EDISI.CO, NASIONAL– Di tahun 2024 ini, Indonesia menyelenggarakan tiga kegiatan penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu), yaitu Pemilu presiden (Pilpres), Pemilu legislatif (Pileg) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Pilpres dan Pileg sudah dilaksanakan pada 14 Februari 2024, sedangkan Pilkada akan diselenggarakan 27 November 2024 mendatang.
Di tengah penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada 2024, konde.co melakukan peluncuran buku “Panduan Peliputan Pemilu Perspektif Gender dan Inklusi bagi Jurnalis” sekaligus diskusi soal isu Pilkada perspektif gender dan inklusi, di Jakarta pada Rabu, 24 Juli 2024.
Dalam pemetaan konde.co, Pilpres, Pileg, dan Pilkada 2024 banyak menunjukkan wajah kontestasi para Capres dan Cawapres, akan tetapi minim mengetengahkan Caleg perempuan. Akibatnya publik tidak banyak terpapar soal visi-misi, gagasan Caleg perempuan, yang ada hanya kontestasi Capres dan Cawapres. Kondisi ini juga ditambah masih minimnya perempuan yang dilibatkan dalam Pemilu dan Pilkada.
Yuni Satia Rahayu, Politisi PDI Perjuangan dan Wakil Bupati Sleman 2010-2015 yang saat ini menjadi anggota DPRD DIY, dalam diskusi peluncuran buku ini bercerita bahwa ia pernah mengalami diskriminasi gender dan perlakuan seksisme karena ia perempuan. Saat maju di Pilkada Sleman, Yogyakarta di tahun 2010, muncul informasi yang menyerang dirinya bahwa perempuan tidak bisa menjadi pemimpin karena ini tidak sesuai dengan isi Al-Qur’an. Isu ini selalu muncul untuk mempengaruhi masyarakat untuk tidak memilihnya karena ia perempuan.
“Dalam masyarakat, mereka juga seperti mengharuskan saya memakai jilbab, karena seperti ada kepercayaan bahwa semua perempuan harus pakai jilbab. Saya juga dianggap China karena mata saya sipit. Ada juga kepercayaan yang menyatakan bahwa pemimpin itu harus laki laki, pemimpin perempuan belum ada waktu itu, saya jadi wakil bupati yang pertama di Sleman,” kata Yuni Satia Rahayu.
Yuni juga sering menerima pertanyaan apakah suaminya mendukung pencalonannya dalam Pilkada tersebut? Padahal pertanyaan yang sama jarang ditanyakan pada laki-laki yang mencalonkan diri dalam Pemilu atau Pilkada.
“Pertanyaan tentang ‘apakah kamu didukung suamimu?’ ini sering saya dengar. Pertanyaan tentang ini, kenapa tidak ditanyakan pada suami-suami dan hanya untuk istri ya? Memang perempuan dan laki harus saling mendukung agar tidak ada lagi pertanyaan seperti ini.”
Direktur Kalyanamitra, Listyowati, dalam diskusi ini menyatakan riset Kalyanamitra tentang Pemilu 2024 di empat wilayah seperti di Ambon, Jakarta, Makassar dan Aceh, menemukan banyak peserta Pemilu, pemilih termasuk penyelenggara Pemilu mengalami diskriminasi, intimidasi, narasi seksis terhadap Caleg perempuan. Juga ada kekerasan seksual, kekerasan di ranah privat, mobilisasi perempuan dan kelompok rentan untuk pemilihan, pemungutan suara yang tidak inklusif dan beban kerja berlebih pada penyelenggara Pemilu.
“Ada delapan diskriminasi gender dalam Pemilu kemarin. Caleg perempuan mengalami seksisme, juga ada pelecehan seksual di sana. Ada juga penyebaran konten seksual perempuan Caleg. Ada juga kekerasan seksual di rumah tangga selama Pemilu, ada yang cerai dan putus karena perbedaan pilihan, atau ada perempuan yang disuruh mencari uang terus sedangkan suaminya nyaleg.”
Listyowati juga menyatakan bahwa Pemilu 2024 belum inklusif, ini bisa dilihat dari jarak yang jauh, kotak suara yang tinggi dan sulit dijangkau untuk disable, tools nya yang belum disesuaikan dengan disable. Isu gender adalah isu inklusif dan interseksional.
Bicara tentang hak-hak dan representasi perempuan miskin, perempuan adat, perempuan disabilitas, perempuan penghayat kepercayaan minoritas, perempuan dalam politik, marginal, pemilu hendaknya bukan dimaknai sebagai alat kontestasi.
