun berturut-turut. Artinya secara normatif masyarakat diakui secara hukum.”
“jadi tidak layak memakai Perpres ini untuk meminta warga Rempang pindah.”