EDISI.CO, CATATAN EDISIAN– Transisi energi merupakan salah satu komitmen prioritas Indonesia, seperti yang telah dijanjikan dalam Nationally Determined Contribution (NDC), Long Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience 2050 (LTS-LCCR), dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJPN) Indonesia Emas 2025-2045. Pemerintah telah mengimplementasikan beberapa kebijakan untuk mendukung hal ini, termasuk rencana meningkatkan bauran energi terbarukan, penutupan dini PLTU batu bara, dan elektrifikasi kendaraan.
Sayangnya, meskipun telah disinggung dalam komitmen-komitmen tersebut, transisi industri tampaknya masih luput dari perhatian pemerintah. Transisi industri merupakan bagian integral dalam transisi yang berkeadilan (just transition) demi menciptakan nilai tambah ekonomi dan lapangan pekerjaan baru yang berkelanjutan dan rendah karbon.
Siapapun presiden Indonesia yang akan terpilih pada Pemilu 2024 perlu mulai mempersiapkan transisi industri yang terkelola dan terencana.
Apa itu transisi industri?
Banyak sekali jargon-jargon yang diutarakan di media terkait dengan perkembangan industri dan energi, seperti revolusi industri 4.0, transisi industri, dan transisi energi. Perlu dipahami bahwa jargon-jargon tersebut merepresentasikan hal berbeda meskipun saling berkaitan, seperti yang dirangkum infografis di bawah ini.
Transisi industri adalah perubahan industri pendorong ekonomi di tingkat regional atau nasional, dari industri yang menurun (declining industry) menuju industri yang berkembang (emerging industry). Perkembangan teknologi, globalisasi, dan desakan akan sistem ekonomi netral iklim (climate-neutral economy) menuntut daerah-daerah untuk melakukan transisi industri agar tidak tertinggal.
Transisi industri bukanlah hal baru. Sejarah menunjukkan beberapa kasus transisi industri yang sukses, seperti kawasan Ruhr di Jerman, beberapa kota berbasis sumber daya alam di Cina, Australia dan Norwegia, serta di kota Sawahlunto, Sumatera Barat. Kasus-kasus tersebut menggambarkan transisi dari industri intensif karbon menuju industri rendah karbon.
Di Indonesia, beberapa daerah sangat bergantung kepada declining industry seperti pertambangan batu bara. Contohnya adalah Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan dengan kontribusi pertambangan batu bara ke produk domestik regional bruto sebesar 53% dan 30% di tahun 2022.
Industri manufaktur di Indonesia, misalnya, masih intensif karbon. Data dari Climate Watch dan World Bank menunjukkan tingkat intensitas emisi industri manufaktur Indonesia adalah senilai 1.05 kg/US$ 2015, jauh melebihi Singapura (0.62), Jepang (0.59), Amerika Serikat (0.69) dan negara-negara Uni Eropa (0.43).
Ringkasnya, transisi industri perlu dilakukan di daerah yang bergantung kepada declining industry dan industri manufaktur yang intensif karbon.
Tantangan transisi industri
Transisi industri menghadapi beragam tantangan yang dapat dikelompokkan ke dalam beberapa area kunci, yaitu teknologi, model investasi dan pembiayaan, pengembangan keterampilan, dan tata kelola.
Salah satu hambatan utama dalam transisi energi pada sektor industri adalah belum matangnya teknologi energi terbarukan, seperti teknologi penyimpanan atau baterai yang masih dalam tahap pengembangan lebih lanjut.
Meskipun manfaatnya jelas, industri enggan sepenuhnya mengadopsi teknologi ini karena perkembangannya yang masih terus berlanjut, yang berpengaruh pada tingkat kesiapan dari teknologi tersebut.
