EDISI.CO, CATATAN EDISIAN- Dengan segera disahkannya Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Manajemen Aparatur Sipil Negara (ASN), pemberian cuti ayah (paternity leave) menjadi poin perdebatan publik.
Cuti ayah adalah sebuah hak cuti yang diberikan kepada seorang ASN yang istrinya melahirkan atau keguguran. Dalam pembahasan RPP terakhir, durasi cuti ayah yang diusulkan berkisar antara 15 hari, 30 hari, 40 hari, hingga 60 hari.
Sejumlah akademisi dan masyarakat mengkritik usulan kebijakan tersebut karena mengganggapnya sebagai pemborosan anggaran dan bukan hal yang mendesak. Mereka berargumen bahwa pelayanan dan produktivitas ASN akan berkurang dengan adanya cuti ayah.
Padahal, cuti ayah dapat memberikan beragam manfaat, termasuk secara ekonomi. Cuti ayah justru dapat meringankan beban ekonomi, alih-alih menjadi pemborosan negara.
Dari hasil analisis berdasarkan hasil riset dan review terhadap literatur dari ilmu kesehatan, ekonomi perawatan, gender, organisasi, dan kebijakan publik, kami menemukan setidaknya ada lima alasan mengapa cuti ayah diperlukan dan bagaimana kebijakan ini berdampak baik dalam mendukung pembangunan berkelanjutan.
1. Mereduksi beban ekonomi jangka panjang
Pascamelahirkan merupakan masa-masa yang sulit bagi banyak perempuan secara fisik dan mental karena terjadinya perubahan fisiologi dan hormon.
Secara fisik, perempuan yang baru saja melahirkan sangat rentan mengalami kelelahan, perdarahan, nyeri pada perut dan saluran melahirkan, rasa sakit pada payudara akibat pembengkakan dan luka di puting saat awal menyusui, sulit menahan keluarnya air seni, kesulitan buang air besar, dan risiko penyumbatan darah.
Jika dihitung dalam rupiah, perawatan fisik ibu yang baru melahirkan bisa sangat mahal.
Perempuan juga rentan mengalami masalah kesehatan psikologis pascapersalinan. Turunnya hormon progesteron, estrogen, dan kadar dopamine membuat perempuan mudah lelah, perasaan jadi lebih sensitif, mood berubah-ubah, dan rentan mengalami depresi.
Masalah tersebut, apabila tidak ditangani dengan baik, akan menimbulkan biaya tinggi untuk pemulihannya.
Pada periode ini, dukungan dari pasangan sangat krusial untuk membantu perempuan yang baru melahirkan kembali pulih.
Selain itu, biaya perawatan bayi juga mahal, apalagi jika bayi sakit. Perekonomian keluarga dapat terdampak dan beban pada sistem kesehatan juga jadi bertambah.
Dalam hal ini, cuti ayah dapat membantu meringankan risiko kesehatan yang berdampak pada beban ekonomi yang lebih tinggi.
Hal ini karena partisipasi ayah dalam perawatan dan pengasuhan dapat menyeimbangkan distribusi pekerjaan perawatan yang selama ini sebagian besar tidak dibayar terlepas dari kontribusinya pada perekonomian.
Selain itu, ibu yang juga bekerja dapat segera kembali ke tempat kerja sehingga dapat berkontribusi pada perekonomian keluarga.
2. Menyokong perkembangan bayi
Gizi dan nutrisi pada masa awal kehidupan bayi sangat krusial untuk perkembangan otak dan fisik anak di masa depan. Sejumlah riset menunjukkan bahwa anak yang ayahnya berperan dalam pengasuhan memiliki status gizi dan kesehatan mental yang lebih baik dibanding anak yang ayahnya kurang berperan.
Jika ayah diberikan paternal leave, mereka akan bisa lebih memaksimalkan peran pengasuhannya selama masa-masa awal bayi baru dilahirkan sehingga bisa turut berupaya mengoptimalkan perkembangan fisik dan otak bayi.
3. Menormalisasi peran ayah dalam pengasuhan
Secara norma sosial dan budaya, cuti ayah akan menjadi salah satu bentuk normalisasi keterlibatan ayah, dalam hal ini laki-laki, dalam pengasuhan dan pendidikan anak.
Di Indonesia, beban pengasuhan dan pendidikan anak sebagian besar masih ditanggung oleh ibu. Ini karena masih kuatnya narasi bahwa peran perempuan adalah sebagai pendamping suami dan pendidik anak. Konsep ini dikenal dengan istilah ibuisme, yang dilanggengkan secara kuat pada masa orde baru.
