EDISI.CO, BATAM– Diskusi Publik bertajuk Mengawal Demokrasi dari Kepri, membersamai peluncuran LBH Masyarakat Kepulauan Nusantara (MKN) pada Kamis (7/11/2024) malam. Agenda yang terlaksana di Sekertariat Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Batam ini, dihadiri oleh organisasi masyarakat, perkumpulan peduli lingkungan, mahasiswa dan masyarakat umum. Termasuk juga masyarakat dari Pulau Rempang.
Direktur LBH MKN, Nofita Putri Manik, dalam diskusi Mengawal Demokrasi dari Kepri ini, menuturkan bahwa lembaga bantuan hukum untuk masyarakat ini, lahir atas keresahaan mereka menyaksikan kondisi ketidakadilan yang ada di masyarakat, khusunya di Kepulauan Riau (Kepri).
Saat ini masyarakat tidak bisa berbuat banyak, walaupun upaya mereka dikindungi konstitusi, individu atau kelompok masyarakat tetap dihadapkan dengan intimidasi dan provokasi, yang ujungnya melahirkan kriminalisasi sebagai konsekuensi.
Kondisi ini dialami masyarakat di Pulau Rempang di pesisir Batam dalam beberapa tahun belakangan. Warga yang terus berjuang mempertahankan ruang hidup mereka, harus menghadapi berbagai persoalan. Mulai dari perusakan, provokasi, dan kriminalisasi. Kondisi serupa juga dialami individu dan kelompok masyarakat lain di Kepri.
“Banyak orang mengetahui keadaan ini, tapi tidak semua terpanggil untuk terlibat di dalamnya,” kata Nofita.
Baca juga: Deklrasi Jurnalis Bukan Jurkam Terselenggara di Batam
Lebih lanjut, Nofita berharap diskusi ini menjadi pemantik hadirnya gerakan masyarakat sipil di Kepri. Koalisi yang bahu membahu dalam mengjadirkan keadilan untuk masyarakat.
Bersama Nofita, diskusi publik ini juga menghadirkan Pendiri Perkumpulan Akar Bhumi Indonesia, Hendrik Hermawan; Founder Gerakan Bersama Rakyat (Gebrak) Uba Ingan Sigalingging; dan Ketua AJI Batam, Fiska Juanda sebagai pembicara.
Mereka menyambut baik dan siap membersamai LBH MKN. Bergerak beriringan untuk memberi rasa keadilan pada masyarakat.
Uba Ingan Sigalingging, dalam kesempatan tersebut, menyampaikan bahwa saat ini demokrasi Indonesia masih dalam kategori prosedural. Ia menilai belum ada partisipasi bermakna yang menyentuh masyarakat secara langsung.
Hal itu senada dengan apa yang disampaikan oleh Ketua Perkumpulan Lingkar Batam Baergetak, Islahuddin. Ia menilai bahwa proses demokrasi di Indonesia hanya pada saat pemilu saja, itu juga terkesan hanya formalitas belaka.
Sementara pada tataran kehidupan masyarakat, menampakkan ketiadaan fungsi kontrol atas kebijakan pemerintah. Keadaan itu dimulai dari komposisi koalisi dan oposisi di parlemen yang tidak seimbang. Baik di daerah maupun di tingkat pusat.
Baca juga: Banjir di Kota Batam dalam Tinjauan Akar Bhumi Indonesia
Terkait dengan kondisi demokrasi di Kepri, dari tinjauan Pendiri Akar Bhumi Indonesia, Hendrik Hermawan, mengindikasikan adanya “keberutalan” pembangunan, khususnya di Batam. Bahwa pembangunan yang ada di Batam mengabaikan analisa terhadap dampak kerusakan lingkungan.
Kondisi ini membuat masyarakat di dekat kawasan pembangunan menjadi korban. Mengganggu ruang hidup mereka, merampas hak mereka yang seharusnya dijamin oleh negara.
“Kami menyebutnya dehumanisasi.”
Kondisi inilah, lanjut Hendrik yang harus dikawal dan diluruskan. Bahwa ada pola pembangunan yang tidak mengindahkan aturan-aturan. Yang itu membuat masyarakat kecil menjadi korban.
Siaran Pers LBH Masyarakat Kepulauan Nusantara