EDISI.CO, CATATAN EDISIAN– Pertumbuhan ekonomi Indonesia selama dua dekade sejak Krisis 1998 melambat dibandingkan dengan periode sebelumnya. Padahal, dalam rentang yang sama kontribusi modal dan tenaga kerja dalam perekonomian kita cenderung naik.
Ini nampaknya terjadi karena Indonesia belum memaksimalkan total factor productivity (TFP): ukuran seberapa efisien ekonomi suatu negara atau perusahaan dalam menggerakkan perekonomian dengan mengombinasikan input modal dan tenaga kerja.
Setiap tahun, Asian Productivity Organization (APO) merilis data produktivitas perekonomian negara-negara di Asia dengan input tradisional tenaga kerja, modal dan TFP sebagai indikatornya. Data APO menunjukkan, selama dua dekade setelah 1998, rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di kisaran 4,78%. Ini di bawah dari rata-rata pertumbuhan 20 tahun sebelum krisis yaitu sekitar 6,74%.
Data APO turut menunjukkan kontribusi TFP Indonesia setelah krisis berada di kisaran -0,11%—anjlok dari 0,93% sebelum krisis.
Kontribusi TFP positif menandakan suatu ekonomi atau proses produksi yang efisien. Artinya, pertumbuhan output (hasil produksi kegiatan ekonomi) melampaui pertumbuhan input (sumber daya untuk menghasilkan barang dan jasa) yang digunakan untuk memproduksinya.
Sebaliknya, TFP negatif menunjukkan bahwa ekonomi atau proses produksi menjadi kurang efisien dari waktu ke waktu. Ini berarti bahwa pertumbuhan output lebih lambat dari pertumbuhan input.
Dengan kata lain, perekonomian kita menggunakan lebih banyak sumber daya untuk menghasilkan lebih sedikit keluaran.
Jika tren penurunan pertumbuhan produktivitas dan TFP negatif ini berlanjut, maka perekonomian Indonesia akan stagnan dan terpapar pada berbagai risiko. Kita perlu mengambil berbagai langkah untuk mencegahnya.
Perlambatan pertumbuhan
Inefisiensi perekonomian Indonesia setelah Krisis 1998 terlihat dari perbedaan kontribusi input modal dan tenaga kerja yang signifikan. Data APO menunjukkan bahwa, sebelum krisis, input modal terhadap pertumbuhan sebesar 50%. Ini lebih rendah dibandingkan input modal setelah krisis sebesar 61%.
Hal yang sama juga terjadi pada input tenaga kerja yang sebelum krisis sebesar 36%. Angka tersebut lebih rendah dibanding input tenaga kerja setelah krisis yang sekitar 41%.
Paul Krugman, ekonom kenamaan asal Amerika Serikat, menyebut kondisi ini di dalam bukunya sebagai perspiration economy atau ekonomi yang mengandalkan input “keringat” tenaga kerja dan modal fisik (physical capital), bukannya ekonomi inspirasi (inspiration economy) yang mengandalkan TFP atau inovasi sebagai sumber pertumbuhan.
Pertumbuhan produktivitas yang menurun adalah fenomena global. Namun, patut dicatat bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia sepenuhnya mengandalkan tenaga kerja dan modal. Lain halnya dengan negara-negara maju dan negara-negara ASEAN-6 yang mengandalkan TFP selain dari dua input tersebut.
ASEAN-6 merujuk pada negara-negara dengan perekonomian terbesar di Asia Tenggara, melingkupi Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, dan Vietnam.
Di antara negara-negara tersebut, Indonesia adalah satu-satunya negara dengan TFP negatif. Lima negara lainnya memiliki TFP positif terhadap pertumbuhan (Singapura 1,6%, Malaysia 1,9%, Thailand 1,4%, Filipina 1% dan Vietnam 0,3%).
Jika lambannya pertumbuhan produktivitas dan level negatif TFP ini berlanjut, perekonomian Indonesia akan terpapar pada berbagai risiko, termasuk stagnasi:
Pertama, perekonomian akan rentan terhadap faktor eksternal seperti aliran masuk modal, gejolak harga komoditas, dan perlambatan ekonomi global karena tak dapat mengandalkan produktivitasnya sendiri.
Kedua, TFP negatif menunjukkan rendahnya tingkat inovasi dan kemajuan teknologi. Ini membatasi kemampuan Indonesia untuk memperluas ragam perekonomiannya (diversifikasi) ke sektor bernilai tambah tinggi dan berdaya saing di tingkat global.
