EDISI.CO, CATATAN EDISIAN– Praktik politik uang atau klientelisme masih menjadi parasit yang menggerogoti kehidupan berpolitik dan berdemokrasi di Indonesia sampai saat ini.
Jajak pendapat yang dilakukan oleh Litbang Kompas pada awal tahun 2023 menemukan bahwa 36,5% dari 506 orang responden nasional mengaku pernah menerima uang atau melihat orang lain menerima uang dari para peserta pemilihan umum (pemilu). Artinya, 3 dari setiap 10 orang Indonesia yang pernah berpartisipasi sebagai pemilih dalam pemilu, pernah terlibat dalam transaksi politik uang.
Angka ini cukup mengkhawatirkan jika tidak diatasi segera secara menyeluruh, utamanya menjelang Pemilu 2024. Sayangnya, pemahaman masyarakat dan para aktor politik terkait persoalan klientelisme di Indonesia masih belum sepenuhnya utuh, sehingga segala upaya pencegahan yang sudah dilakukan, misalnya sosialisasi dan kampanye anti politik uang yang umumnya dilakukan oleh Bawaslu, belum benar-benar membuahkan hasil.
Mayoritas studi terkait politik uang masih cenderung berkutat pada perilaku vote-buying (menawarkan uang untuk membeli suara), sementara studi yang menyasar aspek psikologis yang mendorong perilaku vote-selling (menerima uang untuk menjual suara) masih sangat terbatas.
Padahal kedua aktor tersebut memberi kontribusi yang sama-sama signifikan dalam menciptakan praktik klientelisme. Politik uang tidak akan mungkin terjadi jika tidak ada masyarakat yang ingin menerima uang, sekali pun ada politikus yang menawarkan.
Secara psikologis, faktor apa saja yang membuat masyarakat tidak bisa menghindari diri dari perilaku vote-selling? Penting untuk menemukan akar penyebabnya jika ingin membasmi politik uang secara menyeluruh.
Mengapa orang mau menjual suaranya?
Akademisi ilmu politik Burhanuddin Muhtadi, dalam bukunya “Kuasa Uang: Politik Uang dalam Pemilu Pasca-Orde Baru”, mengungkapkan bahwa pendapatan, status sosial ekonomi dan tingkat pendidikan ternyata tidak berpengaruh secara signifikan dalam mendorong seseorang untuk terlibat dalam transaksi klientelisme.
Penyebab utamanya justru karena adanya normalisasi yang dilakukan masyarakat terhadap praktik tersebut. Ini membuat mereka jadi permisif.
Selain itu, masih banyak komunitas masyarakat yang memandang tindakan klientelisme sebagai gestur kebaikan hati, bahkan religius (misalnya menganggapnya sebagai sedekah). Ini membuat mereka meyakini bahwa praktik tersebut adalah suatu tindakan yang luhur, sehingga mereka malah mendukungnya.
Sebuah studi terkait perilaku vote-selling oleh Rizka Halida, seorang pakar psikologi sosial asal Universitas Indonesia, bersama tiga orang rekan penelitinya pada tahun 2022 menemukan bahwa jumlah nominal uang yang ditawarkan dapat memengaruhi keputusan vote-seller untuk menerima uang atau tidak. Namun, hal ini hanya berlaku jika vote-seller memiliki inhibitory self-control yang rendah. Inhibitory self-control bisa diartikan sebagai kemampuan untuk menahan hasrat untuk melakukan perilaku-perilaku impulsif yang berisiko, membahayakan atau melanggar aturan.
Ketika seseorang memiliki inhibitory self-control yang tinggi, ia akan mampu memproses secara kognitif bahwa menerima uang dari vote-buyer sama halnya dengan berpartisipasi dalam transaksi yang ilegal dan tidak etis. Kesadaran ini akan mendorong mereka untuk menghindarinya.
Faktor psikologis lain yang bisa memengaruhi keputusan vote-seller untuk menerima uang dari vote-buyer adalah sesuatu yang disebut “bias rabun jauh” (present bias). Sebuah konsep yang populer dalam bidang ilmu perilaku dan psikologi sosial.
