EDISI.CO, CATATAN EDISIAN– Penemuan artefak logam di situs Gua Harimau, Sumatera Selatan, menjadi bukti kuat bahwa Pulau Sumatra memegang peran penting dalam kebangkitan zaman logam di Nusantara.
Artefak-artefak ini diperkirakan berasal dari abad ke-4 Sebelum Masehi hingga abad ke-1 Masehi, menjadikannya sebagai artefak logam tertua di Indonesia.
Jadi, temuan ini bukan penemuan arkeologis biasa, melainkan simbol perubahan besar dalam kehidupan masyarakat purba. Pada masa ini, teknologi logam mulai dikenal dan digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Gua Harimau menjadi saksi sejarah yang membawa Indonesia memasuki era logam.
Perunggu di Gua Harimau
Hasil penggalian arkeologi yang saya lakukan bersama tim peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang melebur ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional/BRIN) selama kurang lebih tujuh tahun sejak 2008 hingga 2015, menunjukkan bahwa gua ini telah dihuni sejak 22 ribu tahun lalu.
Penelitian kami menemukan artefak batu dan sisa-sisa fauna yang menandai masa Palaeolitik dan Pra-Neolitik.
Lalu, ketika zaman beralih ke periode Neolitik dan Palaeometalik, penemuan peninggalan sejarah lainnya seperti tembikar, alat-alat tulang, dan sisa-sisa pembakaran menambah petunjuk aktivitas manusia di sana.
Pada lapisan Palaeometalik, ditemukan perubahan besar: 12 artefak logam, yang terdiri dari 8 artefak perunggu dan 4 artefak besi. Temuan ini mengindikasikan awal kebangkitan zaman logam di wilayah tersebut.
Salah satu temuan yang paling menarik adalah kapak bersoket dari perunggu. Kapak ini ditemukan sebagai bekal kubur dalam beberapa pemakaman di Gua Harimau. Bekal kubur adalah benda-benda yang ditempatkan bersama jenazah, yang dipercaya memiliki makna simbolis atau religius dalam kehidupan setelah kematian—mirip dengan tradisi memberikan barang-barang berharga pada orang yang dikasihi
Kami menemukan tiga buah kapak bersoket dengan ukuran sekitar 5 cm bersamaan dengan tiga buah gelang perunggu dan dua benda berbahan perunggu lainnya yang tidak teridentifikasi.
Untuk menentukan usia artefak perunggu ini, kami menggunakan metode penanggalan karbon C14—teknik yang digunakan untuk menentukan usia benda organik berdasarkan pengukuran isotop radioaktif karbon-14 (C-14) yang tersisa.
Ketika makhluk masih hidup, mereka menyerap karbon-14 dari lingkungan, tetapi setelah mati, karbon-14 dalam tubuh mulai meluruh secara bertahap menjadi nitrogen-14 dengan waktu paruh sekitar 5.730 tahun. Dengan membandingkan jumlah karbon-14 yang tersisa dengan isotop stabil karbon-12, kami dapat menghitung kapan makhluk tersebut mati. Metode ini efektif untuk menanggal benda yang berusia hingga sekitar 50.000 tahun
Baca juga: Spanduk Perjuangan Tolak Penggusuran Rusak, Teror untuk Warga Rempang Berlanjut
Kami menguji sebanyak 12 sampel tulang-tulang manusia di laboratorium Badan Tenaga Nuklir Nasional, Indonesia. Adapun 6 sampel di antaranya merupakan tulang-tulang yang bersentuhan dengan artefak logam. Hasil pengujian menunjukkan bahwa benda-benda ini berasal dari periode antara abad ke-4 Sebelum Masehi hingga abad ke-1 Masehi.
Temuan tertua berasal dari pemakaman sekitar abad ke-4 SM, di mana ditemukan sebuah gelang perunggu bersentuhan dengan tulang tangan manusia. Ini mengindikasikan bahwa teknologi logam sudah dikenal masyarakat setempat sejak saat itu.
Kebangkitan zaman logam di Indonesia
Ihwal bagaimana budaya logam berkembang di Indonesia, dari mana asalnya, dan bagaimana teknologi ini diperkenalkan masih menjadi misteri besar dalam dunia arkeologi.
Namun, penemuan-penemuan di Sumatera Selatan, Jambi, dan daerah lainnya membuktikan bahwa penggunaan logam di Indonesia dimulai pada masa yang cukup awal dan tersebar meluas ke penjuru Nusantara.
Di dataran tinggi Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, dan Lampung, terdapat artefak logam yang berhubungan dengan situs-situs pemakaman kuno, menunjukkan penggunaan logam dalam ritual penguburan. Nekara perunggu—sejenis drum besar—juga ditemukan di Jambi, mengindikasikan peran penting logam dalam budaya mereka.
Di arca megalitik Pasemah, Sumatera Selatan, ditemukan ukiran-ukiran yang menggambarkan peralatan logam seperti nekara, gelang, anting-anting, dan aksesori lain yang berhubungan dengan budaya Dong Son dari Asia Tenggara. Ini memperlihatkan adanya hubungan atau pengaruh budaya luar dalam perkembangan teknologi logam di Indonesia.
Sementara itu, di Jawa bagian barat, seperti di situs Buni dan Pasir Angin, ditemukan berbagai artefak logam seperti kapak perunggu, manik-manik, perhiasan emas, dan perhiasan perunggu.
Di situs Plawangan, Jawa Tengah, terdapat nekara perunggu yang digunakan sebagai wadah kubur, sementara di Bali, artefak logam ditemukan di situs-situs seperti Sembiran-Pacung, Gilimanuk, dan Pangkung Paruk.
Menariknya, ada pula penelitian yang melaporkan tentang kegiatan eksploitasi emas di sekitar Sungai Batanghari, Jambi, pada masa Kerajaan Sriwijaya. Ini membuktikan bahwa logam, khususnya emas, sudah menjadi bagian penting dari ekonomi dan perdagangan sejak zaman kuno.
Arti penting temuan logam di Gua Harimau
Penemuan logam di Gua Harimau memberikan wawasan baru mengenai awal perkembangan budaya logam di Sumatera dan Indonesia secara keseluruhan.
Metode penanggalan yang kami gunakan menunjukkan artefak perunggu di Gua Harimau adalah yang tertua yang ditemukan di Indonesia. Usianya hanya sedikit lebih muda dibandingkan dengan budaya logam Dong Son yang berkembang di daratan Asia Tenggara pada abad ke-5 SM.
Penemuan ini menerangkan bahwa Nusantara sudah terhubung dengan jaringan budaya dan teknologi global sejak abad ke-4 Sebelum Masehi. Pengaruh dari luar ini lantas membawa serta pengetahuan tentang logam, yang kemudian diadaptasi oleh masyarakat setempat.
Seiring waktu, masyarakat Nusantara tidak hanya menerima, tetapi juga mulai memproduksi logam sendiri, melalui proses tempa (logam dipanaskan dan dibentuk dengan tekanan) dan cor (logam cair dituangkan ke cetakan).
Penemuan artefak logam di Gua Harimau menandai awal kebangkitan zaman logam di Indonesia. Bukti arkeologis ini menunjukkan bahwa teknologi logam telah memainkan peran penting dalam kehidupan masyarakat purba di Nusantara.
Penulis: Harry Octavianus Sofian, Peneliti Ahli Muda, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.