Wakil Pemimpin Redaksi konde.co, Anita Dhewy, memaparkan tentang panduan peliputan Pemilu perspektif Gender dan Inklusi untuk jurnalis ini. Dalam panduan dituliskan tentang kondisi para jurnalis terutama jurnalis perempuan yang dihadapkan dengan banyak ancaman dan risiko, seperti pelecehan seksual, kekerasan berbasis gender online, hingga kekerasan fisik dalam peliputan Pemilu.
“Hal lain, masih mainstream-nya isu kontestasi menyebabkan banyak Caleg perempuan yang tak muncul,” kata Anita.
Pemetaan yang dilakukan konde.co di tahun 2023-2024 tentang konten perempuan dan Pemilu di media menyebut bahwa liputan media tentang perempuan dan pemilu di Indonesia masih cenderung menempatkan perempuan sebagai figur yang kurang memiliki peran penting. Meskipun diketahui bahwa media berperan dalam membentuk opini publik dan mempengaruhi persepsi terhadap partisipasi perempuan dalam pemilu, namun dalam prakteknya, masih banyak pemberitaan media yang melakukan stereotip seperti berita yang menuliskan soal tampilan cantik para Caleg, tas branded dan gaya baju istri Capres-Cawapres, dll.
Jurnalis Harian Kompas, Sonya Helen Sinombor, penanggap di acara diskusi ini menyatakan tentang pentingnya media mengangkat isu-isu perempuan, karena Pemilu seharusnya bisa mewujudkan representasi gender dan memenuhi aspek-aspek inklusivitas di media.
“Jurnalis harus membaca apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam isu Pemilu,” ujar Sonya.
“Penting untuk membaca buku panduan ini sebagai salah satu penunjuk jalan peliputan agar mengangkat isu perempuan.”
Sedangkan Yadi Hendriana, Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers, menekankan pentingnya etika pers dalam pemilu, terutama dalam mengangkat isu gender. Pers memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga iklim demokrasi dan mendukung terselenggaranya pemilu yang sehat, adil, dan inklusif.
Dalam konteks pemilu, pers berperan krusial dalam memastikan proses yang bebas, rahasia, jujur, dan adil. Di tengah maraknya penyebaran hoaks dan berkembangnya “buzzer” peran pers semakin relevan untuk memerangi informasi yang menyesatkan dan memastikan informasi yang disampaikan kepada publik adalah akurat dan terpercaya.
Sayangnya, Yadi menemukan masih banyak pemberitaan Pemilukada yang mengobjektifikasi perempuan.
“Pemberitaan ketika ada calon perempuan, itu masih dibawa ke hal-hal yang tidak etis. Pers punya PR di dapur redaksi untuk membawa kebijakan etik yang diangkat ke pemberitaan, khususnya ke pemberitaan perempuan,” jelas Yadi.
Pers harus bertindak sebagai wasit yang profesional dan adil. Nilai-nilai moral, integritas, dan tanggung jawab yang tertuang dalam kode etik jurnalistik harus menjadi panduan utama dalam setiap laporan yang disajikan. Hal ini penting untuk menjaga “kewarasan” publik dalam memilih calon pemimpin mereka dan untuk memastikan bahwa semua informasi yang disajikan mendukung proses pemilihan yang transparan dan akuntabel.
Pers juga memiliki tanggung jawab untuk memberikan perspektif yang setara dan seimbang demi kepentingan publik. Semua kelompok, termasuk perempuan dan kaum disabilitas, harus mendapatkan hak politik yang sama. Dengan melaporkan isu-isu gender dan hak-hak minoritas secara adil dan menyeluruh, pers dapat membantu menciptakan pemilu yang lebih inklusif dan representatif.
“Salah satu poin yang dibawa oleh Dewan Pers adalah pers harus memberikan perspektif setara dan seimbang demi kepentingan publik, untuk semua kelompok, termasuk perempuan dan disabilitas dan lainnya karena semua punya hak politik yang sama, tanpa memandang status apapun,” papar Yadi.
Panduan bagi jurnalis yang diluncurkan dalam acara ini adalah sebuah buku yang berisi tentang panduan untuk meliput dan menulis soal Pemilu dari perspektif gender dan inklusi. Buku ini memberikan informasi sekaligus etika dalam melakukan peliputan dan penulisan pemilu dari sudut pandang perempuan.
PRESS RELEASE
Kontak Konde.co: Nabila 0895-4202-05533 dan Luthfi: 0814-6047-3374