Contoh lainnya dapat dilihat dari sulitnya usaha dekarbonisasi energi panas yang digunakan di sektor industri, seperti industri baja atau semen. Sumber energi terbarukan yang dapat digunakan untuk mengganti peran gas ataupun batubara dalam memproduksi energi termal secara langsung masih terbatas hanya pada biomass/biometana, sedangkan jenis bioenergi ini hanya mampu digunakan pada skala low-medium heat.
Hambatan kedua berkaitan dengan model investasi dan pembiayaan. Transisi industri membutuhkan investasi besar untuk membiayai infrastruktur, peralatan baru, dan peningkatan teknologi dapat menjadi tantangan besar. Pemerintah perlu menyediakan infrastruktur penopang seperti jaringan listrik yang andal, dan ini dapat membebani anggaran publik. Sementara, di tingkat perusahaan, investasi peralatan baru dan peningkatan teknologi saat dapat memberatkan keuangan perusahaan karena dianggap belum memiliki nilai keekonomian yang menjanjikan.
Indonesia perlu mengembangkan berbagai model pembiayaan untuk meningkatkan daya tarik investasi. Ini termasuk memberikan insentif berupa subsidi atau potongan pajak bagi perusahaan yang berinvestasi dalam teknologi ramah lingkungan dan energi terbarukan, mendorong skema patungan atau obligasi hijau, menggunakan instrumen keuangan baru seperti obligasi iklim dan dana investasi sosial hingga memberikan keringanan bea masuk bagi peralatan industri yang hemat energi.
Hambatan selanjutnya terkait dengan keterampilan tenaga kerja industri. Saat industri mengadopsi teknologi baru, tenaga kerja perlu memperoleh keterampilan baru untuk mengoperasikan dan merawat peralatan dan sistem baru. Program pengembangan tenaga kerja dan pendidikan sangat penting untuk memastikan bahwa karyawan dapat beradaptasi dan berkembang dalam lanskap industri yang baru, canggih, dan berkelanjutan.
Baca juga: Mahfud MD akan Sambangi Batam Minggu Ini
Salah satu solusi yang dapat dilakukan adalah dengan memperkuat kemitraan industri-pendidikan. Kolaborasi industri dan lembaga pendidikan dapat membantu mengidentifikasi keterampilan yang dibutuhkan dan menyelenggarakan program pendidikan yang sesuai kebutuhan transisi.
Efektivitas tata kelola menjadi hambatan terakhir dalam transisi energi, misalnya dalam regulasi dan praktik. Sebagai contoh, implementasi Peraturan Menteri ESDM Nomor 26 Tahun 2021 tentang pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap di Indonesia masih simpang siur utamanya terkait kapasitas maksimum sambungan listrik yang boleh terpasang.
Tata kelola yang efektif memerlukan keterlibatan berbagai pemangku kepentingan, termasuk badan pemerintah pusat dan daerah, pemimpin industri, organisasi lingkungan, dan masyarakat lokal secara transparan dan akuntabel. Pentingnya proses pengambilan keputusan yang kolaboratif adalah untuk memastikan bahwa kepentingan semua pihak dipertimbangkan dan transisi sejalan dengan tujuan lingkungan. Mekanisme tata kelola yang transparan berkontribusi pada keadilan dan perilaku etis dari proses transisi.
Untuk mengatasi berbagai tantangan ini dan menjamin transisi industri berkelanjutan, analisis dampak juga sangat penting karena memerlukan evaluasi menyeluruh dari dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan dari pergeseran industri. Misalnya, ketika sebuah perusahaan manufaktur di Indonesia beralih dari penggunaan batu bara ke energi surya, analisis dapat membantu mengevaluasi dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan dari perubahan ini. Analisis ini dapat mencakup dampak terhadap pekerjaan di sektor batu bara, dampak terhadap harga energi bagi konsumen, dan dampak terhadap emisi karbon.