Baca juga: Ekspedisi Rupiah Berdaulat 2024 di Kepri, Pastikan Rupiah Tersedia di Perbatasan
Bias rabun jauh merupakan kecenderungan alami manusia untuk lebih memilih hadiah (reward) yang bisa diperoleh saat ini, walaupun nilainya kecil, ketimbang hadiah yang lebih besar tapi hanya bisa diperoleh di masa depan. Sebagai ilustrasi, bias inilah yang menyebabkan mengapa kita lebih senang membelanjakan gaji yang baru saja kita terima untuk membeli gadget baru, ketimbang menabung untuk keperluan masa depan. Ini karena hadiah dari menabung baru bisa diperoleh atau dinikmati nanti, bukan saat ini juga.
Kerentanan manusia terhadap bias rabun jauh memungkinkan mereka tergiur untuk menerima tawaran uang yang bisa mereka dapat langsung saat ini dan menjual suaranya dalam pemilu, walaupun tidak seberapa. Lalu mereka mengabaikan kepentingannya untuk memperoleh pemerintahan yang bersih serta kebijakan-kebijakan yang adil dan menyejahterakan di masa mendatang.
Bias ini memungkinkan masyarakat menderita semacam “miopi politik” (rabun jauh dalam politik) yang menyebabkan mereka gagal melihat lebih jauh ke depan dan cenderung mengambil keputusan politik dengan visibilitas jangka pendek.
Bagaimana menghindarinya?
Pendidikan literasi politik pada masyarakat masih menjadi strategi yang wajib terus diupayakan untuk mengurangi praktik politik uang dalam jangka panjang. Pendidikan literasi juga perlu melibatkan semua elemen Pemerintah Daerah, Pemerintah Desa,penyelenggara pemilu, maupun LSM. Seperti pendidikan literasi berbasis desa yang telah dilakukan oleh 34 Desa di Daerah Istimewa Yogyakarta bernama Gerakan Desa Anti-Politik Uang yang memberikan sanksi sosial bagi para pelaku suap.
Pendidikan literasi politik diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran dan integritas politik masyarakat yang pada akhirnya akan meningkatkan inhibitory self-control mereka.
Selain itu, perlu strategi khusus untuk terus membuat manfaat jangka panjang dari pelaksanaan pemilu yang bersih terlihat menonjol dalam setiap kampanye politik, agar masyarakat dapat menyadari secara riil manfaat yang bisa mereka peroleh jika mereka menolak politik uang. Sebab, hanya dengan begitu masyarakat dapat terbebas dari bias rabun jauh dan miopi politik yang mereka derita.
Sebuah studi eksperimen yang dilakukan oleh Allen Hicken, seorang profesor ilmu politik dari University of Michigan, di Filipina pada 2013 juga dapat menjadi inspirasi untuk menciptakan strategi yang efektif dalam mendorong masyarakat menghindari perilaku vote-selling.
Eksperimen tersebut dilakukan terhadap 900 orang pemilih yang dibagi ke dalam tiga kelompok secara acak: (1) kelompok yang diminta untuk menyaksikan video pendek berisi ajakan untuk berpartisipasi dalam pemilu kemudian diminta berjanji tidak akan menerima uang untuk menjual suaranya; (2) kelompok yang diminta untuk menyaksikan video pendek kemudian diminta untuk memilih dengan hati nurani sekali pun tetap menerima uang; dan (3) kelompok yang hanya diminta untuk menyaksikan video.
Hasil eksperimen tersebut menunjukkan adanya penurunan potensi terjadinya perilaku vote-selling sebesar 11% pada responden dalam kelompok pertama. Temuan ini dapat menjadi inspirasi bahwa intervensi sederhana (seperti meminta pemilih berjanji untuk tidak menjual suara mereka dalam pemilu) dapat diterapkan sebagai strategi untuk mengurangi perilaku vote-selling dalam pemilu di Indonesia.
Pada dasarnya hampir semua strategi yang memungkinkan patut dicoba guna mengatasi persoalan klientelisme secara menyeluruh. Lebih bagus lagi jika ini dapat dimanfaatkan sebagai kekuatan untuk mewujudkan pemilu yang, paling tidak, setingkat lebih bersih pada 2024 mendatang.
Penulis: Anhar Dana Putra, Dosen (Lektor), Politeknik STIA LAN Makassar
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.