Ketiga, meningkatnya ketergantungan terhadap utang untuk membiayai investasi infrastruktur terutama ketika pendapatan negara tidak mencukupi.
Keempat, stagnasi ekonomi dalam jangka panjang membuat Indonesia terjebak dalam perangkap pendapatan menengah karena tak mampu mengejar ketertinggalan dari negara maju.
Baca juga: Bongkar Pabrik Sabu Rumahan di Batam, Polisi Temukan 68 Botol Sabu Cair
Kelima, terbatasnya peluang bagi generasi mendatang dan terhambatnya mobilitas sosial akibat stagnasi ekonomi.
Terakhir, stagnasi ekonomi akan membatasi kemampuan kita dalam menghadapi triple planetary crisis—perubahan iklim, kehilangan keanekaragaman hayati, dan polusi—akibat tak mampu berinovasi dan mengadopsi teknologi tepat guna.
Membalikkan tren penurunan pertumbuhan produktivitas
Ada enam hal yang bisa Indonesia lakukan untuk meredam penurunan produktivitas.
Pertama, Indonesia perlu meningkatkan inovasi dan adopsi teknologi melalui peningkatan investasi pemerintah dan swasta dalam riset dan pengembangan. Hal ini termasuk memperkuat lembaga penelitian, perguruan tinggi, dan kawasan terpadu sains dan teknologi. Indonesia juga perlu memfasilitasi transfer teknologi termasuk akuisisi dan penciptaan teknologi domestik, dan mendorong transformasi digital untuk mendukung bisnis menerapkan otomatisasi, kecerdasan buatan, algoritma, dan robotik supaya beroperasi lebih efisien dan produktif.
Kedua, meningkatkan sumber daya manusia dengan mendongkrak kualitas dan aksesibilitas pendidikan di semua jenjang. Hal ini dilakukan dengan membekali tenaga kerja dengan keterampilan dan pengetahuan; mendorong pendidikan STEM (sains, teknologi, rekayasa, dan matematika) untuk menyiapkan talenta inovatif; mempromosikan pembelajaran seumur hidup agar tenaga kerja dapat beradaptasi dengan perubahan tuntutan kerja. Selain itu, pengembangan pasar kerja melalui peraturan dan kebijakan ketenagakerjaan yang fleksibel dalam mendorong penciptaan lapangan kerja juga perlu dilakukan.
Ketiga, memperkuat infrastruktur melalui investasi agar dapat mengurangi biaya transaksi dan meningkatkan efisiensi bisnis.
Keempat, memperbaiki kerangka regulasi agar lebih ramah bisnis, menjaga stabilitas dan efisiensi pasar, dan mendorong persaingan yang sehat. Caranya adalah dengan memangkas birokrasi dan menyederhanakan peraturan untuk mendorong investasi, memberantas korupsi, mengurangi praktik perburuan rente, dan mempromosikan transparansi untuk meningkatkan tata kelola.
Kelima, membina kewirausahaan dan menumbuhkan UMKM dengan cara mendukung terhadap usaha pemula dan usaha kecil. Hal ini dapat ditempuh dengan membuka akses terhadap sumber keuangan; memberikan bimbingan dan inkubasi untuk mendorong inovasi dan menciptakan lapangan kerja baru, dan mengurangi beban peraturan demi mendorong tumbuhnya kewirausahaan dan memfasilitasi pertumbuhan UMKM.
Keenam, mengatasi masalah sosial dan lingkungan demi menjamin stabilitas dan keberlanjutan produktivitas. Hal ini dilakukan melalui investasi dalam layanan kesehatan; menngimplementasikan kebijakan yang mendorong praktik berkelanjutan dan mencegah degradasi lingkungan; mengurangi kesenjangan pendapatan serta menyediakan jaring pengaman sosial untuk mengantisipasi dampak disruptif teknologi dan inovasi terhadap tenaga kerja.
Sebagai penutup, kita patut merenungkan pendapat Paul Krugman berikut ini:
Productivity is not everything, but in the long run it is almost everything. A country’s ability to improve its standard of living over time depends almost entirely on its ability to raise its output per worker.
Produktivitas bukanlah segalanya, tetapi dalam jangka panjang itu hampir segalanya. Kemampuan suatu negara untuk meningkatkan standar hidupnya dari waktu ke waktu hampir seluruhnya bergantung pada kemampuannya untuk meningkatkan output per pekerja.
Penulis: Chairil Abdini, Lecturer in Public Policy and Decision Analysis, Universitas Indonesia
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.