Transisi industri terkelola dan terencana di luar negeri
Beberapa kawasan di dunia mulai melakukan transisi secara terkelola dan terencana. Sebagai contoh, Uni Eropa merilis program transisi berkeadilan bernama Just Transition Mechanism (JTM) untuk membantu daerah-daerah yang paling terdampak dari transisi energi di Eropa untuk melakukan transisi industri. Bantuan-bantuan tersebut berbentuk pembiayaan, dukungan teknis, dan konsultasi untuk target industri yang telah ditentukan.
Salah satu aspek penting dalam JTM adalah penyusunan Territorial Just Transition Plans (TJTP) atau mekanisme transisi berbasis wilayah. TJTP bersifat bottom-up sehingga memungkinkan negara anggota Uni Eropa untuk memilih daerah yang berhak mengakses bantuan, lalu menuangkan proses transisi dalam dokumen perencanaan.
Perencanaan dalam dokumen tersebut dijabarkan secara konkret, dari target transisi, kaitannya dengan kebijakan dan target lainnya, jangka waktu, kebutuhan investasi, dan rencana aksi yang difokuskan kepada diversifikasi ekonomi, upskilling dan reskilling, dan upgrade teknologi.
Di Skotlandia, Just Transition Planning Framework disusun sebagai bahan acuan perencanaan di tingkat perusahaan, pemerintah daerah, dan organisasi pemerintahan lainnya, seperti kementerian teknis. Kerangka kerja ini berbasis bukti, disusun bersama dengan pemangku kepentingan, adaptif, dan disesuaikan dengan rencana kerja yang telah ada.
Kerangka kerja perencanaan yang Skotlandia susun memiliki beberapa kesamaan dengan JTM. Pertama, proses transisi yang direncanakan berbasis tempat (place-based), yaitu berfokus pada daerah yang terdampak, dan sektor (sectoral-based), berfokus pada industri intensif energi. Kedua, perencanaan ini berdasarkan pendekatan bottom-up, dengan rencana spesifik disusun di tingkat satuan kerja, tetapi acuan perencanaan disusun di tingkat nasional.
Kedua kerangka perencanaan ini dapat menjadi inspirasi bagi pemerintah Indonesia untuk merencanakan transisi industri secara berkeadilan dan berkelanjutan dan untuk mencapai target emisi nol bersih pada tahun 2060. Perencanaan yang matang merupakan langkah awal yang krusial dalam transisi industri yang tepat, cepat, dan lancar.
Merangkum apa yang telah dijabarkan sebelumnya, Indonesia perlu segera memprioritaskan transisi industri yang terkelola dan terencana sebagai bagian integral dari komitmen terhadap transisi energi yang berkeadilan. Meskipun telah dijanjikan dalam berbagai kebijakan, transisi industri tampak kurang mendapat perhatian pemerintah. Calon presiden Indonesia pada Pemilu 2024 harus memfokuskan persiapannya pada transisi industri, termasuk kontribusi sektor industri terhadap emisi gas rumah kaca dan komitmen pengurangan emisi sektor industri. Daerah yang masih bergantung pada industri yang menurun, seperti pertambangan batu bara, dan industri manufaktur yang karbon intensif, harus menjadi fokus utama.
Tantangan seperti teknologi energi terbarukan yang belum matang, model investasi, pengembangan keterampilan tenaga kerja, dan tata kelola yang efektif perlu diatasi melalui inovasi kebijakan. Inspirasi dari praktik luar negeri, seperti di Uni Eropa dan di Skotlandia, dapat membimbing perencanaan transisi industri yang adil, cepat, dan berkelanjutan di Indonesia. Dengan demikian, transisi industri yang terkelola dengan baik menjadi kunci untuk mencapai tujuan Indonesia menuju ekonomi rendah karbon dan berkelanjutan.
Penulis: Fikri Muhammad, Senior Analyst (Economics and Governance), Climateworks Centre dan Muhammad Rizki Kresnawan, Senior Project Manager (Research) – Energy System, Climateworks Centre
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.