Konsep ibuisme tampaknya masih terus ada pada masa kini meskipun sudah banyak perempuan yang bekerja di ranah publik. Kritik terhadap konsep ibuisme di sini lebih kepada bagaimana narasi ini seolah menyepelekan peran ayah dalam pengasuhan dan pendidikan anak.
Padahal, riset membuktikan keterlibatan ayah yang tinggi dalam pengasuhan dan pendidikan anak juga dapat mengurangi potensi terjadinya kekerasan domestik. Hal ini karena anak jadi belajar sejak dini bahwa baik ayah maupun ibu memiliki kapasitas yang sama dalam memberikan kasih sayang dan pengasuhan berkualitas.
Baca juga: Rupa Green Action SMA Maitreyawira Batam bersama Akar Bhumi Indonesia
Normalisasi keterlibatan ayah dalam pengasuhan juga berpotensi mengurangi konstruksi maskulinitas beracun yang menempatkan laki-laki hanya dalam kapasitasnya sebagai pemberi nafkah dan dianggap tidak memiliki kompetensi emosional.
4. Kesetaraan di tempat kerja
Perempuan yang melahirkan memiliki kemungkinan hambatan karier yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki.
Banyak perempuan harus mengambil cuti untuk melahirkan, yang kadang berulang kali. Hal ini membuat mereka otomatis tertinggal dalam progres kariernya, meskipun kapasitas mereka sering tidak kalah dibanding kolega lelakinya. Beban pengasuhan pada perempuan juga membuat banyak dari mereka yang terpaksa harus berhenti bekerja.
Terlebih lagi, diskriminasi dan stigma di tempat kerja masih sering dilakukan oleh pemberi kerja kepada perempuan. Hal ini terjadi karena pemberi kerja cenderung menilai kriteria produktivitas berdasarkan jumlah jam kerja, tanpa mempertimbangkan efisiensi, kreativitas, dan pemecahan masalah sebagai kriteria penilaian produktivitas.
Akibatnya, laki-laki yang cenderung tidak memiliki tugas tambahan pengasuhan sehingga dapat bekerja dengan jam yang lebih panjang dan tidak mengalami interupsi, dinilai memiliki produktivitas lebih tinggi. Padahal, fleksibilitas kerja juga bisa dimanfaatkan asalkan outcome dan efisiensi tercapai.
Oleh karena itu, pemberian cuti ayah akan membantu menyeimbangkan peluang laki-laki dan perempuan (levelling the playing field) sehingga menciptakan tempat kerja yang lebih ramah terhadap kedua gender.
5. Bentuk realisasi pengarusutamaan gender
Indonesia sudah menerapkan kebijakan Pengarusutamaan Gender (PUG) sejak tahun 2000 dengan tujuan meningkatkan pembangunan gender. Hal ini sesuai dengan amanat Pancasila dan UUD 1945 untuk menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sayangnya, implementasinya masih kurang maksimal dan belum terintegrasi dengan jelas pada tataran kebijakan. Dalam skala internasional, ketimpangan gender di Indonesia masih cukup tinggi dan menempati peringkat di bawah mayoritas negara-negara ASEAN.
Cuti ayah merupakan bentuk aplikasi nyata dari pengarusutamaan gender dalam birokrasi pemerintahan. Hal ini dapat menjadi contoh bagaimana kesetaraan gender bisa diwujudkan dalam organisasi-organisasi di Indonesia.
Pada akhirnya, penerapan cuti ayah bagi ASN memang memiliki konsekuensi anggaran. Namun, hal ini bukan berarti kebijakan ini merupakan bentuk pemborosan uang negara. Justru, secara manfaat, kebijakan ini bisa memiliki dampak yang berlipat secara jangka pendek dan jangka panjang, baik dari sisi ekonomi, kesehatan, dan sosial.
Tentunya diperlukan pemahaman bersama, baik dari sisi pembuat kebijakan, ASN, dan masyarakat umum. Edukasi mengenai apa itu cuti ayah dan tujuannya diperlukan agar implementasi berjalan secara efisien dan efektif. Selain itu, monitoring implementasi kebijakan berbasis sains dan komitmen dari pimpinan dan berbagai pihak, serta dukungan sistem yang memadai juga diperlukan.
Penulis: Fitri Hariana Oktaviani, Lecturer and Researcher in Gender, Organisation & Communication, Universitas Brawijaya dan Antonia Morita Iswari Saktiawati, Lecturer and Researcher in Medicine, member of ALMI (Akademi Ilmuwan Muda Indonesia), Universitas Gadjah Mada
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.